Home » » Membeli Rumah di Surga

Membeli Rumah di Surga

Written By Amoe Hirata on Rabu, 18 Februari 2015 | 05.00

        Rumah adalah lambang dari ketenangan, tempat istirahat, tempat penghilang penat, tempat ketentraman, tempat untuk menetap atau mukim. Dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang sinonim berkaitan dengan rumah, diantaranya: bait(berarti tempat untuk mabit atau tidur malam), manzil(tempat untuk peristirahatan ketika habis dalam perjalanan), dâr(tempat lalu-lalang atau aktivitas). Karena sangat pentingnya rumah, maka tidaklah heran jika salah satu di antara sekian banyak mimpi kebanyakan manusia ialah: memiliki rumah yang mapan. Bahkan kemapanan rumah merupakan kebutuhan pokok manusia di setiap peradaban. Sampai sekarang pun kalau kita melihat kecendrungan manusia terkait dengan keinginan memiliki rumah, masih sangat tinggi. Ditambah pula di sisi lain iklan-iklan di media turut serta meramaikan jual-beri rumah, sebagai gambaran bahwa kebutuhan manusia akan rumah memang tak dapat dihindari. Nabi Muhammad shallallâhu `alaihi wasallam sendiri dalam salah satu haditsnya beliau bersabda: “ada empat hal yang termasuk kebahagiaan (yaitu) istri shalihah, rumah yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman”[H.r. Ibnu Hibbân]. Hadits ini bahkan menunjukkan bahwa di antara yang membuat manusia bahagia ialah memiliki rumah, bukan hanya sekadar memiliki bahkan sekaligus luas.
         Betapapun rumah merupakan idaman bagi kebanyakan orang pada umumnya, kalau kita menilik kembali sejarah masa silam Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam, rumah beliau sangatlah bersahaja. Ini mengajarkan kepada kita akan kesederhanaan dan ‘kesadaran akhirat’. Sebagus apapun yang namanya rumah, ia hanyalah tempat sementara; ia hanyalah wasilah untuk pergi ke ‘rumah keabadian’ di surga kelak; ia adalah tempat singgah sementara. Karena itu, jika manusia muslim menjadikan rumah mewah, elit, indah sebagai tujuan utama hidupnya, maka sebenarnya telah salah kapra. Sebagus-bagusnya rumah ia tak lebih dari tempat persinggahan sementara di dunia, dan ketika sudah meninggal dunia, ia tidak akan dibawa ke alam baka. Yang abadi ialah rumah di surga. Yang dalam istilah al-Qur`an disebut sebagai, ‘dâru al-qarâr’[Q.s. Ghafir: 39](rumah keabadian/rumah tetap dan mapan) yang akan dijumpai di akhirat kelak. Dengan demikian, sebagai muslim tentunya jangan sampai kita salah dalam memandang, menyikapi, memposisikan rumah yang dimiliki atau yang baru diinginkan di dunia. Karena sejatinya semua itu hanya persinggahan sementara, dan akan musnah ketika kiamat telah tiba.
            Dalam lembaran emas sejarah para sahabat ada seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hazzâm, yang merupakan teman Rasulullah shallallâhu `alaihi wasallam ketika masa jahiliyah, ia juga keponakan Khadijah, yang kelahirannya sangat unik yaitu di dalam Ka`bah. Ia baru masuk Islam ketika pada masa fathu Makkah(pembebasan kota Mekkah). Ada kisah menarik berkaitan dengan perkataan Hakim bin Hazzâm terkait masalah rumah. Suatu saat Daru al-Nadwah(tempat rapat pembesar Qurays di masa jahiliyah) menjadi miliknya. Ketika masuk Islam, Ia jual rumah itu kepada Mu`awiyah bin Abi Sufyan dengan harga seratus ribu dirham. Melihat kejadian itu, Abdullah bin Zubair menegurnya: “apakah anda akan menjual kemuliaa (rumah) kehormatan Qurays?”  Ia pun menjawab: “Telah berakhir kehormatan wahai keponakanku, (yang ada) hanyalah takwa, dengan uang itu aku beli rumah di surga, aku bersaksi pada kalian bahwa uang itu akan persembahkan hanya untuk Allah(berjuang di jalan Allah)”. Kalimat Hakim sangat singkat, jelas, padat, sekaligus memikat. Siapa coba yang tak bangga jika memiliki rumah kehormatan sekaligus rumah bersejarah kaum Qurays, daru al-Nadwah?. Namun pandangan Hakim, lain dari pada yang lain, baginya rumah sejati ialah ‘rumah surga’. ‘Kesadaran akhirat’ mengantarkannya untuk bersikap tepat mengenai rumah. Ia memposisikan rumah di dunia –sehebat apapun bentuk dan sejarahnya- sebagai tempat sementara. Yang ia inginkan lebih dari itu, yaitu rumah abadi yang ia dambakan di surga. Tentu saja memang untuk mendapatkannya harus disertai perjuangan dan pengorbanan. Beranikah kita bermimpi untuk membeli rumah di surga, dengan mengabdikan diri, berjuang dan berkorban hanya untuk Allah Swt? atau kita merasa puas dengan rumah di dunia yang terbatas ruang dan waktu; yang akan kita tinggal ketika telah tiada? Walalâkhirati khairun laka minal ûlâ(kehidupan akhirat lebih baik dari kehidupan sekarang (dunia).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan