JIHAD via qalam (pena, tulisan)
adalah bagian penting yang turut mewarnai dinamika perjuangan Ulama. Di
sepanjang sejarah, ada banyak contoh yang membuktikan bahwa mereka adalah
seorang mujahid (pejuang) yang sangat intens dalam bidang ini. Ibnu Jarir At-Thabari misalnya, selain lisan, beliau
juga sangat aktif dalam berjihad via tulisan. Hal ini bisa dilihat dari
produktivitasnya dalam menulis buku. Menurut
catatan sejarah, bila semua karangannya dikalkulasikan, berjumlah 358 ribu
lembar. Ini berarti dalam sehari ia
mampu menulis sebanyak 40 lembar (Abdu al-Fattah Abu Ghuddah, Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, 43).
Contoh lain yang tidak kalah
menarik, Imam Ibnu Jauzi, ulama bermadzah Hanbali ini juga berjihad dalam
bidang tulisan. Abdu al-Fattah dalam bukunya menyebutkan bahwa beliau meninggalkan
karya sebanyak lima ratus buku (Qīmatu al-Zaman, 56). Bahkan ada yang sangat mengharukan. Syekh Abu
Bakar al-Bāqalāni tidak tidur sebelum menulis 35 lembar per-hari (Qīmatu al-Zaman, 86). Ini berarti semangat jihad ulama dalam
bidang tulisan tidak diragukan lagi.
Ulama lain seperti Imam
al-Gazhali, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziah,
al-Hafidh Ibnu Katsir, Imam al-Dzahabi, Imam al-Suyuthi dan lain sebagainya
adalah ulama-ulama yang turut serta meramaikan jagad sejarah jihad umat Islam
via tulisan.
Dalam negeri pun, ada banyak ulama yang berjihad via tulisan. Sebagai
contoh - tanpa bermaksud membatasi – misalnya KH. Agus Salim, A. Hassan, M.
Natsir dan Buya Hamka. Dalam buku yang berjudul Haji Agus Salim (1884-1954)
Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, disebutkan bahwa beliau adalah
seorang penulis yang kreatif dan produktif. Tulisannya begitu luas cakupannya
dan sangat tajam. (Haji Agus Salim [1884-1954] Tentang Perang, Jihad, dan
Pluralisme. Hal: 21).
Ahmad Hassan, seorang ulama
yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam berdebat, ternyata juga menggeluti
jihad ini. Menutur penelitan Guillaume Frédéric Pijper dan Tujimah, selain alim
dan cerdas, Pendiri Pesantren PERSIS Bangil ini diakui sebagai penulis
produktif. (Penelitian tentang agama Islam di Indonesia, 1930-1950, hal:
38). Buku yang berjudul: Soal-Jawab, Tafsir al-Furqan, Islam dan Kebangsaan,
Kesopanan Tinggi, ABC Politik, al-Hidayah, Risalah Jum’at, Kitab Tauhid, Adakah
Tuhan?, adalah beberapa contoh karangannya
yang mencapai tujuh puluh lebih.
Mohammad
Natsir, yang juga merupakan murid A. Hassan, juga menekuni jihad dalam bidang
tulisan. Dalam buku yang berjudul 100 Tahun Mohammad Natsir, disebutkan bahwa beliau seorang penulis
kreatif. Sebagai contoh, di masa penjajahan Belanda, beliau sudah melahirkan
karya tulis berbahasa Belanda yang diperhitungkan. Buku yang berjudul Komt
tot het Gebed (1931), Mohammad als Proffet (1931), Gouden Regels
uit den Quran (1932), dan Het Vasten (1934) beberapa contoh buah
tangannya. (100 Tahun Mohammad Natsir, Berdamai dengan Sejarah, hal:
426). Polemik antara dirinya dengan Soekarno via tulisan juga menjadi bukti
penting bahwa beliau sangat intens berjihad di medan ini.
Demikian
juga Buya Hamka. Menutut James Roberth Rush, beliau adalah sosok penulis yang
cakap, produktif, dan populer. Di akhir tahun 1930-an, karya-karya Hamka sudah
bisa didapat di perpustakaan sekolah umum. (A. Suryana Sudrajat, Ulama
Pejuang dan Ulama Petualang, hal: 13 dan 14). Karya monumental yang
tertoreh dalam jeruji besi seperti Tafsir al-Azhar, adalah salah satu
bukti bahwa ulama kharismatik sekaliber beliau juga turut andil dalam berjihad
via tulisan.
Beberapa
cerita di atas menunjukkan bahwa jihad via tulisan adalah salah satu bentuk
perjuangan jihad ulama muslim di sepanjang sejarah. Dengan menulis, mereka bisa
menjaga khazanah keilmuan Islam sekaligus abadi sepanjang masa walau raga sudah
bercampur tanah. Ini sesuai dengan peribahasa Latin kuno yang menyatakan, verba
volant, scripta manent, yang berarti: apa yang terucap akan berlalu, namun
yang tertulis (dibukukan) abadi selamanya.
Demikian juga pernyataan John F.
Kenedy, “A man may die, nations may rise and fall, but an idea lives on.” [Ya,
apa yang ditulis itu abadi selamanya. Manusia boleh saja mati, bangsa-bangsa
dapat saja bangkit dan jatuh, akan tetapi ide tetap hidup dan tak pernah
mati!"]( DR. A.B. Susanto, 60 Management Gemns, XXI).
Sebagai penutup, terkait
pentingnya jihad via tulisan, kata-kata mutiara KH. Imam Zarkaysi ini perlu
dicamkan baik-baik, “Andaikata muridku tinggal satu, akan tetap kuajar, yang
satu ini sama dengan seribu, kalaupun yang satu ini pun tidak ada, aku akan
mengajar dunia dengan pena." (Ahmad Suharto, Senarai Kearifan Gontor,
hal: 12). Ungkapan terakhir beliau ini menunjukkan relevansi berjihad via
tulisan. Wallāhu a’lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !