Paidi, salah satu penduduk desa Jumeneng sedang asyik
berbagi cerita di rumah Sarikhuluk. Ia baru saja dari kota menyambangi kawan
SD, Badaruddin. Dari sekian banyak ceritanya, ada satu fenomena sosial menarik
yang ia ceritakan pada Sarikhuluk: “Cak, di satu kota besar, aku dibuat kaget
oleh tempat yang aku anggap sakral, mulia dan lambang pusaka, ternyata isinya
bertentangan dengan subtansi” tukas Paidi dengan PD menceritakan pengalamannya.
“Maksud kamu apa, pakai bahasa abstrak dan sok ngilmiah seperti itu?”
tanya Sarikhuluk.
“Jadi begini Cak, sewaktu di kota, aku diajak oleh
temanku pergi ke sebuah museum. Pikiranku pertama jelas positive thinking(jieh
guaya aku yo Cak) pasti yang namanya museum `kan, isinya sesuatu yang bernilai
sejarah yang begitu dihormati dan dimuliakan. Lha pas aku masuk di
dalamnya tau ga apa isi di dalamnya?” tanya Paidi dengan ekspresi membuat
penasaran. “Iya apa, lanjutkan saja ceritanya” balas Paiman di sampingnya. “Pas
aku masuk, ternyata banyak orang-orang berbuat mesum, bahkan memang disediakan
ruang khusus untuk itu. Tanpa malu-malu lagi” ceritanya meyakinkan.
“Aku sendiri sih ga kaget di. Kerusakan nilai di
perkotaan sudah berada pada titik nadirnya. Bukankah sudah menjadi konsumsi
orang di media sehari-hari sajian yang menggambarkan sesuatu yang paradoks.
Teriak HAM, padahal diri sendiri merenggut HAM. Intinya babi, tapi cap sapi.
Kelihatanya alim, tapi nyatanya hobi maksiat dan lalim. Terlihat sebagai
pejuang, eh ternyata cari uang. Seakan baik, ternyata munafik. Begitu
banyak kejadian-kejadian seperti itu, jadi sekali lagi aku ga kaget dengan
ceritamu itu. Malah suatu saat akan ada suatu masa –jika moral orang sudah
semakin jauh dari tuntunan agama- rumah bordil cap rumah pendidikan moril”.
“Cuman begini, walaupun kenyataannya seperti itu bukan
berarti kita meng-gebyah uyah(mengeneralisir) semuanya. Justru ketika
ada fenomena seperti itu, kita harus semakin rajin untuk membentengi diri dan
masyarakat agar terlindungi dari hal-hal semacam itu. Seperti di desa Jumeneng
ini contohnya, mereka memang diberi kebebasan untuk mengakses internet,
berdiskusi, berkreasi sedemikian rupa, namun mereka tetap mempunya rem(kontrol)
agama dan sosial untuk melindungi diri, keluarga serta masyarakat. Kamu `kan
tau sendiri, orang di sini sangat jujur. Kalau iya, iya. Kalau tidak, ya tidak.
Di sini jelas, yang namanya kambing tau akan kekambingannya sehingga ia
mengembek. Yang ayam juga tau keayamannya, sehingga ia berkokok” sambung
Sarikhuluk.
“Ooo, ngunu nggeh Cak(begitu ya Cak). Tapi, gimana
caranya mengingatkan mereka di kota yang sudah terlanjur seperti itu?” tanya
Paidi. “Pertanyaanmu keduwuren(terlalu tinggi)”. “Lho kenapa Cak?”. “Memang tidak ada yang salah
dengan pertanyaanmu, dan itu sangat baik. Tapi yang perlu kamu perhatikan
adalah ‘skala’ mu. Kalau posisimu hanya bagaikan setetes air, maka jangan
bernafsu untuk memadamkan kobaran api yang begitu luas diterpa angin. Bergabunglah
dengan tetesan-tetesan yang lain hingga membentuk gumpalan air yang minimal
setara bahkan lebih dari api tersebut”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !