Dalam buku kumpulan esai yang berjudul, Surat
Kepada Kanjeng Nabi(hal. 32, terbitan: Mizan, 2015), ada pernyataan
menarik yang ditulis Budayawan Muslim, Emha Ainun Nadjib:
“Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak
dari penduduknya. Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis,
punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Anshor,
Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah,
kelompok-kelompok studi Islam intensif, yayasan-yayasan, mubalig-mubalig,
budayawan, dan seniman, cendekiawan dan apa saja”.
Ia pun memungkasi, “Yang tak kami punya hanyalah
kesediaan, keberaniaan, dan kerelaan sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.”
Pernyataan Budaayawan yang akrab dipanggil “Cak
Nun” di atas, ternyata masih relevan –meski ditulis di era sembilan puluhan- dengan
kondisi umat Muslim saat ini, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Pada kulit permukaannya, setiap
Muslim –apapun aliran, kelompok dan golongannya- pasti mengaku mengikuti jejak Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wasallam. Masalahnya –bila dilihat di lapangan- ada beragam warna kontras dalam
memanivestasikannya, sehingga
mengesankan ajaran yang dikotomis.
Ironisnya, masing-masing –yang masih dalam payung Islam- merasa
paling mewakili, bahkan bangga terhadap mereka terhadap kelompoknya yang
dianggap ittibā`(mengikuti) Kanjeng
Nabi(Ini sesuai dengan, Al-Mu`minun: 53 dan Ar-Rum: 32).
Sikap
demikian membuat gambaran nabi menjadi tak utuh, ajarannya pun terpenggal-penggal.
Yang berjuang melalui
jalur budaya, melihat sepak terjang nabi hanya pada kebijakan-kebijakan
kultural, sehingga ajaran-ajaran beliau yang lain tak begitu dihiaraukan.
Yang berjuang dengan orientasi politik,
menakar nabi dengan sudut pandang politik, sehingga ajaran agung lain dari
beliau tidak begitu diperhatikan.
Yang
berjuang pada orientasi pemurniaan akidah dan syari`at, kadang tak peduli
terhadap masalah politik dan kehidupan sosial umat. Ada juga yang
berkeliling-keliling daerah, meneladani dakwah nabi, sehingga yang dipentingkan
adalah dakwah ke luar daerah untuk menyampaikan ajaran-ajaran syariat
nabi(seperti: Rukun Islam), di sisi lain tak peduli pada politik.
Bahkan
ada juga yang memilihnya dengan cara pandang subtantif. Misalkan, Islam itu
adalah agama cinta, maka tak dibenarkan kekerasan atas nama agama. Tanpa sadar
membiarkan saudara Muslim dianiaya, (bahkan membela) aliran-aliran menyimpang,
di sisi lain berusaha menutup-nutupi ajaran jihad yang ada dalam Islam(karena
khawatir dicap teroris).
Di sisi lain ada juga yang mau mengikuti Muhammad, dan Islam asalkan bersumber dari kalangan Ahlul Bait sehingga menafikan yang lainnya.
Semua
mengaku mengikuti nabi, mencintainya, padahal gambaran mereka tentang nabi
masih dikotomis, tidak kaffah. Gerakan-gerakan yang ada hanya menggambarkan sudut sempit di
mana nabi bergerak, belum benar-benar menunjukkan nabi yang utuh. Maka jangan
heran jika sampai sekarang umat Islam belum menyatu, karena masing-masing
berjuang sesuai dengan tafsir dan kecendrungannya.
Suatu
saat Mutsannah bin al-Haritsah(sesepuh Bani Syaiban) memberi penawaran menarik
pada Rasulullah. Ia dan sukunya mau membela, mengikutinya asal di kawasan Arab
saja. Rasul pun dengan tegas dan penuh adab menolak, sembari berujar: “Sesungguhnya
agama Allah ta`ala tidak akan ditolong oleh-Nya, melainkan orang yang
(mau memperjuangakan) segenap sisinya,”(al-Sirah al-Nabawiyah wa akhbaru
al-Khulafa, Ibnu Hibban, 1/101).
Peristiwa
itu mengajarkan pelajaran penting: jika mengaku mengikuti nabi, memperjuangkan
Islam, maka harus pada segenap sisinya.
Mengambilnya
sepotong-sepotong hanya akan membuat Islam jadi rancu. Akibatnya, persatuan
umat sulit terwujud. Umat lain pun dengan mudah mengadu domba umat Islam.
Syaikh Mutawalli
al-Sya`rawi dalam salah satu ceramahnya menyatakan, ‘Tidak mungkin sesama yang haq
akan bertentangan, yang memungkinkan bertentangan adalah jika sama-sama bathil,
karena jika yang hadir benar-benar haq(sesuai, Qs. Al-Isra: 81) maka
kebatilan pasti lenyap.
Pertanyaannya sekarang
ialah: masing-masing golongan apa sudah pada posisi yang haq? Benar-benar
menggambarkan Nabi Muhammad dan Islam secara menyeluruh? Jika di lapangan masih
banyak terjadi perselisihan destruktif sesama umat Islam, maka masing-masing (dengan
rendah hati) harus mengevaluasi diri.
Mari mengikuti Muhammad shalallahu
`alaihi wasalam dan Islam dengan segenap sisinya, supaya kita ditolong
Allah, dan persatuan pun bisa terwujud.
Wallahu `alam bi al-Shawab.
Mnurut antum sndiri bagaimana sbnarnya langkah2 yg msti kta lakukan untuk memahamkan kpada msyarakat agar ajaran Kanjeng nabi yang di pahami tidak spotong2 yang akhirnya dpat mnyalahkan satu sama lainnya.
BalasHapusMnurut antum sndiri bagaimana sbnarnya langkah2 yg msti kta lakukan untuk memahamkan kpada msyarakat agar ajaran Kanjeng nabi yang di pahami tidak spotong2 yang akhirnya dpat mnyalahkan satu sama lainnya.
BalasHapus