Home » » Syahid bin Syahid

Syahid bin Syahid

Written By Amoe Hirata on Selasa, 13 November 2012 | 20.38

              Menjadi orang baik itu bagus, tapi menjadikan orang lain ikut baik, itu lebih bagus. Menjadi shalih itu bagus, tapi menjadi mushlih(membuat perbaikan sosial) itu lebih bagus. Kaidah fiqhiyah mengajarkan kita nilai penting berupa: al-Khairu al-muta`addi khairun min al-qaashir(Kebaikan yang berdampak sosial lebih baik dari pada kebaikan individual). Kebaikan seharusnya tak hanya dinikmati oleh individu, ia harus mengimbas pada ranah sosial. Alangkah indahnya jika kebaikan itu merata baik itu pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara. Karena itulah ada ungkapan: Jangan hanya menjadi shalih secara pribadi, jadilah shalih secara sosial. Kenyataan ini mengingatkan kita pada mutiara hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berupa: Khairu an-Naasi, `anfa`uhum li an-Naasi (manusia terbaik ialah yang manfaat sosial kemanusiannya paling banyak). Inilah yang menjelaskan rahasia penting kenapa para pahlawan itu terasa masih hidup di tengah-tengah kita, karena kontribusi kebaikan yang ditinggalkan mereka begitu besar ketimbang kesalahan dan kekhilafan mereka. Ini juga yang menjelaskan pada kita mengapa orang bisa diberi gelar sebagai pahlawan.
            Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam selalu menginginkan kebaikan kepada umatnya. Beliau tak mau kebaikan hanya berhenti pada dirinya. Beliau menginginkan semua umat manusia mendapatkan kebaikan. Keteladanan beliau ini sangat membuat sahabat-sahabatnya terkesan. Di antara mereka yang terkesan ialah salah seorang dari suku Daus, namanya at-Thufail bin `Amru ad-Dausi. Ketika Thufail mengunjungi Makkah, para gembong kafir Qurays berusaha menghalang-halanginya berinteraksi dengan Nabi. Disampaikanlah padanya isu-isu negatif tentang Nabi. Dikatakan bahwa Nabi sangat berbahaya. Kata-katanya laksana sihir yang mampu membuat masyarakat terpecah belah. Thufail tidak boleh dekat-dekat Nabi, supaya tak terpengaruh dengan ucapannya. Namun suatu ketika takdir Allah mempertemukannya dengan Nabi. Dari kejauhan Thufail mendengar bacaan Nabi. Ia berusaha menutup telinganya sesuai dengan saran orang kafir Qurays. Tetap saja dia bisa mendengar suara Nabi. Akhirnya ia membuat keputusan: Buat apa aku sumpal telingaku, aku ini kan penyair, kalau kata-katanya baik maka akan aku ikuti, tapi jaka jelek maka akan aku campakkan. Ketika telinga dibuka, tiba-tiba ia mendengar kata-kata yang sungguh mengesankan, sampai akhirnya ia datangi Rasulullah hingga masuk Islam.
            Yang menarik dan patut dijadikan tauladan ialah Thufail bin `Amru ad-Dausi tak mau kebaikan yang ia dapatkan berupa petunjuk Islam  hanya dinikmati sendiri. Ia meminta doa pada Rasulullah agar semua sukunya diberi petunjuk. Sepulang dari Makkah, ia mulai berdakwah mengajak keluarganya lebih dahulu. Bapaknya diajak hingga rela masuk Islam. Istrinya dan anaknyapun diajak sampai akhirnya masuk Islam. Dengan semangat yang begitu luar biasa ini nantinya membuat suku daus sebagaimana doa Nabi, bisa memeluk Islam dan bertemu Rasulullah pada perang Khaibar. Tak hanya itu. Perjuangan dakwahnya yang begitu luar biasa mengantarkan dirinya pada kesyahidan. Kesyahidan yang bukan hanya terbatas pada diri pribadi, namun anak kesayangannya yang bernama `Amru bin Thufail ad-Dausipun turut mendapat kesyahidan. Takdir syahid keduanya diabadikan sejarah dalam pertempuran Yamamah dan Yarmuk. Mungkin sangat gampang kita menjumpai sahabat yang syahid di jalan Allah. Namun, menemukan sahabat yang memiliki keluarga yang juga syahid itu sangat jarang. Ia sebagai kepala keluarga, bukan saja mampu mentransfer kebaikan yang ia dapat dari Islam pada dirinya untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, lebih dari itu ia mampu mentransfer kebaikan pada keluarga hingga sukunya. Pantaslah jika ia dijuluki sebagai, “Dzu an-Nuur” yaitu yang memiliki cahaya. Ya, cahayanya mampu menyinari kegelapan-kegelapan jahiliah yang ada pada lingkungannya. Pantas pula jika keduanya dijuluki, “as-Syahid bin as-Syahid”. Ia lulus mengamalkan ayat: quu anfusakum wa ahlikum naaran(peliharalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka). Kepahlawan model demikian merupakan kepahlawan di atas kepahlawanan.
            Kebaikan yang ditularkan secara sosial akan membentuk energi yang begitu besar. Energi yang begitu besar ini pada gilirannya akan mampu membuat perubahan-perubahan sosial. Namun jika kebaikan itu mandeg, berhenti pada diri sendiri maka tidak akan mempunyai dampak perubahan. Kebaikan semacam ini akan terbawa arus kejelekan yang dominan. Kebaikan semacam ini tak mampu mewarnai, malah diwarnai. Kebaikan semacam ini laksan air yang menggenang. Semakin lama air menggenang, akan menimbulkan bau tak sedap. Maka jangan heran kalau ada kasus dimana kebaikan malah berdampak negatif secara sosial. Ini bisa timbul ketika orang merasa baik secara pribadi, kemudian acuh tak acuh dengan kepentingan sosial. Waktunya kerja bakti sosial, ia malah mengaji di Mushallah; waktu ada orang membutuhkan bantuan, ia malah asyik bermunajat pada Tuhan. Dengan demikian, kebaikan harus dialirkan, supaya tetap segar dan mampu memberikan manfaat sosial. 
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan