Menjadi
orang baik itu bagus, tapi menjadikan orang lain ikut baik, itu lebih bagus.
Menjadi shalih itu bagus, tapi menjadi mushlih(membuat perbaikan sosial)
itu lebih bagus. Kaidah fiqhiyah mengajarkan kita nilai penting berupa: al-Khairu
al-muta`addi khairun min al-qaashir(Kebaikan yang berdampak sosial lebih
baik dari pada kebaikan individual). Kebaikan seharusnya tak hanya dinikmati
oleh individu, ia harus mengimbas pada ranah sosial. Alangkah indahnya jika
kebaikan itu merata baik itu pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara.
Karena itulah ada ungkapan: Jangan hanya menjadi shalih secara pribadi, jadilah
shalih secara sosial. Kenyataan ini mengingatkan kita pada mutiara hadits
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berupa: Khairu an-Naasi,
`anfa`uhum li an-Naasi (manusia terbaik ialah yang manfaat sosial
kemanusiannya paling banyak). Inilah yang menjelaskan rahasia penting
kenapa para pahlawan itu terasa masih hidup di tengah-tengah kita, karena
kontribusi kebaikan yang ditinggalkan mereka begitu besar ketimbang kesalahan
dan kekhilafan mereka. Ini juga yang menjelaskan pada kita mengapa orang bisa
diberi gelar sebagai pahlawan.
Rasulullah
shallallahu `alaihi wasallam selalu menginginkan kebaikan kepada
umatnya. Beliau tak mau kebaikan hanya berhenti pada dirinya. Beliau
menginginkan semua umat manusia mendapatkan kebaikan. Keteladanan beliau ini
sangat membuat sahabat-sahabatnya terkesan. Di antara mereka yang terkesan
ialah salah seorang dari suku Daus, namanya at-Thufail bin `Amru ad-Dausi.
Ketika Thufail mengunjungi Makkah, para gembong kafir Qurays berusaha
menghalang-halanginya berinteraksi dengan Nabi. Disampaikanlah padanya isu-isu
negatif tentang Nabi. Dikatakan bahwa Nabi sangat berbahaya. Kata-katanya
laksana sihir yang mampu membuat masyarakat terpecah belah. Thufail tidak boleh
dekat-dekat Nabi, supaya tak terpengaruh dengan ucapannya. Namun suatu ketika
takdir Allah mempertemukannya dengan Nabi. Dari kejauhan Thufail mendengar
bacaan Nabi. Ia berusaha menutup telinganya sesuai dengan saran orang kafir
Qurays. Tetap saja dia bisa mendengar suara Nabi. Akhirnya ia membuat
keputusan: Buat apa aku sumpal telingaku, aku ini kan penyair, kalau
kata-katanya baik maka akan aku ikuti, tapi jaka jelek maka akan aku campakkan.
Ketika telinga dibuka, tiba-tiba ia mendengar kata-kata yang sungguh
mengesankan, sampai akhirnya ia datangi Rasulullah hingga masuk Islam.
Yang
menarik dan patut dijadikan tauladan ialah Thufail bin `Amru ad-Dausi tak mau
kebaikan yang ia dapatkan berupa petunjuk Islam
hanya dinikmati sendiri. Ia meminta doa pada Rasulullah agar semua
sukunya diberi petunjuk. Sepulang dari Makkah, ia mulai berdakwah mengajak
keluarganya lebih dahulu. Bapaknya diajak hingga rela masuk Islam. Istrinya dan
anaknyapun diajak sampai akhirnya masuk Islam. Dengan semangat yang begitu luar
biasa ini nantinya membuat suku daus sebagaimana doa Nabi, bisa memeluk Islam
dan bertemu Rasulullah pada perang Khaibar. Tak hanya itu. Perjuangan dakwahnya
yang begitu luar biasa mengantarkan dirinya pada kesyahidan. Kesyahidan yang
bukan hanya terbatas pada diri pribadi, namun anak kesayangannya yang bernama
`Amru bin Thufail ad-Dausipun turut mendapat kesyahidan. Takdir syahid keduanya
diabadikan sejarah dalam pertempuran Yamamah dan Yarmuk. Mungkin sangat gampang
kita menjumpai sahabat yang syahid di jalan Allah. Namun, menemukan sahabat
yang memiliki keluarga yang juga syahid itu sangat jarang. Ia sebagai kepala
keluarga, bukan saja mampu mentransfer kebaikan yang ia dapat dari Islam pada
dirinya untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, lebih dari itu ia
mampu mentransfer kebaikan pada keluarga hingga sukunya. Pantaslah jika ia
dijuluki sebagai, “Dzu an-Nuur” yaitu yang memiliki cahaya. Ya,
cahayanya mampu menyinari kegelapan-kegelapan jahiliah yang ada pada
lingkungannya. Pantas pula jika keduanya dijuluki, “as-Syahid bin as-Syahid”.
Ia lulus mengamalkan ayat: quu anfusakum wa ahlikum naaran(peliharalah
diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka). Kepahlawan model
demikian merupakan kepahlawan di atas kepahlawanan.
Kebaikan
yang ditularkan secara sosial akan membentuk energi yang begitu besar. Energi
yang begitu besar ini pada gilirannya akan mampu membuat perubahan-perubahan
sosial. Namun jika kebaikan itu mandeg, berhenti pada diri sendiri maka
tidak akan mempunyai dampak perubahan. Kebaikan semacam ini akan terbawa arus
kejelekan yang dominan. Kebaikan semacam ini tak mampu mewarnai, malah
diwarnai. Kebaikan semacam ini laksan air yang menggenang. Semakin lama air
menggenang, akan menimbulkan bau tak sedap. Maka jangan heran kalau ada kasus
dimana kebaikan malah berdampak negatif secara sosial. Ini bisa timbul ketika
orang merasa baik secara pribadi, kemudian acuh tak acuh dengan kepentingan
sosial. Waktunya kerja bakti sosial, ia malah mengaji di Mushallah; waktu ada
orang membutuhkan bantuan, ia malah asyik bermunajat pada Tuhan. Dengan
demikian, kebaikan harus dialirkan, supaya tetap segar dan mampu memberikan
manfaat sosial.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !