Home » » ‘Rumah Mesum’ Cap Museum

‘Rumah Mesum’ Cap Museum

Written By Amoe Hirata on Rabu, 11 Februari 2015 | 20.24

            Paidi, salah satu penduduk desa Jumeneng sedang asyik berbagi cerita di rumah Sarikhuluk. Ia baru saja dari kota menyambangi kawan SD, Badaruddin. Dari sekian banyak ceritanya, ada satu fenomena sosial menarik yang ia ceritakan pada Sarikhuluk: “Cak, di satu kota besar, aku dibuat kaget oleh tempat yang aku anggap sakral, mulia dan lambang pusaka, ternyata isinya bertentangan dengan subtansi” tukas Paidi dengan PD menceritakan pengalamannya. “Maksud kamu apa, pakai bahasa abstrak dan sok ngilmiah seperti itu?” tanya Sarikhuluk.
            “Jadi begini Cak, sewaktu di kota, aku diajak oleh temanku pergi ke sebuah museum. Pikiranku pertama jelas positive thinking(jieh guaya aku yo Cak) pasti yang namanya museum `kan, isinya sesuatu yang bernilai sejarah yang begitu dihormati dan dimuliakan. Lha pas aku masuk di dalamnya tau ga apa isi di dalamnya?” tanya Paidi dengan ekspresi membuat penasaran. “Iya apa, lanjutkan saja ceritanya” balas Paiman di sampingnya. “Pas aku masuk, ternyata banyak orang-orang berbuat mesum, bahkan memang disediakan ruang khusus untuk itu. Tanpa malu-malu lagi” ceritanya meyakinkan.
            “Aku sendiri sih ga kaget di. Kerusakan nilai di perkotaan sudah berada pada titik nadirnya. Bukankah sudah menjadi konsumsi orang di media sehari-hari sajian yang menggambarkan sesuatu yang paradoks. Teriak HAM, padahal diri sendiri merenggut HAM. Intinya babi, tapi cap sapi. Kelihatanya alim, tapi nyatanya hobi maksiat dan lalim. Terlihat sebagai pejuang, eh ternyata cari uang. Seakan baik, ternyata munafik. Begitu banyak kejadian-kejadian seperti itu, jadi sekali lagi aku ga kaget dengan ceritamu itu. Malah suatu saat akan ada suatu masa –jika moral orang sudah semakin jauh dari tuntunan agama- rumah bordil cap rumah pendidikan moril”.
            “Cuman begini, walaupun kenyataannya seperti itu bukan berarti kita meng-gebyah uyah(mengeneralisir) semuanya. Justru ketika ada fenomena seperti itu, kita harus semakin rajin untuk membentengi diri dan masyarakat agar terlindungi dari hal-hal semacam itu. Seperti di desa Jumeneng ini contohnya, mereka memang diberi kebebasan untuk mengakses internet, berdiskusi, berkreasi sedemikian rupa, namun mereka tetap mempunya rem(kontrol) agama dan sosial untuk melindungi diri, keluarga serta masyarakat. Kamu `kan tau sendiri, orang di sini sangat jujur. Kalau iya, iya. Kalau tidak, ya tidak. Di sini jelas, yang namanya kambing tau akan kekambingannya sehingga ia mengembek. Yang ayam juga tau keayamannya, sehingga ia berkokok” sambung Sarikhuluk.

            “Ooo, ngunu nggeh Cak(begitu ya Cak). Tapi, gimana caranya mengingatkan mereka di kota yang sudah terlanjur seperti itu?” tanya Paidi. “Pertanyaanmu keduwuren(terlalu tinggi)”. “Lho  kenapa Cak?”. “Memang tidak ada yang salah dengan pertanyaanmu, dan itu sangat baik. Tapi yang perlu kamu perhatikan adalah ‘skala’ mu. Kalau posisimu hanya bagaikan setetes air, maka jangan bernafsu untuk memadamkan kobaran api yang begitu luas diterpa angin. Bergabunglah dengan tetesan-tetesan yang lain hingga membentuk gumpalan air yang minimal setara bahkan lebih dari api tersebut”. 
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan