Keduanya dikenal sebagai guru yang
mempunyai etos kerja yang tinggi. Semangat dakwah dari keduanya tak perlu
diragukan lagi. Merupakan keberuntungan yang tak terkira bagi warga perumahan
Taman Asri dianugerahi dua orang ustadzah yang hafal al-Qur`an serta berilmu
luas. Dulu sebelum adanya kedua ustadza Kaila dan Puspita, warga perumahan
jarang sekali terlihat ke masjid. Rata-rata beragama Islam, namun Islamnya
hanya sebatas KTP. Kehadiran kedua ustadzah pada awalnya meresahkan hati
mereka, karena mereka sudah terbiasa beragama hanya sekadar simbolis. Lebih
dari itu mereka merasa susah kalau harus menjalankan Islam yang kâffah(secara
menyeluruh). Dengan ketabahan hati dan semangat yang tiada henti dari kedua
ustadzah tadi, mereka pun terketuk pintu hatinya. Hati yang dulunya tandus
kering, kini telah menjadi basah dan sejuk oleh petunjuk ilahi.
Tak seperti biasanya, sore ini Kaila
terlihat sedih. Sejak awal mulai mengajar, Puspita Sari memperhatikan aura
wajah yang sedikit aneh dari diri Kaila. Ia seakan menahan kepedihan, padahal
Kaila yang ia kenal selalu terlihat riang gembira. Apa yang Puspita lihat sore
ini berkaitan dengan Kaila, begitu membuat hatinya dipenuhi tanda tanya. Bukan
hanya Puspita yang merasa aneh dengan kondisi Kaila. Para murid TPQ yang biasanya
selalu terhibur setiap kali diajar Kaila merasa tegang. Sesekali memang Kaila
berusaha mengurai senyum dan mencairkan kekakuannya, namun ia tak berhasil
mencairkan suasana. Sampai-sampai ada salah satu murid yang bertanya: “Maaf
Ustadzah, sampean lagi sakit ya?”. “Tidak anak-anak, ustadza baik-baik
saja,” dengan datar ia menjawabnya.
Karena penasaran dengan sikap Kailah
yang agak aneh, sepulang ngajar Kaila diajak ke rumah Puspita. Puspita yakin
Kaila sedang dilanda masalah serius. Sesampainya di rumah Puspita, dengan agak
menahan kesedihan, akhirnya ia mencurahkan kesedihan hatinya. “Mbak, jujur aku
merasa sedih dan malu. Sebenarnya aku juga tidak kuat untuk menceritakan
masalah keluargaku. Tapi di lain sisi aku ingin mencurahkannya kepada orang
yang aku percayai, supaya kesedihan di hati ini bisa sedikit terobati,” tutur
Kaila memulai. “Iya Kaila, mbak tau kamu lagi sedih. Curahkan saja kesedihanmu,
sebagai sesama saudari semuslim, aku akan berusaha membantu jika memang aku
mampu, kalau aku tidak mampu, nanti aku minta bantuan kepada suamiku,” sambut
Puspita Sari sembari menenangkan hati Kaila.
“Sebagai anak perempuan, aku sangat
sedih mbak. Sampean kenal ayahku `kan? Beliau tanpa sepengetahuan kami telah
menikah lagi. Sebenarnya yang membuat kami sedih bukan terutama pada masalah
nikah. Poligami sebaaimana yang kami ketahui memang dibolehkan asalkan bisa
adil. Lha ayahku mbak, untuk mencukupi kebutuhan keluarga saja masih
tersendat-sendat kok malah menikah lagi. Ibuku sangat benci dipoligami, meski
dia tau kalau itu halal. Ibuku adalah tipe wanita setia. Baginya menikah hanya
sekali dalam seumur hidup. Ia begitu menjaga erat cinta, meski terkadang
caranya menjaga cinta bukan dengan bahasa lembut. Sekarang hatinya terluka
begitu dalam. Ketika ditanya kenapa ayah menikah lagi, dengan enteng dia
menjawab: “Aku ingin mencari istri yang bisa memberiku modal untuk berbisnis.
Aku sudah tidak kuat hidup seperti ini”.
Dua jam lebih Kaila bercerita
mengenai masalah yang sedang menimpanya. Keharmonisan keluarga yang sudah
seperempat abad terjalin, kini terancam hancur. Hati ibunya dipenuhi dilema. Ia
punya prinsip: “Aku tidak mau di madu. Lebih baik aku diceriai, daripada aku
dimadu”. Di sisi lain, ia juga masih cinta dan sayang pada suaminya. Kesedihan
bertambah meningkat ketika terjadi perubahan yang sangat besar pada sikap
ayahnya. Sudah beberapa bulan ia jarang ke rumah. Kaila, ibu beserta
adik-adiknya merasa ayahnya sudah berubah. Perhatiannya tercurah kepada istri
barunya. Rasa sesal selalu menghinggapi sanubari ibunya: “Kenapa aku dulu mau
nikah dengan Mas Sufyan, padahal aku dulu sudah ada yang melamar. Kalau tau
akan seperti ini jadinya, aku tak kan mau menikah dengannya” begitulah ia
berbicara ketika puncak kesedihan tak bisa tertahankan.
Sekarang ibunya semakin kurus.
Dandanannya semakin tak terurus. Ia sudah jarang sekali makan. Nafsu makannya
seolah dikalahkan oleh rasa sakitnya. Hari-harinya dipenuhi dengan lamunan.
Banyang-bayang masa lalu dengan suaminya –meski tak selalu bahagia- begitu
menyibukkan akal dan hatinya. Malam hari tidak bisa tidur. Pagi hari pikiran
melayang kemana-mana ketika sedang sendiri. Mendengar penjelasan Kaila,
seketika itu Puspita tak kuasa menahan air mata. Apa yang diceritakan oleh
Kaila mengingatkannya kepada pamannya yang hobi nikah. Pamannya mempunyai empat
istri. Puspita sebenarnya juga tidak mempermasalahkan hukum poligami, tapi yang
dipermasalahkan ialah sikap dan perilaku pamannya yang tidak bisa adil.
Jelas-jelas sudah tidak bisa menafkahi lahir dan batin, kok berani-beraninya
menambah istri sampai empat. Akibatnya jelas, keluarganya berantakan dan tidak
harmonis.
“Kaila, untuk saat ini aku belum
bisa membantu secara maksimal. Sejauh yang bisa kubantu, saat ini ialah
membesarkan hatimu. Aku punya paman yang lebih parah dari ayahmu. Dulunya
bibiku ga bisa menerima perlakuan seperti itu. Sampai-sampai badannya sangat
kurus akibat sering memikirkan paman. Dari pengalaman bibiku mau belajar. Ia
sadar bahwa mau diratapi bagaimanapun, semua telah terjadi. Akhirnya dia fokus
kepada anak-anak dan cucunya. Dia sebenarnya berada dalam dilema juga seperti
ibumu. Di satu sisi dia ga mau dimadu, di sisi lain ia juga tidak mau bercerai,
karena masih sayang pada paman. Akhirnya apa? Ia biarkan saja pamanku apa
adanya. Akhirnya lambat laun perasaan sedih dan sumpek sedikit demi sedikit
bisa terkikis,” ungkap Puspita pada Kaila.
“Terima kasih mbak atas
pencerahannya. Sebagai seorang perempuan aku ga bisa langsung lupa mbak.
Terlebih aku malu dengan warga sekitar. Aku bersama adik-adikku `kan dididik
dipondok, dan meski bukan ustadz ayahku sangat peduli dalam pendidikan
keagamaan. Nah yang membuatku malu ialah, kenapa dia yang mengerti agama bahkan
menyekolahkan anaknya dalam pondok pesantren, malah tidak bisa memberi contoh
yang baik bagi anak-anaknya. Aku merasa malu, karena sekarang ayahku jadi bahan
pergunjiangan dan menjadi buah bibir warga. Secara umum mereka berkomentar
sinis: ‘Lha ya, wong ngerti agama kok kaya` gitu. Mendingan yang
ga ngerti agama’. Aku merasa cinta ibu terpelosok pada ranjau derita. Dulu ia
mengiri hubungan cinta dengan ayah akan baik-baik saja sampai mati, nyatanya
cinta terciderai dengan adanya orang lain, layaknya ranjau yang siap
mencelakakan dan menghancurkan orang yang terperangkap di dalamna” komentar
Kaila sambil mengusap air matanya.
“Sekarang begini ya dik, betapapun
kesedihan meliputi hati keluargamu. Kamu harus tetap terlihat tegar. Ibu dan
adik-adikmu sekarang butuh orang yang bisa membesarkan hatinya. Kesedihan itu
bukan untuk disuburkan dengan kesedihan-kesedihan. Kesedihan perlu ditawarkan
dengan kegembiraan. Caranya supaya tidak tambah parah ya seperti tadi, setiap
kali kamu bertemu ibumu pasanglah wajah gembira, beri dia semangat, yakinkan
bahwa dia tidak sendiri, kamu beserta adikmu akan kompak menjalankan hidup
dengan penuh keyakinan untuk menyongsong masa depan yang cemerlang. Jangan lupa
banyak-banyak berdo`a kepada-Nya. Kamu jangan larut dalam kesedihan. Sebenarnya
aku juga ingin memberitahumu sesuatu, tapi aku rasa belum tepat untuk
diomongkan saat ini” timpal Puspita.
Tiba-tiba Kaila menjadi penasaran
mendengar kata-kata terakhir dari Puspita: “Mbak sampean ngomong saja ga papa.
Jangan bikin Kaila penasarang, pleas pleas ya kak sampaikan saja yah,”
pinta kaila dengan wajah memohon. “Begini Kaila, usiamu `kan sudah dua puluh
tahun. Kamu sudah hafal al-Qur`an. Ilmumu juga lumayan luas, kenapa kamu tidak
menyempurnakan agamamu” sahut Puspita. “Maksud mbak gimana nih? Nikah maksud
mbak? Kayaknya belum kepikir sampai ke situ mbak. Apalagi sekarang ibu lagi
ditimpa masalah, aku tidak bisa bahagia ketika ibuku sedang merasakan
kesedihan” komentar Kaila. “Anak dari kiai pondokku sedang mencari pasangan
hidup. Dia menginginkan istri yang shalihah dan hafal al-Qur`an. Usianya
sekitar 27 tahun. Kehidupannya juga sudah mapan. Barangkali siapa tahu Allah
melapangkan jalan untuk membantu beban orang tuamu. Anaknya sholih banget
Kaila. Dia walaupun anak kiai yang kaya dan terkenal, tapi perilakunya sangat
sederhana dan begitu berwibawa. Namun sekali lagi aku tidak maksa, semua
keputusan berada di tanganmu” jawab Puspita.
Setelah satu jam berbicara dengan
Puspita, akhirnya tibalah saatnya Kaila undur diri. Ia mengucapkan
banyak-banyak terimakasih kepada puspita yang membesarkan hatinya, dan mau
meluangkan waktu untuk mendengarkan curahan hatinya. Di sepanjang perjalanan,
dia kepikiran dengan tawaran Puspita. Sudah layakkah dirinya menikah? Dirinya
sekarang diliputi kebingungan. Di satu sisi ia begitu tidak tega dengan
kesedihan yang dialami ibunya, di sisi lain hatinya terketuk –sebagai seorang
perempuan yang sudah baligh- untuk menyempurnakan separuh agamanya. Apa lagi
yang diberitahukan Puspita adalah laki-laki sholih dan mapan. Keshalihan adalah
sebaik-baik bekal bagi terbinanya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah(tenang,
cinta dan sayang). Dan salah satu yang membuat keluarga menjadi kokoh ialah
kemapanan materi. Siapa yang tidak menginginkan laki-laki mapan secara materi?.
Hatinya begitu berkecamuk. Semalaman ia tak mengantuk. Tak lupa ia memohon
petunjuk, kepada Allah agar ditunjukkan jalan terbaik, untuk diri dan
keluarganya. Ia tak mau terjebak dalam ranjau cinta sebagaimana ibunya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !