Home » » Minta Jabatan

Minta Jabatan

Written By Amoe Hirata on Rabu, 12 September 2012 | 19.36

             Pada tulisan yang berjudul: ‘Takut Jabatan’, disinggung suatu etika penting berkaitan dengan jabatan. Di antaranya bahwa hubungan seseorang dengan jabatan ialah: diminta bukan meminta, diajukan bukan mengajukan serta dimohon bukan memohon. Kemudian ada peristiwa sejarah yang diabadikan Al-Qur`an ada kisah yang berkaitan dengan orang yang meminta jabatan. Kisah ini berkaitan dengan kisah Nabi Yusuf, yang meminta pada raja mesir kala itu untuk menjadi bendaharawan kerajaan Mesir. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah peristiwa sejarah mengenai Yusuf meminta jabatan dengan hadits-hadits Nabi yang menganjurkan tidak meminta jabatan itu bertentangan? Padahal hadits-haditsnya shahih? Dengan melihat secara sepintas tanpa meneliti dan mencermati terlebih dahulu mungkin orang akan mengatakan ayat dan hadits berkaitan dengan meminta jabatan sangat bertentangan. Namun jika mau jeli dan mau mengumpulkan beberapa hadits dan dengan hati-hati memahami Al-Qur`an sedara komprehensif, maka antara keduanya sama sekali tidak ada pertentangan atau kontradiksi. Ketika Yusuf mengatakan:: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". Yang perlu digarisbawahi dari kata-kata Yusuf ialah kata: pandai menjaga dan lagi berpengetahuan. Dua acuan ini menandakan Yusuf mampu menjabat bendaharawan lantaran dua kualifikasi kompetensi yang dimiliki, karena itu ia minta dijadikan bendaharawan. Lebih luas lagi bahwa Nabi Yusuf mementanya bukan untuk kepentingan diri sendiri, tapi untuk kepentingan rakyat, suasananya juga mengharuskan ada bendaharawan yang mampu mengatasi musibah kemarau panjang dan kelangkaan pangan yang akan dihadapi.
            Dalam sejarah emas sahabat-sahabat Nabi ada dua fenomena peristiwa menarik yang perlu diangkat berkaitan dengan meminta jabatan. Minimal yang mau diangkat pada tulisan ini ialah dua kisah yang sama sekali bertentangan dan disikapi Nabi dengan jawaban yang berbeda. Pertama ialah kisah Abu Dzar Al-Ghifari. Suatu ketika ia meminta jabatan gubernur kepada Nabi, kemudian dijawab: Wahai Abi Dzar engkau adalah orang yang lemah, jabatan itu amanah, jabatan pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang benar-benar menunaikan kewajibannya,(serta mampu) mengemban amanat yang diembannya. Kisah lain dengan tema yang sama dan dengan jawaban berbeda yaitu ketika seorang sahabat yang bernama Ziyad bin al-Harits as-Shuda`i meminta Rasul menjadikan amir(pemimpin)) kaumnya, lalu Rasul membolehkan dan membiarkannya. Ziyad adalah seorang sahabat yang sangat ditaati oleh kaumnya, yaitu kaum Shuda`. Lihat, keduanya sama-sama meminta jabatan tetapi dijawab dengan jawaban yang berbeda. Sepintas memang bertentangan, tetapi bila kita mau lebih teliti dan menganalisa lebih dalam, ada hal yang melandasi jawaban Nabi. Nabi menolak Abu Dzar meminta jabatan karena Abu Dzar adalah orang yang lemah dalam masalah kepemimpinan, bila diteruskan maka malah akan menjadi kerusakan. Rasulpun di akhir hadits secara obyektif juga memberi pengecualian bagi mereka yang mampu mengemban amanah jabatan dengan baik. Sedangkan Ziyad bin Harits mempunya kompetensi tentang kepemimpinan. Ia sangat ditaati oleh kaumnya. Orang yang tidak mempunyai keahlian dan karisma menjadi pemimpin, tidak mungkin ditaati sedemikian rupa oleh kaumnya. Namun ke dua peristiwa itu mengalir pada muara yang sama bahwa keduanya meminta jabatan bukan karena kepentingan pribadi, tetapi kepentingan orang banyak.
            Karena itulah kita harus berhati-hati menyikapi masalah meminta jabatan. Dari sekian banyak orang yang meminta lebih banyak tumbangnya daripada tetap tegarnya. Karena itu juga sangatlah wajar ketika Rasulullah mewanti pada sahabat yang bernama Abdurrahman bin Samurah: Wahai Abdurrahman bin Samurah, kamu jangan meminta jabatan, jika kamu diberi jabatan karena memintanya, maka (beban jabatan akan ditimpakan)padamu, namun jika kamu diberi jabatan tanpa memintanya, maka kamu akan ditolong(Hr. Bukhari dan Muslim). Kita bisa melihat, merasakan, menyimak, mengamati, merenungi fenomena meminta jabatan di desa kita, di kabupaten kita, di provinsi kita hingga negara kita sangatlah menggeliat dan menjamur. Coba lihat hasilnya! Masyarakat, rakyat tambah makmur apa tambah ajur? Kenyataannya malah terpuruk meski memang tidak semuanya seperti itu. Sudahkah mereka siap berlaku seperti Yusuf yang kompeten dan ahli sehingga mampu mengemban amanah?; sudahkah mereka menapaktilas jejak Ziyad bin Harist yang mempunyai kemampuan menggerakkan kaumnya kearah kebaikan?; sudahkah mereka mampu mengedepankan kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan pribadi, sebagaimana Nabi Yusuf dan Ziyad?; Kemudian sudahkah lingkungan sedemikian mendesak sehingga membuat mereka maju mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin? 
Jawaban itu sangatlah jelas dan tidak perlu dijelaskan karena masing-masing dari kita sudah bisa menjawabnya melalui realita yang ada. Kenyataan yang ada menjelaskan bahwa permintaan jabatan tidak berbanding lurus dengan kemakmuran rakyat, ketika jabatan sudah didapatkan; permintaan jabatan tidak diimbangi dengan motif memprioritaskan kepentingan umum atas kepentingan pribadi ketika jabatan sudah didapat; permintaan jabatan tidak berjalinkelindan dengan kemampuan yang dimiliki. Akibatnya amanah disia-siakan. Ketika amanah disia-siakan, maka merupakan tanda-tanda kehancuran. Ketika Nabi ditanya tentang bagaimana menyianyiakan amanah, Nabi menjawab: jika sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran)nya. Dari lembaran sejarah yang dipaparkan di atas, coba dengan jujur kita bertanya pada hati kita: apakah selama hidup, kita  cendrung menjadi orang yang meminta jabatan apa diminta menjabat? Jawaban kita akan mempengarui jalan hidup kita, ketika kita terlibat secara langsung dengan kepentingan orang banyak. Masalahnya apakah kita mampu seperti Nabi Yusuf dan Ziyad ketika meminta jabatan? Kemudian ketika diminta sudahkah kita benar-benar mampu mengemban amanah jabatan? Kalau tidak mending kita zuhud terhadap jabatan, sembari melakukan yang terbaik di tengah kondisi umat manusia yang memperebutkan jabatan. Kerena pada akhirnya jika tak terlaksana dengan baik, hal itu malah akan menjadi kehinaan dan penyesalan kita di akhirat kelak.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan