Setiap orang mengaku menjadi Muslim. Masalahnya, Muslim bagaimanakah
yang dikehendaki oleh Allah Ta`ala? Kajian tafsir berikut akan
menjawabnya dengan jelas.
A.
Ayat Kajian : Al-Baqarah(208)
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ
خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٢٠٨ فَإِن
زَلَلۡتُم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡكُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُ فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٠٩
B.
Arti Mufradāt :
ٱلسِّلۡمِ : Islam
كَآفَّةٗ : Keseluruhan
خُطُوَٰتِ : Langkah-langkah
عَدُوّٞ : Musuh
مُّبِينٞ : Nyata
فَإِن
زَلَلۡتُم : Maka jika kalian tergelincir
ٱلۡبَيِّنَٰتُ : Keterangan atau bukti
C.
Arti Ayat :
Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu(208) Tetapi
jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti
kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(209)
D.
Sebab Turun :
Diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir dari Ikrimah, ia berkata, ‘Abdullah bin Salam, Tsa`labah, Ibnu
Yamin, Asad & Usaid anak Ka`ab, Sa`id bin `Amru, dan Qais bin Zaid
–semuanya berasal dari Yahudi- berkata: “Wahai Rasulullah! Hari Sabtu adalah
hari agung yang biasa kami hormati. Biarkan kami mengagungkannya! Sesungguhnya
Taurat adalah Kitab Allah, maka perkenankan kami berdiri(membacanya) di malam
hari.” Lalu turunlah ayat ini(Al-Baqarah: 208).
E.
Tafsir :
Ayat ini dimulai
dengan ‘panggilan kasih sayang’ dari ar-Rahmān, “Hai orang-orang yang
beriman,”.
Terkait ayat yang diawali dengan ungkapan ini, Abdullah bin Mas`ud berkomentar,
‘Jika kamu mendengar Allah berfirman: {Ya ayyuhalladzīna Āmanu}, maka dengarkan dengan
baik, karena (sesudahnya pasti) ada kebaikan yang diperintah, atau kejelekan
yang dilarang.’
Siapa
saja yang mengaku beriman, maka perhatikan dengan sungguh-sungguh perintah atau
larangan pada ayat ini. Di sini ada satu perintah dan satu larangan.
Perintahnya, ‘masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,”. Masuk Islam
itu harus menyeluruh, tak boleh sepotong-sepotong.
Sebagaimana
sebab turunnya ayat ini, para sahabat yang sebelumnya beragama Yahudi, masih
ingin meminta pada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam agar
dibiarkan mengagungkan ritual keagamaan
di hari Sabtu, bahkan membaca kitabnya di malam hari. Namun, ayat ini
menolaknya. Berislam harus total, tidak boleh parsial.
Ketika
Umar ta`jub dengan kitab Taurat, Rasul marah, dan menyebutnya sebagai mutahawwik(orang
bingung). Ini karena, apa yang ada dalam Islam, melalui sumbernya al-Qur`an
sudah cukup. Tidak perlu mengambil lagi dari kitab-kitab lainnya. Cukuplah
Islam dilaksanakan secara kaffah.
Suatu saat Mutsannah bin al-Haritsah(sesepuh suku Syaiban) memberi
penawaran menarik pada Rasulullah. Ia dan sukunya mau membela, mengikutinya
asal di kawasan Arab saja. Rasul pun dengan tegas dan penuh adab menolak,
sembari berujar: “Sesungguhnya agama Allah[Islam] ta`ala tidak akan
ditolong oleh-Nya, melainkan orang yang (mau memperjuangakan) segenap sisinya,”(al-Sirah
al-Nabawiyah wa akhbaru al-Khulafa, Ibnu Hibban, 1/101).
Peristiwa itu mengajarkan pelajaran penting: jika mengaku mengikuti
nabi, memperjuangkan Islam, maka harus pada segenap sisinya.
Mengambilnya sepotong-sepotong hanya akan membuat Islam jadi rancu.
Akibatnya, persatuan umat sulit terwujud. Umat lain pun dengan mudah mengadu
domba umat Islam.
Kemudian, yang dilarang dalam ayat ini ialah, ‘dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan,’. Imam Qatadah dan Sadyu
–sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya-, menyatakan: “Yang dimaksud
dengan langkah-langkah setan ialah setiap (perbuatan) maksiat terhadap Allah ta`ala.”
Dinamika yang terjadi pada kisah Adam, Hawa dan Iblis adalah contoh riil
bagaimana moyangnya setan(Iblis), membuat langkah-langkah yang menggelincirkan
Adam dari ketaatan menuju kemaksiatan.
Langkah Iblis sangat halus, lembut, licin, dan strategis. Adam dan Hawa
dirayu, dibujuk, diyakinkan bahwa pohon yang dilarang malah membuatnya kekal
dan menjadi raja. Di sini yang dirusak Iblis bukan perintah Allah, tapi maksud
dari perintahNya. Sebegitu halusnya sehingga Adam dan Hawa pun terjatuh pada
kemaksiatan. Dewasa ini-bahkan sejak dulu-, cara-cara atau langkah-langkah
Iblis itu ternyata banyak diikuti oleh orang-orang liberal.
Apa hubungan antara perintah berislam secara total dengan larangan
mengikuti langkah setan? Yang gampang dimengerti ialah: Berislam secara total
itu tak gampang. Di sana ada aral merintang buatan setan. Maka, usaha untuk
menjalankan Islam secara total, harus diiringi kesadaran mendalam tentang
langkah-langkah setan yang setiap saat bisa menggelincirkan jika tak hati-hati.
Suatu saat Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam –sebagaimana
riwayat Hakim dan Ahmad- membuat garis lurus, dan garis miring di samping kanan
dan kirinya. Garis lurus itu dikatakan sebagai jalan Allah(Islam). Sedangkan
garis miring di sampingnya adalah jalan setan. Maka dengan tegas Allah
berfirman: “dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”(Qs. Al-An`am: 153).
Ayat
ini dipungkasi dengan penegasan dariNya, “Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu.” Terkait ayat ini, Syaikh al-Maraghi menerangkan: “Yaitu
janganlah kalian mengikuti jalannya setan dalam upaya menyesatkan dan membisiki
manusia berbuat kejelekan dan kekejian. Ia adalah musuh bagi kalian yang jelas
permusuhannya. Setan merupakan penumbuh lintasan pikiran yang jelek, dan
pendorong orang melakukan tindak kriminal serta dosa.”
Mungkin
terbesit pertanyaan di benak pembaca, ‘Bukankah setan adalah mahluk ghaib yang
tak bisa diindra, lalu mengapa dikatakan sebagai musuh yang nyata?’. Ternyata,
yang dimaksud dengan musuh yang nyata –sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir-
ialah: nyata permusuhannya. Maksudnya, sejak awal Iblis, saitan dan manusia
sudah dijadikan sebagai musuh.
Karena
itu Allah berfirman: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka
anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak
golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyal.”(Qs.
Fathir: 6).
Setelah
terang posisi setan adalah musuh nyata, ayat selanjutnya menjelaskan: “Tetapi
jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti
kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Al-Baqarah:
209).
Syaikh
Sa`adi menjelaskan: “Pada ayat ini ada ancaman dan peringatan keras yang dapat
menghindarkan diri dari ketergelinciran(kesalahan). Allah Yang Maha Perkasa dan
Bijaksana, bisa memaksa orang yang bermaksiat dengan kekuatanNya serta menyiksa
pendosa berdasarkan hikmahNya. Di antara bentuk kebijaksanaannya ialah menyiksa
orang yang berbuat maksiat dan pendosa.
Jika
sudah berusaha -tanpa ada unsur kesengajaan-, tapi tetap tergelincir layaknya
Nabi Adam dan Hawa, maka cara yang paling tepat adalah segera bertaubat laiknya
keduanya dengan doa: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami
sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”(Qs. Al-A`rāf: 23).
Wallahu a`lam bi al-Shawāb
F.
Pelajaran :
1. Wajib menerima Islam
secara utuh
2. Dilarang menjalankan ajaran Islam secara
parsial
3. Setiap (orang) yang
menghalalkan sesuatu yang haram, serta meninggalkan kewajiban adalah pengikut
setan
4. Haram mengikuti langkah-langkah
setan
5. Perlu mengetahui dan
waspada terhadap langkah-langkah setan
6. Setan adalah musuh
yang nyata
7. Kesalahan yang
disengaja(lantaran sudah tahu bukti jelas) akan mengakibatkan siksa
8. Penjelasan tentang
kekuatan dan kebijaksanaan Allah
G.
Rujukan :
1. Lubābu al-Nuqūl, As-Suyuthi
2. Tafsīr al-Qur`ān al-`Aẓīm, Ibnu Katsir
3. Tafsīr al-Marāghi,
4. Aisar al-Tafāsir, Abu Bakar Jabir
al-jazairi
5. Taisīr al-Karīm al-Rahmān, Sa`adi
6. Tafsīr wa Bayān Mufradāti al-Qur`ān, Muhammad Hasan
al-Himshi
7. al-Sīrah al-Nabawiyah
wa Akhbāru al-Khulafā, Ibnu Hibban
8. Mustadrak, Hakim dan Musnad, Ahmad bin Mushtafa al-Maraghi
[Pernah terbit di Majalah: Al-Muslimun, Bangil].
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !