Home » » Benarkah Kita Pengikut Muhammad?

Benarkah Kita Pengikut Muhammad?

Written By Amoe Hirata on Rabu, 04 November 2015 | 13.25

Dalam buku kumpulan esai yang berjudul, Surat Kepada Kanjeng Nabi(hal. 32, terbitan: Mizan, 2015), ada pernyataan menarik yang ditulis Budayawan Muslim, Emha Ainun Nadjib:
“Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Anshor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yayasan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, dan seniman, cendekiawan dan apa saja”.
Ia pun memungkasi, “Yang tak kami punya hanyalah kesediaan, keberaniaan, dan kerelaan sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.”
Pernyataan Budaayawan yang akrab dipanggil “Cak Nun” di atas, ternyata masih relevan –meski ditulis di era sembilan puluhan- dengan kondisi umat Muslim saat ini, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
            Pada kulit permukaannya, setiap Muslim –apapun aliran, kelompok dan golongannya- pasti mengaku mengikuti jejak Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Masalahnya –bila dilihat di lapangan- ada beragam warna kontras dalam memanivestasikannya, sehingga mengesankan ajaran yang dikotomis.
            Ironisnya,  masing-masing –yang masih dalam payung Islam- merasa paling mewakili, bahkan bangga terhadap mereka terhadap kelompoknya yang dianggap ittibā`(mengikuti) Kanjeng Nabi(Ini sesuai dengan, Al-Mu`minun: 53 dan Ar-Rum: 32).
            Sikap demikian membuat gambaran nabi menjadi tak utuh, ajarannya pun terpenggal-penggal.
Yang berjuang melalui jalur budaya, melihat sepak terjang nabi hanya pada kebijakan-kebijakan kultural, sehingga ajaran-ajaran beliau yang lain tak begitu dihiaraukan. Yang  berjuang dengan orientasi politik, menakar nabi dengan sudut pandang politik, sehingga ajaran agung lain dari beliau tidak begitu diperhatikan.
            Yang berjuang pada orientasi pemurniaan akidah dan syari`at, kadang tak peduli terhadap masalah politik dan kehidupan sosial umat. Ada juga yang berkeliling-keliling daerah, meneladani dakwah nabi, sehingga yang dipentingkan adalah dakwah ke luar daerah untuk menyampaikan ajaran-ajaran syariat nabi(seperti: Rukun Islam), di sisi lain tak peduli pada politik.
            Bahkan ada juga yang memilihnya dengan cara pandang subtantif. Misalkan, Islam itu adalah agama cinta, maka tak dibenarkan kekerasan atas nama agama. Tanpa sadar membiarkan saudara Muslim dianiaya, (bahkan membela) aliran-aliran menyimpang, di sisi lain berusaha menutup-nutupi ajaran jihad yang ada dalam Islam(karena khawatir dicap teroris).
            Di sisi lain ada juga yang mau mengikuti Muhammad, dan Islam asalkan bersumber dari kalangan Ahlul Bait sehingga menafikan yang lainnya.
            Semua mengaku mengikuti nabi, mencintainya, padahal gambaran mereka tentang nabi masih dikotomis, tidak kaffah. Gerakan-gerakan yang ada hanya menggambarkan sudut sempit di mana nabi bergerak, belum benar-benar menunjukkan nabi yang utuh. Maka jangan heran jika sampai sekarang umat Islam belum menyatu, karena masing-masing berjuang sesuai dengan tafsir dan kecendrungannya.
            Suatu saat Mutsannah bin al-Haritsah(sesepuh Bani Syaiban) memberi penawaran menarik pada Rasulullah. Ia dan sukunya mau membela, mengikutinya asal di kawasan Arab saja. Rasul pun dengan tegas dan penuh adab menolak, sembari berujar: “Sesungguhnya agama Allah ta`ala tidak akan ditolong oleh-Nya, melainkan orang yang (mau memperjuangakan) segenap sisinya,”(al-Sirah al-Nabawiyah wa akhbaru al-Khulafa, Ibnu Hibban, 1/101).
            Peristiwa itu mengajarkan pelajaran penting: jika mengaku mengikuti nabi, memperjuangkan Islam, maka harus pada segenap sisinya.
Mengambilnya sepotong-sepotong hanya akan membuat Islam jadi rancu. Akibatnya, persatuan umat sulit terwujud. Umat lain pun dengan mudah mengadu domba umat Islam.
Syaikh Mutawalli al-Sya`rawi dalam salah satu ceramahnya menyatakan, ‘Tidak mungkin sesama yang haq akan bertentangan, yang memungkinkan bertentangan adalah jika sama-sama bathil, karena jika yang hadir benar-benar haq(sesuai, Qs. Al-Isra: 81) maka kebatilan pasti lenyap.
Pertanyaannya sekarang ialah: masing-masing golongan apa sudah pada posisi yang haq? Benar-benar menggambarkan Nabi Muhammad dan Islam secara menyeluruh? Jika di lapangan masih banyak terjadi perselisihan destruktif sesama umat Islam, maka masing-masing (dengan rendah hati) harus mengevaluasi diri.
Mari mengikuti Muhammad shalallahu `alaihi wasalam dan Islam dengan segenap sisinya, supaya kita ditolong Allah, dan persatuan pun bisa terwujud.

Wallahu `alam bi al-Shawab.
Share this article :

2 komentar:

  1. Mnurut antum sndiri bagaimana sbnarnya langkah2 yg msti kta lakukan untuk memahamkan kpada msyarakat agar ajaran Kanjeng nabi yang di pahami tidak spotong2 yang akhirnya dpat mnyalahkan satu sama lainnya.

    BalasHapus
  2. Mnurut antum sndiri bagaimana sbnarnya langkah2 yg msti kta lakukan untuk memahamkan kpada msyarakat agar ajaran Kanjeng nabi yang di pahami tidak spotong2 yang akhirnya dpat mnyalahkan satu sama lainnya.

    BalasHapus

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan