Joko, Ardi,
Slamet, Sugeng, Paijo dan Sholeh adalah enam sahabat yang berasal dari kampung
Sembodo. Keenam sahabat ini sekarang sudah menjadi orang-orang sukses sesuai
dengan profesi masing-masing. Joko sukses menjadi pedagang mie ayam dan bakso
serta ‘Pekerja Sosial’; Ardi sukses menjadi dosen filsafat; Slamet sukses
menjadi Sastrawan; Sugeng sukses menjadi TNI Angkatan Darat; Paijo sukses
menjadi Kepala Desa; sedangkan Sholeh, sukses menjadi ustadz. Walau kini mereka
rumahnya berjauhan dan menekuni profesi masing-masing, tapi mereka tetap
menjalin komunikasi dengan baik, melalui telefon, twetter, facebook, yahoo
messenger, bbm, dan alat komunikasi lainnya. Bagi mereka persahabatan tidak
ternilai harganya. Persahabatan tak tersekat oleh ruang dan waktu. Persahabatan
membuat hidup semakin hidup. Persahabatan membuat warna kehidupan tak terbatas
hanya hitam dan putih; selain hitam dan putih masih ada warna kuning, merah,
hijau, biru, ungu dan lain sebagainya. Persahabatan mengajarkan nilai penting
bahwa manusia tak akan bisa hidup sendiri, sehingga menjalin hubungan sosial
yang baik merupakan keniscayaan bagi mereka. Persahabatan yang mereka jalin tak
dibatasi oleh sekat-sekat primordial dan superfisial tertentu. Persahabatan
yang dibangun berdasarkan cinta-kasih yang universal; persahabatan yang dibina
berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan; persahabatan yang didasari
dengan ketulusan hati nurani, sehingga meskipun mereka dabatasi ruang dan waktu
akan tetapi hati tetap menyatu.
Ketika anak dari Paijo - yang bernama Panji
Prasetyo - menikah, keenam sahabat ini kumpul dan mengadakan reuni
kecil-kecilan untuk sharing(berbagi), bernostalgia, lepas kangen, shilaturrahim
dan membicarakan perkembangan di desa Sembodo. Setelah acara pernikahan
tepatnya jam 10.00 pagi, akhirnya mereka memutuskan untuk kumpul di sungai
Pangarten tempat mereka bermain dulu. Sesampainya di lokasi, Paijo membuka
obrolan sambil menikmati rokok kretek: “Konco-konco (teman-teman) sungai
ini dahulu menjadi saksi bisu persahabatan kita. Tempat kita bermain,
bergembira, bercanda, berdiskusi, bertenda di pinggirnya ketika bulan purnama.
Hemm, kalau ingat itu kita serasa masih kecil saja. Al-hamdulillah seperti yang
kalian lihat, kondisinya masih seperti sedia kala. Aku berusaha melestarikan
lingkungan di kampung kita. Kalau diantara kita tidak peduli dengan lingkungan,
maka lingkungan juga tak akan mempedulikan kita. Menjaga lingkungan - di
samping merupakan tanda keimanan - merupakan kesadaran untuk menjaga sejarah
masa silam. Di sini, kita dahulu menghabiskan masa-masa kecil dengan penuh
dinamika dan nuansa yang mungkin tidak kita temukan di daerah lain”. “Iya tak
terasa sudah 10 tahun aku tak ke sini tapi kondisinya masih asri, bersih dan
nyaman” sahut Slamet dengan sungging senyum khasnya. “Sejujurnya aku salut sama
kamu Jo, tak rugi lah orang kampung memilihmu menjadi Kepala Desa. Kepala Desa
seharusnya dipilih berdasarkan pengetahuan dan kepedulian yang mendalam
terhadap lingkungannya. Jika hanya karena duit banyak, maka yang akan diraih
juga duit banyak. Aku bersyukur kamu bisa menjalankan amanah dengan baik” tukas
Joko. “Ah jangan membesar-besarkan, bagaimanapun juga `kan aku dahulu banyak
belajar dari kalian” sanggah Paijo berusaha berendah hati.
“Kita bereuni
di sini usahakan jangan hanya sekadar lepas kangen saja. Kalau bisa kita juga
harus mengambil kearifan dan hikmah yang bisa membuat tumbuh-berkembangnya
kesadaran kita sebagai manusia yang lemah. Manusia itu bukan dipandang dari
seberapa banyak hartanya; seberapa kuat fisiknya; seberapa tinggi jabatannya;
seberapa besar pengaruhnya, tapi dilihat dari seberapa besar manfaatnya pada
lingkungan” usul Sholeh menanggapi percakapan teman-teman. “Aku sangat setuju
dengan Sholeh, pertemuan kita ini jangan hanya bernilai kesadaran individu,
tapi harus berkembanga ke ranah yang lebih sosial” ucap Ardi memperkuat Sholeh.
“Aku pasti setuju dengan usul kalian semua. Karena aku yakin kalau iktikad dan
tujuan kalian baik semuanya. Selama ini `kan kita berusaha sebaik mungkin untuk
peduli sosial. Bagaimana kalau kita mengenang diantara hal-hal yang kita anggap
penting pada masa kecil untuk dicari kearifan dan hikmahnya. Jadi di samping
nanti kita mengenang masa lalu, kita juga dapat pelajaran berharga. Bagaimana
kalau kita memulainya dengan kelompok kecil kita dahulu yang kita sebut, ‘anak
layang-layang’?” usul Sugeng. “Sip aku setuju. Kalau dari ilmu filsafatnya,
kita berusaha untuk mengambil nilai filosofis dari layang-layang. Layang-layang
meski terlihat sederhana dan biasa tetapi menyimpan makna filosofis yang begitu
tinggi” tambah Ardi. “Kalau gitu, begini saja, gimana kalau keenam dari kita
secara bergantian mengupas presepsi masing-masing mengenai kandungan hikmah
dari layang-layang dengan sudut pandang berbeda dan tentunya juga mengandung
hikmah yang kaya? Usul Joko. “Baik teman-teman aku juga sangat setuju. Kalau
begitu kalau Pak Dosen Filsafat kita ini yang didapuk menjadi pembicara pertama
mengenai layang-layang?” tambah Paijo. Akhirnya mereka pun setuju.
“Oke kalau itu
sudah jadi kesepakatan. Bagiku layang-layang ibarat cita-cita. Semakin besar
dan tinggi layang-layang maka semakin dibutuhkan benang yang kuat. Benang
ibarat tekad dan usaha yang kuat. Kenapa butuh benang yang kuat atau tekad yang
kuat? Karena semakin tinggi layang-layang, semakin besar pula angin yang
merintang. Hanya yang diikat dengan yang kuat yang mampu eksis dan tercapainya
layang-layang. Semakin tinggi cita-cita seseorang maka akan semakin besar ujian
dan cobannya. Hanya orang yang bermental baja, bertekad kuat dan berusaha
secara berkesinambungan yang mampu menggapainya. Untuk bisa terbang, layang-layang
harus diukur secara cermat, teliti dan seimbang. Demikian juga orang yang mau
menggapai cita-cita, harus diukur, ditimbang, dipelajari dengan saksama dan
serius apakah cita-citanya itu memungkinkan untuk digapai, sesuai dengan
potensi diri, dan bermanfaat bagi diri dan orang lain. Cita-cita yang tak
terukur, dan tidak didasari pengetahuan mendalam mengenai potensi diri hanya
akan mengalami kegagalan. Sebagaimana layang-layang yang tak bisa terbang
akibat ketidakseimbangan kerangka yang menjadi dasar layang-layang. Kemudian,
sebagaimana layang-layang, yang namanya cita-cita itu harus tinggi.
Layang-layang yang ketinggiannya tak mencukupi, maka akan mudah jatuh ke tanah.
Memang semakin tinggi angin semakin kencang, tapi justru karena adanya angin
(tantangan) itulah layang-layang (cita-cita) bisa terbang(tergapai). Jadi
layang-layang mengajarkan nilai filosofis kepada kita bahwa kita hidup harus
punya cita-cita; cita-cita harus setinggi-tingginya dan diukur dengan kemampuan
diri serta tekad yang kuat. Memang semakin tinggi semakin banyak tantangan,
tapi ketika nanti sudah tergapai maka rasanya terlihat indah dan bahagia,
seperti layang-layang yang terbang di udara” menurut Ardi dengan mimik serius.
Kemudian
giliran Slamet sekarang menjelaskan: “Menurutku, layang-layang itu laksana
cinta. Cinta butuh komitmen yang kuat, sebagaimana butuhnya layang-layang pada
benang supaya bisa terbang. Komitmen juga bukan sekadar komitmen biasa tetapi
komitmen yang panjang dan diiringi kesabaran. Hanya benang yang panjang yang
mampu membuat layang-layang terbang tinggi. Namun jangan dikira cinta selalu
indah dan nikmat, semakin tinggi dan besar cinta seseorang maka beban ujiannya
akan semakin besar juga. Sebagaimana layang-layang besar yang terbang tinggi
harus ditautkan dengan benang yang kuat, karena semakin tinggi angin semakin
kencang. Karena itu pengetahun akan beban cinta harus benar-benar
diperhitungkan sebelum menjalani cinta. Hanya benang yang kuat yang mampu
menahan beban. Bila komitmen tak kuat, maka bagaikan benang yang rapuh, tak
akan mampu mempertahankan cinta yang utuh dan teguh. Cinta juga butuh
pengertian dan pengorbanan. Sebagaimana layang-layang yang ‘bekerjasama’ dan ‘bersinergi’
dengan benang dan angin untuk menciptakan gerak-gerak pengertian dan
pengorbanan. Benang dengan kuat menahan (yang berarti sebuah pengorbanan),
layang-layang juga pengertian dan sinergi dengan angin sehingga menciptakan
gerak-gerak yang indah bersama angin. Cinta tanpa pengertian dan pengorbanan
hanyalah seperti fatamorgana kehidupan. Cinta juga membutuhkan ruang lapang
dalam hati supaya tidak mudah untuk cemburu buta. Sebagaimana layang-layang
yang terbang di udara yang begitu luas. Mungkin sebelum aku akhiri, aku akan
sedikit berpuisi:
Cinta itu laksana
Layang-layang
Semakin tinggi terasa
Semakin tinggi komitmen juang
Sebagaimana layangan di udara
Membutuhkan benang
Jadi jangan katakan cinta tanpa
komitmen kuat; jangan katakan cinta tanpa pengertian dan pengorbanan; jangan
katakan cinta kalau takut rintangan. Yang terakhir, cinta butuh harmoni dan
keselarasan. Sebagaimana keselarasan antara rangka layang-layang dan kertas,
benang, angin dan udara, semua mengharmoni jadi satu sehingg bisa membuat
layang-layang terbang dengan di udara. Cinta harmonislah yang akan bertahan.”
Pungkas Slamet dengan seringai khasnya.
“Menurutku
layang-layang ibarat manusia yang dikendalikan Tuhan. Setiap manusia harus
menciptakan kesadaran yang mendasar, bahwa setinggi-tinggi jabatan yang ia
raih, sebesar-besar harta yang dimiliki, tetap saja semua itu dalam kuasa Tuhan.
Bila pengendali layang-layang memutus benang, maka layang-layang akan jatuh
dihempas angin. Tak selamanya layang-layang akan terbang. Terkadang jatuh
karena tiada angin, kadang jatuh karena tali terputus, dan kadang diturunkan
langsung oleh sang pengendali. Ini mengingatkan manusia kesadaran penting akan
kematian. Hidup di dunia ini hanya sementara, maka kita tidak boleh terbuai
olehnya. Untuk menciptakan keseimbangan dan keteraturan hidup setiap manusia
harus sadar bahwa pada akhirnya akan mati. Jadi jangan terbuai oleh kehidupan
duniawi. Layang-layang juga mengajarkan pada manusia pentingya persatuan. Tanpa
adanya benang, angin, udara, dan pengendali maka layang-layang tak akan bisa
terbang. Demikian juga manusia, manusia itu makhluk sosial jadi harus saling
bantu membantu, mempererat persatuan dengan yang lainnya. Ia tidak boleh egois.
Sifat egois hanya akan menjatuhkan diri. Orang egois akan dijauhi dan tak akan
dibantu jika sedang ditimpa masalah. Manusia harus bersatu atau berjamaah
supaya menjadi kuat dan hebat” pendapat Sholeh.
“Kalau
aku, karena tak begitu pandai berpendapat, maka aku akan mengutip perkataan Kurniawan
Gunadi, berikut kutipannya: ‘Kau tahu, Puteriku sayang. Laki-laki adalah
layang-layang dan perempuan adalah benang. Tanpa perempuan, laki-laki tak akan
menjadi apa-apa. Di balik ketinggian (kesuksesan) laki-laki, ada kita
(perempuan) dibaliknya. Puteriku, jadilah benang yang berkualitas terbaik.
Buatlah layang-layangmu kelak terbang setinggi-tingginya. Karena setinggi
apapun ia terbang, ia selalu terikat olehmu dan bergantung padamu. Jagalah dia
agar tidak putus dan hilang arah. Ingatlah bahwa layang-layang selalu ingin
terbang tinggi -Kurniawan Gunadi.’. Betapa indah analogi Kurniawan Gunadi yang
mana dalam tulisannya mengibaratkan laki-laki sepeti layang-layang, sedang
perempuan ba` benang. Sebagus-bagusnya layang-layang, maka ia tak akan bisa
terbang tanpa wanita. Laki-laki tanpa perempuan bukanlah apa-apa. Di balik
kesuskesan laki-laki besar, selalu tersimpan wanita agung di baliknya.
Laki-laki tanpa perempuan akan kehilangan arah dan tujuan” papar Sugeng
sebisanya.
Adapun
Joko berpendapat: "Layang-layang ibarat rakyat. Yang kendalinya adalah hukum,
keadilan dan kebijaksanaan laksana benang yang kokoh. Sedangkan Presiden dan
pemimpinnya ialah pengendali layang-layang. Pemimpin yang sukses adalah
pemimpin yang mampu meninggikan martabat dan kesejahteraan rakyat. Rakyat harus
dijunjung tinggi, bukan dimonopoli dan dieksploitasi; rakyat harus terikat
dengan hati pengendali sehingga arahnya searah dan setujuan. Pemimpin hebat
adalah pemimpin yang punya kendali yang kuat. Pemimpin bijaksana adalah
pemimpin yang benar-benar mengerti dalam memimpin rakyat. Sebagaimana pemain layangan
yang tak sembarangan menerbangkan layang-layang, ia harus tau arah angin, ia
harus tau musim, ia harus memeriksa kondisi layang-layang dan benang, sehingga
layang-layang bisa terbang dengan sukses. Demikian juga pemimpin, pemimpin
harus pintar memenej, mengolah, memadukan, mengetahui situasi dan kondisi
rakyat sehingga kebijakannya tidak serampangan. Sedangkan tujuan tertinggi
pemimpin ialah bagaiman rakyat bisa mendapatkan kehidupan yang adil, sejahtera
dan aman sentausa. Pemimpin rela berpanas-panas, berkeringat, berkorban,
berjuang demi kesejahteraan rakyat. Sebagai pemain layangan yang tak peduli
terik mentari demi terbangnya layang-layang.
Sedangkan
Paijo berseloroh: “Layang-layang itu tidak bisa dilihat dan disimpelkan begitu
saja. Sehingga dalam memandangnya, harus diperkaya dengan sudut pandang yang banyak,
cara pandang yang variatif dan jarak pandang yang setepat-tepatnya. Menurutku,
layang-layang adalah realita kehidupan. Dalam memandang kedidupan, manusia
bermacam-macam, tujuannya pun juga bermacam-macam. Ada yang memandangnya
sebagai hiburan; ada yang memandangnya sebagai
kesenian; ada yang memandangnya sebagai atau untuk mengisi waktu kosong;
ada yang memandangnya sebagai partisipasi sosial untuk pertemanan; ada yang
memandangnya sebagai trand dan musiman. Tujuannya pun juga
bermacam-macam, ada yang membuat layang-layang untuk hiburan, ada yang
bertujuan untuk diadu dengan layang-layang lain sehingga menimbulkan spirit
kompetisi yang tentu saja untuk meraih kemenangan. Apapun tujuannya, manusia
harus tetap ingat bahwa layang-layang tetaplah mainan; layang-layang adalah
wasilah atau sarana untuk menghibur diri, jadi sifatnya sementara. Kalau manusia
sampai lupa diri dengan alasan bermain layangan maka ia salah kaprah dalam
memahami dan menyikapi layang-layang. Demikian dalam menyikapi realitas
kehidupan di dunia. Hidup di dunia ini sementara, dan seperti permainan. Tapi
meskipun seperti bermain dan sementara, manusia juga harus serius dalam
melakoninya. Dunia adalah jembatan untuk menuju kehidupan yang sejati. Jangan
sampai manusia kepincut pada sarana dan melalaikan tujuan. Tujuan hidup
bukan untuk mencari kemenangan, tapi bagaimana kita bisa mencari ridha Tuhan,
dan berusaha sedapat mungkin untuk selalu bermanfaat bagi makhluk Tuhan”.
[Tak terasa waktu Dzuhur telah
tiba. Kumandang adzan telah terdengar. Keenam sahabat ini akhirnya sepakat
untuk shalat dan melanjutkannya di lain kesempatan. Maklum, mereka punya
kesibukan dan pekerjaan masing-masing. Mereka sepakat akan bertemu bulan depan
di ruah Slamet].
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !