Home » » Seutas Tali Cinta Terikat Dua Hati

Seutas Tali Cinta Terikat Dua Hati

Written By Amoe Hirata on Rabu, 28 Maret 2012 | 17.27


          Ba`da shubuh, cahaya fajar mulai padhang bersinar. Menyinari tetumbuhuhan alam yang selalu bertasbih pada Tuhan semesta alam. Pepohonan tak hentinya menaburkan oksigen, sebagai wujud kepatuhannya pada Yang Maha Kuasa. Bunga-bunga mawar yang ada di pelataran rumah mulai memekarkan kuncupnya. Hawa pagi begitu menyejukkan hati. Badan terasa bugar segar. Suasana hati terasa gembira meluap asa. Para petani sudah mulai bergegas menuju hamparan sawah. Sekawanan burung emprit melambai-lambai di udara mencari makan untuk anak-anaknya. Embun pagi menyelimuti rerumputan yang sedang tumbuh menghijau. Ikan-ikan hias di kolam terlihat riang penuh senang  mengepakkan sirip indahnya. Kicauan merdu burung kenari begitu mengalun lembut membuat hati menari-nari hanyut dalam keindahan suaranya. “Betapa besar karunia Allah yang diberikan kepada hamba-hambanya. Namun banyak sekali hamba-hamba-Nya yang mengingkarinya”. Gumam Aisyah Dwi Artanti di taman samping rumahnya. 
                  Ia sedang asyik me-muraja`ah(mengulang) hafalan dan mentadabburi(merenungi) ayat-ayat Al-Qur`an. Waktu itu yang ia tadabburi ialah ayat dari surat Ar-Rahman yang berbunyi: fabiayyi alaai Rabbikuma tukadzdzibaan(dan dari karunia Rabmu yang mana lagi kamu mendustakan). Ia larut dalam suasana perenungan yang dalam. Betapa ia telah dianugerahi Allah nikmat begitu besar, dan merasa belum maksimal dalam mensyukuri nikmat yang tak terbatas itu. Ia sudah hafal Al-Qur`an. Kedepan ia pastinya akan mendapat cobaan yang berat, karena perjalanan ahli Al-Qur`an dalam meniti shirath mustaqim tidaklah mudah. Ia selalu berusaha memaksimalkan sifat sabar dan syukur supaya bisa tegar dalam menghadapi setiap cobaan.
            Dalam kondisi demikian, HP-nya berdering. Ia letakkan mushaf warna cokelat mudanya di tempat duduk samping taman. Setelah dilihat, ternyata ia mendapat telpon dari nomer yang tak dikenal. Ia angkat saja: “Halo assalamu`alaikum, afwan ini dengan siapa ya, ada keperluan apa?”.  “Wa`alaikumussalam, ini Shinta Aulia. Apa benar ini Aisyah”. “ Subahanallah, mbak Shinta toh, apa kabar mbaak, pean tau nomer ana dari siapa, kok tau kalo ana sudah lulus dan baru pulang?”. “Aku tau dari intan dek. Katanya dia adek kelas adek ya di pondok tahfidz?”. “Ooo Intan toh .... ternyata takdir Allah mempertemukan kita dalam kondisi seperti ini”. “Apa kabar kamu sekarang? Lagi sibuk apa? Kapan nih nyusul mbak”. “Al-Hamdulillah baik mbak, untuk sementara ga terlalu sibuk, hanya kegiatan muraja`ah saja, nyusul apa mbak maksudnya?”. 
        “Nikah maksudku...heee”. “Emm..gimana toh mbak ini saja baru lulus...belum terpikir mbak...tapi kalau ada yang pas memang saya sudah siap secara lahir batin”. “O ya alamat rumahmu masih tetap seperti yang dulu?”. “Ooo sudah pindah mbak, di jalan Kebun Indah”. “Wah pantesan kok setiap aku lewat ke rumahmu yang lama kok sepi-sepi saja, pernah sih ada keluarga gitu, tapi asing, ga ada yang ku kenal”. “Itu omku mbak..heee”. “Aisyah entar sore ada waktu ga? Aku mau shilaturrahim ke rumahmu”. “O ada-ada mbak monggo, ana insyaAllah ndak ke mana-mana”. “Oke...insya`allah ba`da ashar aku kerumahmu dengan seseorang”. “Silahkan mbak, kalau boleh tau sama siapa ya mbak”. “Entar kamu akan tau sendiri. Udah dulu ya dek, aku harus nganterin Alvino sekolah. Maaf lho kalau ganggu waktu adek. Assalamua`laikum”. “Ya mbak...sama-sama, tak tunggu di rumah lho ya, wa`alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”.

                                                                      ******

            Di kediaman Sabrina terlihat masih dipenuhi nuansa berkabung. Mamanya masih belum bisa percaya bahwa orang yang selama ini menemani susah-senang hidupnya, kini telah pergi meninggalkannya; orang yang selama ini menjadi imam dalam bahtera rumah tangganya, telah pergi jauh darinya. Allah telah menjemputnya menuju kehidupan yang lebih abadi. Di kompleks perumahan Gunung Sari, suaminya dikenal sebagai orang yang supel dan peduli sosial. Pantas ketika suaminya meninggal, banyak sekali yang mengantarkan jenazahnya. “Ma, aku tau ini sangatlah sulit bagi kita, tapi jika menangis terus, mungkin papa bukan malah bahagia, sejauh yang bisa kita bisa sekarang ialah mendoakan yang terbaik untuknya”. “Iya Sabrina, mama selalu mendoakan yang terbaik untuk papamu, cuman hati ini tak kuasa menahan tangis setiap ingat kenangan bersamanya, suatu saat kamu akan mengerti betapa perihnya kehilangan orang yang sangat kita cintai”.
           “Iya ma, aku sebenarnya sangat susah dan sedih ditinggal oleh beliau, tapi kurasa yang terbaik sekarang ialah mengikhlaskan dan berdoa yang terbaik untuknya. O ya ma katanya kemarin mama mau memberitahu wasiat papa yang harus disampaikan padaku? Kalau mama berkenan, apa washiat papa ke aku?”. “Gini Sabrina, kamu kan sudah lulus kuliahnya, sudah dapat pekerjaan tetap, mama rasa kamu sudah waktunya untuk menikah, nah washiat papamu itu berkaitan dengan pernikahan. Papamu jauh sebelum meninggal mau menjodohkan kamu dengan anak sahabatnya. Kamu tahu kan sama om Yuda Karisma? Nah itu sahabat papamu. Ia punya anak yang baru lulus S2 dari universitas Madinah. Anaknya penurut, pintar, dan baik hati lho”. “Aku ikut kata mama sama papa saja deh, yang jelas pilihan mama dan papa insyaallah yang terbaik buat Sabrina. Dari dulu Sabrina punya mimpi mempunyai suami shalih. Kalau takdir cintaku memang bersama dirinya aku akan siap menemaninya dalam mengarungi samudera kehidupan dengan behtera rumah tangga”.


                                                                       *****

            Di sore hari bulan Ramadhan, Aji sedang khusyu` membaca Al-Qur`an di ruang perpustakaan rumahnya. Beberapa saat setelah membaca Al-Qur`an, ia mencoba merenung sejenak, menentukan jawaban yang harus ia pilih. Ini merupakan pilihan sulit baginya. Saat itu ia mencoba melukiaskan suasana hatinya dengan menulis puisi:


Seutas tali cinta

Menjulur panjang

Menjalin kasih dan sayang

Ketika ku mencoba

Mengikat, dengan hati yang datang

Berupa jelita yang menyejuk  hati

Hati lain datang mengurai

Ikatan cinta yang kan terjalin

Ke siapa tali cinta ini harus ku jalin

Sedang hati ini

Berada di antara dua hati


            Belum lama setelah ia menulis puisi, ia mendapat telepon dari Shinta Aulia. “Assalamu`alaikum....Mas Aji, ini aku Shinta”. “Iya Sin, aku tau ini suara Shinta”. “Aku sekarang sedang berada di rumaAisyah Mas, aku sudah memberi pendahuluan mengenai maksudku menjodohkan mas dengan dia. Al-Hamdulillah Aisyah belum ada yang meminang. Kabar baiknya, ia juga siap untuk serius menikah. Setelah aku sampaikan baik-baik mengenai ketertarikan Mas dengan Aisyah, al-hamdulillah disambut dengan hangat. Insyallah mereka setuju semua. Aku lihat Aisyah tersipu malu. Cuman gini mas, untuk mengetahui keseriusan  mas, keluarga Aisyah pingin mas datang ke rumah Aisyah dengan keluarga mas, kalau bisa secepatnya. Gitu saja dulu ya mas, sampai jumpa lagi. Wassalamualaikum”. 
                 “O ya Sin entar tak kabari, wa`alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”. Mendapat telpon dari Shinta makin membuat Aji semakin bingung. Shinta sudah datang ke rumah Aisyah, dan menginginkan Aji segera ke rumah Aisyah untuk memastikan. Sedangkan orang tua Aji sama sekali belum tahu kalau Aji tertarik dengan Aisyah. Padahal ke dua orang tua Aji yakin bahwa Aji menerima pertunagannya dengan Sabrina. Apa yang akan dilakukan Aji?

                                                                               *********
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan