Home » » Ketika Cinta Harus Memilih

Ketika Cinta Harus Memilih

Written By Amoe Hirata on Rabu, 15 Februari 2012 | 13.45

Senja hari itu langit begitu hitam pekat, tertutup kepulan asap yang sudah siap menurunkan air hujan.  Petir dan geledek bergemuruh dengan penuh bisingnya. Dalam kondisi demikian di sudut desa Jembar Sari rumah keluarga Bpk al-Kindi terjadi pertengkaran hebat. Bermula dari musyawarah keluarga hingga akhirnya terjadi konflik.
Dino putra bpk al-Kindi sedang menghadapi posisi sulit. Di senja petang itu ia diminta ketegasan oleh Bapaknya untuk memilih. Dino merasa kebingungan menjawabnya. Dalam hati ia berandai: "Andai aku bisa mendapat keduanya". Dua pilihan rumit itu ialah antara meneruskan studi kuliahnya  ke Jerman dengan menikah dengan Puspita Sari.
            Melanjutkan studi ke Jerman sudah menjadi cita-citanya sejak SMA. Setelah lulus SMA ia mencoba mengikuti tes beasiswa studi ke Jerman. Tak disangka ia lulus tes  dan mendapat nomor urut satu dari dua rIbu siswa tanah air yang mengikuti tes. Ia begitu gembira dan langsung sujud syukur. Mendengar berita itu pak al-Kindi senang bukan main, ia langsung memeluk anak semata wayangnya itu sambil menangis bahagia. Tak lama beberapa hari setelah itu ia mengadakan syukuran atas kelulusannya. Teman-teman SMA nya ia undang semua. Pada momen itu juga ia mau mengenalkan kekasihnya yang bernama Puspita Sari kepada Bapaknya.
            Berlangsunglah acara itu dengan lancar dan meriah. Di saat-saat acara berlangsung    ia memanggil Bapaknya. “Pak, maaf Dino mau berbicara sebentar”. “Oh iya silahkan nak”. “Jadi begini pak kalau Bapak tidak keberatan saya ingin mengenalkan kekasih Dino”. “Apaaaa!!! Astaghfirllah naaak, kekasih katakamu? Kamu pacaran ya? Istighfarrr naak, dari dulu Bapak sudah mengajarimu pelajaran agama kenapa kau melakukan tindakan yang a moral itu?”.
Pertanyaan yang bertubi-tubi itu membuat Dino sedikit takut dan gemetaran. “Eeeem....bukan begitu maksud Dino pak, Dino tidak pacaran Cuma hanya ingin mengenalkan calon istri Dino. Namanya Puspita Sari. Anaknya alim, baik dan shalihah. Meskipun ia sekolah di SMA ia tetap memakai jilbab. Di kelas ia menjadi idaman siswa. Sampai pada suatu ketika setelah kelulusan saya merasa tertarik dan ingin mempunyai hubungan serius denganya. Saya meminta bantuan Lina(Sepupu Dino), untuk menyampaikan niat saya pada Puspita....al-Hamdulillah ia menerima saya”.
“Baik Din, sekarang begini saja, kamu kenalkan saja anak itu pada Bapak. Masalah setuju atau tidak kita musyawarahkan saja nanti sore setelah acara selesai”. Di kenalkanlah Puspita pada Bapak al-Kindi. Tak ada sepatah katapun yang diucapkannya kecuali hanya buraian senyum khasnya.
            Acara sudah selesai. Dengan tergopoh Dino segera mencari Bapaknya. Setelah dicari, ternyata Bapak al-Kindi sedang khusyu di atas ranjang kamarnya memandangi photo mendiang istrinya. Dino merasa haru, ia melihat mata Bapaknya berkaca-kaca, seolah menyimpan kesedihan. “Bapak...kenapa menangis? Kangen sama Ibu ya?”. “Oh tidak kok Din. Bapak hanya teringat washiat mendiang Ibumu, bahwa kamu jangan menikah dulu sebelum mensukseskan studi dan sudah memiliki hidup mapan. Sebenarnya Bapak bukanya tidak setuju, hubungan kamu dengan Puspita, cuman kamu harus melaksanakan washiat Ibumu”.
            “Saya bukannya tidak mau melaksanakan washiat Ibu pak. Masalahnya, saya sudah mengikat hubungan dengan Puspita dan saya berjanji akan segera menikahinya. Ia merupakan gadis langkah yang pernah saya jumpai dan cintai pak. Seumur-umur baru dia yang bisa membuat saya jatuh cinta. Mungkin tindakan saya ini terkesan terburu-buru. Namun, jujur pak saya sungguh mencintainya. Seminggu lagi saya harus segera melamarnya. Kalau tidak, ia akan segera menuruti saran abahnya untuk ikut pondok Tahfidz al-Quran di pondok al-Karimah”.
            “Maaf Din, Bapak tetap tidak setuju. Aku ingin  kamu menuruti washiat Ibumu. Sekarang kamu fokus saja untuk persiapan studi ke Jerman. Kan tinggal satu bulan lagi. Aku tidak mau konsentrasimu pecah. Keputusan Bapak sudah bulat”. Dino diam tak bergeming mendengar jawaban ayahnya. Matanya merah, menahan air mata kesedihan. Dengan lantang ia berbicara:" Apakah Bapak tega jika nanti di Jerman aku terjerumus pada jurang maksiat? Aku ingin menikah dengan dia supaya aku tidak terjerumus pak. Selama ini aku tidak pernah meminta apapun sama Bapak. Kenapa, di saat aku meminta sesuatu Bapak menolaknya?”. Suara yang keras dan lantang itu ternyata membuat pak al-Kindi tersingung berat. Secara reflek tangan pak al-Kindi menampar pipi Dino. “Jadi hanya karena seorang gadis itu kamu berani berkata lantang? Kenapa kamu jadi berani membantah sama orang tua? Sekali lagi camkan baik-baik, Bapak tidak akan mengubah keputusan, sekarang terserah kamu, pilih terus lanjut studi ke Jerman atau gadis itu? Kalau kamu lebih memilih gadis itu pergi dari rumah ini”.
            Dino duduk lemas mendengar sikap keras ayahnya. Suara geledek dan petir terasa turut menambah sedih hatinya.Sekarang ia merasa bingung. Apa yang harus ia lakukan. Ke duanya sama-sama berat. Apakah ia harus menuruti Bapaknya, atau meneruskan keinginannya menikahi Puspita. Hatinya sedang berkecamuk. Yang jelas, dalam relung hatinya ia mau mendapatkan kedua-duanya. Dalam hati ia berandai:" Andai aku bisa mendapat keduanya". Tetapi fakta memaksa dia harus memilih.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan