Allah subhanahu wata`ala menciptakan kematian dan kehidupan pada
dasarnya –sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Mulk ayat: 2- ialah untuk
menguji siapakah di antara kita yang paling baik amalnya. Ayat ini dengan jelas
menekankan bahwa yang dijadikan patokan ialah ahsanu `amalan(amalan
terbaik) bukan aktsaru amalan(amalan terbanyak). Yang menjadi tolak ukur
dari sukses tidaknya seseorang dalam rangka ujian ketika diberi kematian dan
kehidupan ialah baiknya amal. Amal yang baik menyangkut dua hal: Pertama:
dilakukan dengan ikhlas. Kedua: dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan
Rasulnya. Dengan demikian, sebanyak apapun amalan seseorang namun tidak
memenuhi standar kebaikan maka tidak akan bernilai apa-apa. Adapun orang yang
amalnya sangat minim dan sedikit tetapi kualitas amalannya sangat baik memenuhi
standar syar`i, maka amalan yang sedikit ini bisa memudahkannya menuju
kebahagiaan di Akhirat berupa surga.
Tentu saja yang tahu betul siapa yang benar-benar terbaik amalnya hanyalah
Allah subhanahu wata`ala. Namun agama datang sebagai petunjuk yang
memberitahukan standar-standar pada manusia mengenai baik tidaknya amalan.
Sehingga dengan upaya yang serius dan sungguh-sungguh, selama berjalan pada
standar syari`ah maka peluang untuk mendapat kemuliaan akan lebih besar
daripada sekadar banyak amal namun tidak berangkat dari dasar syari`at yang
benar, sebagaimana petunjuk Allah dan Rasulnya. Intinya ‘kebaikan amal’
merupakan prioritas dan penentu sukses tidaknya seseorang dalam beramal. Amal
yang banyak tidak akan membantu jika tidak didasari dengan standar syar`i.
Bayangkan jika amalan banyak sekaligus didasari dengan standar kebaikan syr`i,
maka ini merupakan semacam jalan lebar yang bisa memudahkannya menuju akhirat.
Dalam lembaran sejarah emas sahabat
Nabi, ada peristiwa unik yang menunjukkan bahwa letak bernilainya amalan itu
ialah bukan pada banyaknya tapi pada kandungan kebaikannya, meskipun sedikit. Dalam
kitab Sirah Nabawiyahnya yang berjudul, “as-Sirah an-Nabawiyah, `Ardhu
Waqaai` wa tahlilu Ahdats”, Ali Muhammad Muhammad Shalabi menceritakan: ada
sahabat yang hanya bermodal syahadat tulus kemudian ia berjihad hingga gugur
syahid. Padahal ia belum sempat shalat apalagi melaksanakan rukun Islam yang
lainnya. Amalannya terhitung sangat sedikit dan minim bila dibandingkan dengan
sahabat-sahabat lain yang sudah masuh Islam. Namun lihat capaian yang diraihnya
ia mendapatkan surga. Sahabat itu ialah Al-Ushairim. Nama aslinya `Amru bin
Tsabit bin Waqasy. Ia berasal dari suku `Aus, dari bani Asyhal. Ketika Sa`ad
bin Muadz masuk Islam beserta suku `Aus lainnya, Ushairim belum mau menerima
Islam karena masih ragu. Hatinya belum bisa menerima petunjuk Islam. Namun
Allah akan menunjuki siapa saja yang dikehendakinya. Ketika terjadi perang
Uhud, ia bertanya pada Rasul dimanakah Sa`ad bin Mu`adz? Dimanakah teman satu
sukuku? Nabi menjawab: Mereka menuju Uhud. Ketika itu ia sudah merasa mantap
hatinya untuk menerima petunjuk Islam sehingga, seketika itu juga ia menyatakan
keislamannya pada Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam kemudian
setelah itu ia mengambil tombak, pedang miliknya dan menaiki kuda lalu
bergabung dengan sahabat-sahabat yang lain. Ketika ia berada di sekeliling para
sahabat, ia diusir: menjauhlah dari kami! Ushairimpun menimpali: Aku telah
beriman. Kemudian ia turut berperang hingga mengalami luka parah.
Ketika teman-temannya dari bani
Asyhal, mencari korban dari para sahabat yang terbunuh di perang Uhud,
tiba-tiba mereka dikagetkan dengan jasad Ushairim yang terluka parah tapi masih
hidup: Ini Ushairim, kenapai ia datang ke sini, bukankah sewaktu kita tinggal
perang ia masih kafir? Lalu mereka menanyakan langsung pada Ushairim, apakah ia
turut berpartisipasi perang karena fanatisme kesukuan atau karena senang
terhadap Islam? Ushairim menjawab: Bahkan aku senang (masuk) Islam, aku beriman
pada Allah dan Rasul-Nya, aku masuk Islam, kemudian aku bergabung dengan
Rasulullah ikut perang, kemudian aku mengalami luka parah, jika aku meninggal
maka semua hartaku untuk Muhammad, (silahkan) dipergunakan sekehendak hatinya”.
Kemudian ia meninggal. Ketika dilaporkan kepada Rasulullah, Rasulpun
berkomentar: innahu min ahlil jannah(ia termasuk dari penghuni surga).
Padahal ia belum sempat shalat sama sekali. Di kesempatan lain Rasulullah
bersabda: `amila qolilan waujiro(amalnya sedikit tapi mendapat
ganjaran(yang besar). Bahkan Abu Hurairah bertanya pada orang-orang, ceritakan
padaku siapakah sahabat yang masuk surga padahal belum pernah shalat? Ketika
mereka tidak tahu, akhirnya meminta jawaban ke Abu Hurairah. Abu Hurairah
menjawab: ia adalah Ushairim bin Abdil Asyhal. Ushairim dengan amalnya yang
sedikit mampu menjemput momen terbaik atas izin Allah. Kejadian yang dialaminya
mengajarkan kita nilai penting berupa: letak berharga tidaknya sebuah amalan
ialah pada kebaikan yang terkandung di dalamnya, dalam artian sesuai dengan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Walau amalan terhitung sedikit, tetapi
diposisikan pada standar semacam itu akan bernilai dahsyat. Pada pandangan orang
banyak memang amalannya terhitung sedikit, namun yang membuat amalan itu
berharga dan bernilai dahsyat ialah karena ketulusan, keikhlasan, dan
kesungguhan untuk berjuang di jalan Allah. Sedikit tapi berkualitas saja sudah
bernilai dahsyat, apalagi jika kita melakukan amalan banyak tapi berkualitas,
Allah subhanahu wata`ala pasti akan mencucurkan rahmat-Nya. Kesempatan
untuk itu, sebenarnya sangat terbuka lebar jika kita menghendakinya. Kesuksesan
kita terletak pada seberapa cepat kita berubah, serta sepandai apa kita
menjemput momentum yang diberikan Allah subhanahu wata`ala pada kita. Faidza
faraghta fanshab, wa ila Rabbika farghab(jika ada waktu senggang maka
gunakan lah untuk amal kebaikan, dan hanya kepada Rab kamulah kamu berharap).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !