Allah subhaanahu wata`ala menurut penjelasan Al-Qur`an bersemayam di atas Arsy. Imam Malik ketika ditanya mengenai bersemayam: “Bersemayam maknanya maklum, tata caranya majhul, sedangkan menanyakannya adalah bid`ah”. Arys (Singgasana) sana Allah yang begitu dahsyat dan besar itu menurut penuturan hadits disangga oleh 8 Malaikat yang antara daun telingan dan lehernya saja berjarak tujuh ratus tahun. Itu baru jarak antara dan telinga dan lehernya, bagaimana kalau bentuknya secara seutuhnya, sungguh tak terkira. Itu baru penyangganya, bagaimana dengan Arys-Nya? Sungguh dahsyat dan tak terbayang. Yang terpenting dalam masalah ini ialah kita wajib mengimaninya karena ini urusan ghaib. Kita tak dituntut untuk mengetahui secara detail, yang perlu kita ketahui ialah sebatas yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena meski kita tidak tahu tentang masalah ini sebenarnya tidak membahayakan atau memberi manfaat signifikan buat kita. Intinya, yang ingin ditekankan sebagai pembuka untuk tulisan ini ialah bahwa Arys(Singgasana) Allah begitu dahsyat dan luar biasa. Tidak bisa diungkap dan diterka dengan kata-kata; tidak bisa digambarkan oleh benak kita. Ini sangat jelas sekali. Kalau Tuhan kita adalah Maha Yang Luar Biasa, tempat bersemayamnya pasti luar biasa juga.
Singgasana yang begitu besar dan dahsyat ini dalam lembaran sejarah manusia pernah berguncang. Haah....Berguncang? Mungkin anda kaget atau sama sekali tak percaya mendengarnya. Itu juga hanya terjadi pada zaman Nabi Muhammad, berkaitan dengan kisah sahabat beliau yang begitu mulia. Ada apa gerangan sampai-sampai Arsyu Ar-Rahman berguncang? Kenapa ini sampai terjadi? dan apa kaitannya dengan Sa`ad bin Mu`adz? Bila kita mau menyempatkan diri untuk membaca sejarah emas sahabat Nabi Muhammad, kita akan menemukan jawabannya. Sa`ad bin Mu`adz adalah sahabat yang berasal dari kabilah `Aus. Sebelum masuk Islam, Ia adalah merupakan pembesar kabilah `Aus. Ia masuk Islam di tangan Mush`ab bin `Umair. Kehidupanya pasca masuk Islam diisi dengan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa. Banyak yang masuk Islam melalui perantaranya. Sewaktu terjadi perang Badar, Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam sekilas dialog itu Sa`ad bin Mu`adz dengan lantang mengatakan lakukan wahai Rasulullah, apa yang engkau kehendaki, Demi Allah kalau kau memerintahkan kami menyusuri sungai ini maka kami pasti menaatinya. Di kesempatan yang lain tidak kalah besar pengorbanan dan perjuanganya seperti ketika mengeksekusi sekutunya dari Yahudi bani Quraidha karena menyelisihi piagam Madinah. Bayangkan! usia keislamannya sampai dia meninggal baru 6 tahun. Tapi kenerja dan aksinya dalam memperjuangkan Islam sungguh besar dan luar biasa. Seolah kisah ini mengisyaratkan bahwa manusia bernilai bukan karena berapa lama ia hidup, tapi seberapa besar manfaat dan kontribusinya walaupun berusia pendek. Karena yang mengabadikannya ialah karya; yang membuatnya dikenang karena jasa-jasanya. Sa`ad meninggal pasca mengurusi masalah penghianatan Yahudi bani Quraidhah.
Ketika Sa`ad bin Mu`adz meninggal, kalimat yang disampaikan Rasulullah ialah: Arys Rahman berguncang karena kematian Sa`ad bin Mu`adz. Tak hanya itu kesaksian sahabat-sahabat yang lain mengatakan bahwa jenazahnya sangat ringan sekali tidak seperti jenazah lainnya. Lalu Nabi menjelaskan bahwa para malaikat turun ke bumi turut serta membantu mengangkat jenazahnya. Bayangkan, Arys berguncang dan malaikat turut serta mengantarkan jenazahnya. Kita mungkin akan bilang wow. Kebanyakan orang hanya terperangah dan takjub hanya pada hasil. Kebanyakan orang mengagumi orang besar, menakjubi pahlawan hanya karena hasilnya. Dengan sangat sederhani mereka menilai dengan penilaian se-simple itu. Padahal jalan menuju keberhasilan dan kesuksesan itu bukan jalan yang gampang. Mereka melalui berbagai rintangan dan halangan. Mereka berjuang di jalan sunyi. Mereka berjuang di kala orang-orang lain beristirahat dengan tenang. Mereka rela tak tidur ketika orang lain pada nyeyak tertidur. Dengan demikian, seharusnya ketika menilai orang besar yang pertama ialah sejauh mana kita bisa manapaktilasi jejak mereka; sejauh mana kita bisa meneladani mereka. Bukankah ada pepatah yang mengatakan: Berakit-rakit kita ke hulu, berenang-renang ke tepian(Bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian). Bagaimana kita akan menuai hasil jika tidak ada perjuangan. Begitu juga ketika kita menyikapi kisah Sa`ad bin Mu`adz, yang terutama bukan berguncangnya singgasana Rahman kerenanya atau karena malaikat turut serta mengangkat jenazahnya, tapi yang utama ialah bahwa Sa`ad bin Mu`adz adalah pejuang sejati. Ia mulia karena kontribusi yang dipersembahkannya; ia mulia karena dalam rentetan perjuangannya ia bisa mengendalikan egonya untuk senantiasa ikhlas karena-Nya.
Menurut Al-Qur`an manusia dikatakan mulia karena amal terbaiknya yang terangkum dalam kata: “TAQWA”. Jadi penilaian wadag materil sama sekali bukan menjadi poros acuan. Bila kita mampu mengendalikan dan mengontrol diri kita dengan mengerahkan potensi kita dalam bingkai karya dan perjuangan maka kemuliaan akan menyertai, meski bukan itu tujuan utama kita. Rasulullah memberi kualifikasi kualitatif berupa: Manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Demikian juga kita memandang kisah Sa`ad bin Mu`adz ini. Kita tak terperangah dan tercengang hanya karena singgasana Tuhan berguncang atau karena jasadnya diangkat malaikat. Yang harus dilakukan ialah sejauh mana kita bisa meneladani dan menapaktilasi jejaknya. Dengan senantiasi memancangkan spirit ini pada benak kita, maka keridaan dan kemuliaan otomatis menyertai asalkan dikerjakan dengan ikhlas. Dengan spirit dan motiv ini nantinya kita akan lulus menjadi insan muttaqin(manusia bertakwa). Akhir yang baik pasti akan didapatkan oleh mereka yang bertakwa.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !