Home » » Pada Dustur, Bukan Figur.

Pada Dustur, Bukan Figur.

Written By Amoe Hirata on Minggu, 01 Februari 2015 | 19.52

Tema tentang cinta sahabat terhadap Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam merupakan tema yang tiada habisnya. Selalu ada sisi-sisi yang menarik dan indah dari lembaran cinta mereka terhadap Rasulullah shallallahu `alaihi wassallam. Kecintaan mereka terhadap Beliau sungguh luar biasa tiada tara. Mereka rela untuk susah, sedih, payah, sengsara, melarat, bahkan walaupun harus kehilangan satu-satunya nyawa. 
Bagaimana tidak, Nabi Muhammad adalah manusia teragung; makhluk terbaik yang memiliki kebesaran tiada tara; manusia pilihan yang diberi mandat Tuhan untuk menebarkan cinta bagi seantero alam. Rasa cinta yang berefek rela kehilangan nyawa menggambarkan betapa besarnya obyek yang dicintai. Mereka benar-benar tulus dan jujur pada rasa cinta mereka. Bukan hanya mendapat cinta yang diinginkan, tapi mendapatkan cinta yang benar dan tepat bagi kehidupan mereka. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda: tidak (sempurna) keimanan di antara kalian, hingga aku lebih dicintai daripada anak, orang tua dan semua manusia. Mereka telah lulus dalam masalah cinta sehingga layak mendapatkan balik cinta kasih beliau. Bukan hanya di dunia yang fana tapi juga kelak di surga untuk selamanya.
            Namun, sebesar apapun cinta mereka terhadap Nabi, sedahsyat apapun sayang mereka kepada Rasul, sejatinya Rasul juga manusia biasa yang akan meninggal dunia. Karena itu, beliau meninggalkan dustur, prinsip nilai yang begitu luar biasa untuk dijadikan sistem ketika Beliau telah tiada. Karena Islam sebagai agama menyimpan dua daya tarik. Daya tarik pertama ialah kebenaran sejati yang konstan berupa nilai yang terkandung dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Daya tarik kedua ialah individu muslim sebagai pengejawantah kebenaran sejati yang bersifat temporal dan dinamis. Karena sifat figur muslim yang sementara dan temporal, maka kita dilarang terlalu bergantung pada figur. Bergantung pada meteri akan tiada jika materi sudah hancur binasa. Sedang bergantung pada prinsip nilai yang abadi dan hakiki akan senantiasa relevan sepanjang masa.
            Pada banyak kesempatan, Rasulullah melarang sahabat mengkultuskan individunya. Karena pada dasarnya, kecintaan yang berlebihan dan tak didasari nilai kebenaran hingga melahirkan kultus akan berdampak negatif baik bagi individu maupun perjuangan secara kolektif. Berkaitan dengan ini, ada peristiwa yang sangat berharga dan penting untuk dijadikan i`tibar. Kisah ini disadur dari sirah nabawiyah (kisah nabi) yang menceritakan kekalahan kaum muslimin pada perang Uhud. Ketika tersebar kabar miring bahwa Rasulullah telah meninggal dunia, beberapa sahabat tak kuasa menahan kenyataan ini hingga kocar-kacir, lari pontang-panting dari barisan jihad yang sebelumnya sangat kokoh dan teguh. Di antara mereka yang tetap tegar dan teguh membela Rasulullah ialah Abu Bakar, Umar, Ali dan sahabat besar lainnya. 
             Pada peristiwa besar ini, Allah menegur kaum muslimin bahwa perjuangan ini seharusnya tetap berjalan mesti figur Rasul telah tiada. Rasul hanyalah manusia biasa, yang tidak akan abadi di dunia. Ia terbatas usia dan waktu. Yang diutamakan ialah dusturnya, bukan kefigurannya; yang diprioritaskan ialah contohnya bukan ketokohannya. Dakwah akan senantiasa berjalan karena mempunyai pesona kebenaran abadi berupa al-Qur`an dan as-Sunnah. Meskipun pada batas tertentu kita diperkanankan untuk menghargai, menyayangi dan mencintainya, namun semua rasa ini tak boleh menggelapkan hati hingga jika beliau meninggal lantas ajarannya juga ditinggal.
            Organisasi apapun namanya, instansi apapun namanya, perkumpulan apapun namanya,  kalau acuan strategi dan visi misinya hanya terpaku pada figur dan tokoh maka dijamin tak akan berusia panjang. Militansi dan komitmennya sepanjang figur dan tokoh masih hidup. Adapun ketika telah tiada maka sedikit demi sedikit akan hancur berantakan. Bukan berarti cinta pada tokoh dan figur itu terlarang, tetapi kecintaan yang berlebihan dan tak berdasar malah akan berdampak negatif baik bagi individu maupun komunitas. Abu Bakar sedih bukan main ketika Rasulullah meninggal, sahabat yang lainpun demikian, hingga terdengar suara rintihan yang seolah tak percaya bahwa beliau telah pergi. Sahabat sekaliber Umar bin Khathab juga tak percaya kalau Nabi sudah meninggal, hingga dibacakan oleh Abu Bakar surat Ali Imran ayat 144. Bahwa Rasul manusia biasa dan akan mengalami kematian sebagaimana Rasul-rasul yang lain. 
            Seolah Abu Bakar ingin menegaskan bahwa Rasul memang telah tiada, namun ajarannya akan senantiasa ada. Jangan terpaku pada figur, terpakulah pada dustur abadi yang telah diwasiatkan Rasul ketika haji wada`: aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang jika berpegang teguh pada keduanya niscaya tak akan sesat selama-lamanya yakni: Kitab Allah dan Sunnahku. Prinsip-prinsip nilai yang abadi itu akan selalu menemani kita. Tiada kata henti dalam perjuangan ini, meski tokoh dan figur silih berganti. Kecintaan yang tinggi pada figur tidak boleh melunturkan komitmen kita pada dustur. Karena dustur ilahi tak kan pernah luntur.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan