Senja
hari itu langit begitu hitam pekat, tertutup kepulan asap yang sudah siap
menurunkan air hujan. Petir dan geledek
bergemuruh dengan penuh bisingnya. Dalam kondisi demikian di sudut desa Jembar
Sari rumah keluarga Bpk al-Kindi terjadi pertengkaran hebat. Bermula dari
musyawarah keluarga hingga akhirnya terjadi konflik.
Dino
putra bpk al-Kindi sedang menghadapi posisi sulit. Di senja petang itu ia
diminta ketegasan oleh Bapaknya untuk memilih. Dino merasa kebingungan
menjawabnya. Dalam hati ia berandai: "Andai aku bisa mendapat
keduanya". Dua pilihan rumit itu ialah antara meneruskan studi
kuliahnya ke Jerman dengan menikah
dengan Puspita Sari.
Melanjutkan
studi ke Jerman sudah menjadi cita-citanya sejak SMA. Setelah lulus SMA ia
mencoba mengikuti tes beasiswa studi ke Jerman. Tak disangka ia lulus tes dan mendapat nomor urut satu dari dua rIbu
siswa tanah air yang mengikuti tes. Ia begitu gembira dan langsung sujud
syukur. Mendengar berita itu pak al-Kindi senang bukan main, ia langsung
memeluk anak semata wayangnya itu sambil menangis bahagia. Tak lama beberapa
hari setelah itu ia mengadakan syukuran atas kelulusannya. Teman-teman SMA nya
ia undang semua. Pada momen itu juga ia mau mengenalkan kekasihnya yang bernama
Puspita Sari kepada Bapaknya.
Berlangsunglah
acara itu dengan lancar dan meriah. Di saat-saat acara berlangsung ia memanggil Bapaknya. “Pak, maaf Dino mau
berbicara sebentar”. “Oh iya silahkan nak”. “Jadi begini pak kalau Bapak tidak
keberatan saya ingin mengenalkan kekasih Dino”. “Apaaaa!!! Astaghfirllah naaak,
kekasih katakamu? Kamu pacaran ya? Istighfarrr naak, dari dulu Bapak sudah
mengajarimu pelajaran agama kenapa kau melakukan tindakan yang a moral itu?”.
Pertanyaan
yang bertubi-tubi itu membuat Dino sedikit takut dan gemetaran. “Eeeem....bukan
begitu maksud Dino pak, Dino tidak pacaran Cuma hanya ingin mengenalkan calon
istri Dino. Namanya Puspita Sari. Anaknya alim, baik dan shalihah. Meskipun ia
sekolah di SMA ia tetap memakai jilbab. Di kelas ia menjadi idaman siswa.
Sampai pada suatu ketika setelah kelulusan saya merasa tertarik dan ingin
mempunyai hubungan serius denganya. Saya meminta bantuan Lina(Sepupu Dino),
untuk menyampaikan niat saya pada Puspita....al-Hamdulillah ia menerima saya”.
“Baik
Din, sekarang begini saja, kamu kenalkan saja anak itu pada Bapak. Masalah
setuju atau tidak kita musyawarahkan saja nanti sore setelah acara selesai”. Di
kenalkanlah Puspita pada Bapak al-Kindi. Tak ada sepatah katapun yang diucapkannya
kecuali hanya buraian senyum khasnya.
Acara
sudah selesai. Dengan tergopoh Dino segera mencari Bapaknya. Setelah dicari,
ternyata Bapak al-Kindi sedang khusyu di atas ranjang kamarnya memandangi photo
mendiang istrinya. Dino merasa haru, ia melihat mata Bapaknya berkaca-kaca,
seolah menyimpan kesedihan. “Bapak...kenapa menangis? Kangen sama Ibu ya?”. “Oh
tidak kok Din. Bapak hanya teringat washiat mendiang Ibumu, bahwa kamu jangan
menikah dulu sebelum mensukseskan studi dan sudah memiliki hidup mapan.
Sebenarnya Bapak bukanya tidak setuju, hubungan kamu dengan Puspita, cuman kamu
harus melaksanakan washiat Ibumu”.
“Saya
bukannya tidak mau melaksanakan washiat Ibu pak. Masalahnya, saya sudah
mengikat hubungan dengan Puspita dan saya berjanji akan segera menikahinya. Ia
merupakan gadis langkah yang pernah saya jumpai dan cintai pak. Seumur-umur
baru dia yang bisa membuat saya jatuh cinta. Mungkin tindakan saya ini terkesan
terburu-buru. Namun, jujur pak saya sungguh mencintainya. Seminggu lagi saya
harus segera melamarnya. Kalau tidak, ia akan segera menuruti saran abahnya
untuk ikut pondok Tahfidz al-Quran di pondok al-Karimah”.
“Maaf
Din, Bapak tetap tidak setuju. Aku ingin
kamu menuruti washiat Ibumu. Sekarang kamu fokus saja untuk persiapan studi
ke Jerman. Kan tinggal satu bulan lagi. Aku tidak mau konsentrasimu pecah.
Keputusan Bapak sudah bulat”. Dino diam tak bergeming mendengar jawaban
ayahnya. Matanya merah, menahan air mata kesedihan. Dengan lantang ia
berbicara:" Apakah Bapak tega jika nanti di Jerman aku terjerumus pada
jurang maksiat? Aku ingin menikah dengan dia supaya aku tidak terjerumus pak.
Selama ini aku tidak pernah meminta apapun sama Bapak. Kenapa, di saat aku
meminta sesuatu Bapak menolaknya?”. Suara yang keras dan lantang itu ternyata
membuat pak al-Kindi tersingung berat. Secara reflek tangan pak al-Kindi
menampar pipi Dino. “Jadi hanya karena seorang gadis itu kamu berani berkata
lantang? Kenapa kamu jadi berani membantah sama orang tua? Sekali lagi camkan
baik-baik, Bapak tidak akan mengubah keputusan, sekarang terserah kamu, pilih
terus lanjut studi ke Jerman atau gadis itu? Kalau kamu lebih memilih gadis itu
pergi dari rumah ini”.
Dino
duduk lemas mendengar sikap keras ayahnya. Suara geledek dan petir terasa turut
menambah sedih hatinya.Sekarang ia merasa bingung. Apa yang harus ia lakukan.
Ke duanya sama-sama berat. Apakah ia harus menuruti Bapaknya, atau meneruskan
keinginannya menikahi Puspita. Hatinya sedang berkecamuk. Yang jelas, dalam
relung hatinya ia mau mendapatkan kedua-duanya. Dalam hati ia berandai:"
Andai aku bisa mendapat keduanya". Tetapi fakta memaksa dia harus memilih.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !