Home » » ‘Tak Sempat Shalat’, Tapi Sukses Akhirat

‘Tak Sempat Shalat’, Tapi Sukses Akhirat

Written By Amoe Hirata on Rabu, 24 Oktober 2012 | 19.37

              Allah subhanahu wata`ala menciptakan kematian dan kehidupan pada dasarnya –sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Mulk ayat: 2- ialah untuk menguji siapakah di antara kita yang paling baik amalnya. Ayat ini dengan jelas menekankan bahwa yang dijadikan patokan ialah ahsanu `amalan(amalan terbaik) bukan aktsaru amalan(amalan terbanyak). Yang menjadi tolak ukur dari sukses tidaknya seseorang dalam rangka ujian ketika diberi kematian dan kehidupan ialah baiknya amal. Amal yang baik menyangkut dua hal: Pertama: dilakukan dengan ikhlas. Kedua: dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulnya. Dengan demikian, sebanyak apapun amalan seseorang namun tidak memenuhi standar kebaikan maka tidak akan bernilai apa-apa. Adapun orang yang amalnya sangat minim dan sedikit tetapi kualitas amalannya sangat baik memenuhi standar syar`i, maka amalan yang sedikit ini bisa memudahkannya menuju kebahagiaan di Akhirat berupa  surga. Tentu saja yang tahu betul siapa yang benar-benar terbaik amalnya hanyalah Allah subhanahu wata`ala. Namun agama datang sebagai petunjuk yang memberitahukan standar-standar pada manusia mengenai baik tidaknya amalan. Sehingga dengan upaya yang serius dan sungguh-sungguh, selama berjalan pada standar syari`ah maka peluang untuk mendapat kemuliaan akan lebih besar daripada sekadar banyak amal namun tidak berangkat dari dasar syari`at yang benar, sebagaimana petunjuk Allah dan Rasulnya. Intinya ‘kebaikan amal’ merupakan prioritas dan penentu sukses tidaknya seseorang dalam beramal. Amal yang banyak tidak akan membantu jika tidak didasari dengan standar syar`i. Bayangkan jika amalan banyak sekaligus didasari dengan standar kebaikan syr`i, maka ini merupakan semacam jalan lebar yang bisa memudahkannya menuju akhirat.
            Dalam lembaran sejarah emas sahabat Nabi, ada peristiwa unik yang menunjukkan bahwa letak bernilainya amalan itu ialah bukan pada banyaknya tapi pada kandungan kebaikannya, meskipun sedikit. Dalam kitab Sirah Nabawiyahnya yang berjudul, “as-Sirah an-Nabawiyah, `Ardhu Waqaai` wa tahlilu Ahdats”, Ali Muhammad Muhammad Shalabi menceritakan: ada sahabat yang hanya bermodal syahadat tulus kemudian ia berjihad hingga gugur syahid. Padahal ia belum sempat shalat apalagi melaksanakan rukun Islam yang lainnya. Amalannya terhitung sangat sedikit dan minim bila dibandingkan dengan sahabat-sahabat lain yang sudah masuh Islam. Namun lihat capaian yang diraihnya ia mendapatkan surga. Sahabat itu ialah Al-Ushairim. Nama aslinya `Amru bin Tsabit bin Waqasy. Ia berasal dari suku `Aus, dari bani Asyhal. Ketika Sa`ad bin Muadz masuk Islam beserta suku `Aus lainnya, Ushairim belum mau menerima Islam karena masih ragu. Hatinya belum bisa menerima petunjuk Islam. Namun Allah akan menunjuki siapa saja yang dikehendakinya. Ketika terjadi perang Uhud, ia bertanya pada Rasul dimanakah Sa`ad bin Mu`adz? Dimanakah teman satu sukuku? Nabi menjawab: Mereka menuju Uhud. Ketika itu ia sudah merasa mantap hatinya untuk menerima petunjuk Islam sehingga, seketika itu juga ia menyatakan keislamannya pada Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam kemudian setelah itu ia mengambil tombak, pedang miliknya dan menaiki kuda lalu bergabung dengan sahabat-sahabat yang lain. Ketika ia berada di sekeliling para sahabat, ia diusir: menjauhlah dari kami! Ushairimpun menimpali: Aku telah beriman. Kemudian ia turut berperang hingga mengalami luka parah.
            Ketika teman-temannya dari bani Asyhal, mencari korban dari para sahabat yang terbunuh di perang Uhud, tiba-tiba mereka dikagetkan dengan jasad Ushairim yang terluka parah tapi masih hidup: Ini Ushairim, kenapai ia datang ke sini, bukankah sewaktu kita tinggal perang ia masih kafir? Lalu mereka menanyakan langsung pada Ushairim, apakah ia turut berpartisipasi perang karena fanatisme kesukuan atau karena senang terhadap Islam? Ushairim menjawab: Bahkan aku senang (masuk) Islam, aku beriman pada Allah dan Rasul-Nya, aku masuk Islam, kemudian aku bergabung dengan Rasulullah ikut perang, kemudian aku mengalami luka parah, jika aku meninggal maka semua hartaku untuk Muhammad, (silahkan) dipergunakan sekehendak hatinya”. Kemudian ia meninggal. Ketika dilaporkan kepada Rasulullah, Rasulpun berkomentar: innahu min ahlil jannah(ia termasuk dari penghuni surga). Padahal ia belum sempat shalat sama sekali. Di kesempatan lain Rasulullah bersabda: `amila qolilan waujiro(amalnya sedikit tapi mendapat ganjaran(yang besar). Bahkan Abu Hurairah bertanya pada orang-orang, ceritakan padaku siapakah sahabat yang masuk surga padahal belum pernah shalat? Ketika mereka tidak tahu, akhirnya meminta jawaban ke Abu Hurairah. Abu Hurairah menjawab: ia adalah Ushairim bin Abdil Asyhal. Ushairim dengan amalnya yang sedikit mampu menjemput momen terbaik atas izin Allah. Kejadian yang dialaminya mengajarkan kita nilai penting berupa: letak berharga tidaknya sebuah amalan ialah pada kebaikan yang terkandung di dalamnya, dalam artian sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Walau amalan terhitung sedikit, tetapi diposisikan pada standar semacam itu akan bernilai dahsyat. Pada pandangan orang banyak memang amalannya terhitung sedikit, namun yang membuat amalan itu berharga dan bernilai dahsyat ialah karena ketulusan, keikhlasan, dan kesungguhan untuk berjuang di jalan Allah. Sedikit tapi berkualitas saja sudah bernilai dahsyat, apalagi jika kita melakukan amalan banyak tapi berkualitas, Allah subhanahu wata`ala pasti akan mencucurkan rahmat-Nya. Kesempatan untuk itu, sebenarnya sangat terbuka lebar jika kita menghendakinya. Kesuksesan kita terletak pada seberapa cepat kita berubah, serta sepandai apa kita menjemput momentum yang diberikan Allah subhanahu wata`ala pada kita. Faidza faraghta fanshab, wa ila Rabbika farghab(jika ada waktu senggang maka gunakan lah untuk amal kebaikan, dan hanya kepada Rab kamulah kamu berharap).

            
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan