Di
bawah temaram lampu, tak menyurutkan teman-teman Sarikhuluk sinau bareng di
Pendopo Al-Ikhlas. “Cak, ada seorang kiai yang sedang merevolusi fiqih Islam?”
cerita Paimen dengan penuh semangat membagikan pengalamannya saat mengikuti
acara NGABAR (Ngaji Bareng) di Jakarta. “Revolusi piye? Coba ceritakan
terlebih dahulu kronologinya.” Sahut Sarikhuluk.
“Aku ga bisa menceritakan detailnya, hanya
bisa menyampaikan resumenya.” Jawabnya datar. “Makanan apa tuh resume?”
Tanya Paidi dengan polosnya. “Intine kesimpulannya.” Jawab Paimen. “Wes,
terus lanjutkan aku juga jadi penasaran.” Pinta Syahidan yang merupakan jebolan
pondok salaf tradisional.
Dengan gaya ndeso dan medok-nya,
dia pun menjelaskan, “Katanya, Islam di Indonesia kan “Islam Fiqih”, nah ketika
melihat fenomena ulama di negeri ini, dia merasa fiqih perlu direvolusi dalam
arti, ada pemahaman-pemahaman yang saat ini harus diluruskan. Banyak sekali
persoalan-persoalan fiqih yang tidak terjawab tuntas di kalangan masyarakat,
yang kemudian justru memberikan pengaruh dalam tatanan sosial di masyarakat itu
sendiri.”
“Ada
beberapa poin yang mau direvolusi. Pertama, terminologi kata syari`ah
yang seringkali dipersempit dan disalahpahami. Syari`ah kan sejatinya luas,
dipersempit menjadi fakultas. Kalau syari`ah itu fakultas, lalu
universitasnya apa? Padahal arti syariat sendiri kan sebenarnya luas, segala
apa yang disyariatkan Allah kepada makhlukNya. Syariah yang sebenarnya sangat
luas di masa Rasulullah kemudian dipersempit menjadi fiqih dan dipisahkan dari
akidah dan akhlak. Akhirnya, tidak ada koneksi di antara ketiganya”
“Kedua,
klasifikasi najis yang selama ini cendrung materil saja. Ada mukhaffafah(ringan),
mutawassitha(sedang), dan mughalladzah(parah). Karena
terlalu materil, akibatnya orang yang shalat walau pun memakai pakaian curian,
maka shalatnya tetap dianggap sah. Melihat fenomena ini, beliau menawarkan
revolusi baru dengan mengklasifikasinan menjadi tiga bagian. Pertama, najis
material(semua benda yang kotor dan mengandung bakteri). Kedua, najis
fungsional(tidak hanya suci materil, tapi juga harus diperoleh dari cara yang
halal. Tidak sah misalnya shalat di masjid hasil korupsi). Ketiga, najis
spiritual(maksudnya ikhlas karena Allah. Kalau ada orang shalat karena
pencitraan, maka tidak sah hukumnya.”
“Ketiga,
konsep hablun minallah selama ini dipahami dalam kerangka ibadah mahdhah
kepada Allah saja. Menurutnya, segala perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang
bisa menghubungkan antara hamba dan Tuhannya, maka itu disebut hablum
minallah.”
“Keempat,
selama ini, terma 5 hukum dalam fiqih(Wajib, Sunnah, Halal, Haram, Makruh)
kerap kali disebut sebagai hukum taklifi. Kalau disebut taklifi(beban)
berarti, membebani, berarti Allah mukallif(Maha Membebani) sehingga
kesannya beragama itu penuh beban dan membuat orang susah. Sebagai revolusi dia
menawarkan nama lain dari istilah al-Qur`an yaitu hukum ishlahi(perbaikan).
Orangnya disebut shalih, Allah disebut mushlih, sedangkan hukumnya
adalah ishlahi(untuk kemashlahatan hamba). Jadi, menurutnya dengan
demikian tidak terkesan seram.”
“Kelima,
sumber hukum fiqih yang dia revolusi bukan saja berasal dari yang tekstual saja
seperti Al-Qur`an dan Hadits, tapi juga dari peristiwa-peristiwa dan
fenomena-fenomena alam yang terjadi.” Pungkas Paimen.
Setelah
nyeruput kopi luwak, Sarikhulik di tengah hembusan angin malam di
Pendopo Al-Ikhlas urun komentar, “Idenya cukup logis dan taktis, Cuma yo
jangan ditelan mentah-mentah dulu. Mungkin ada di antara rekan-rekan sekalian
yang menanggapi?”
“Aku
Cak!” Sarijan seorang guru bahasa Indonesia di SMP desa Jumeneng mengangkat
tangan dengan penuh kemantaban. “Aku mau mengkritisi, kata “Revolusi Fiqih”
Setiap kata kan lahir kesepakatan dan memiliki konteks tertentu, istilah “revolusi”
kan lahir dari Barat. Ada istilahnya “Revolusi Prancis”, “Revolusi Industri”,
dll. Apa ya pas kalau disandingkan dengan fiqih yang lahir dari rahim
intelektual umat Islam. Aku kira kurang pas, dan terlalu mekso.”
Setelah
meminum teh hangat sejenak, Sarijan pun meneruskan, “Dalam KBBI(Kamus Besar
Bahasa Indonesia), “revolusi” itu paling tidak ada tiga makna: Pertama, perubahan
ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan
kekerasan (spt dng perlawanan bersenjata). Kedua, perubahan yg cukup mendasar dalam
suatu bidang. Ketiga, peredaran bumi dan planet-planet lain dalam mengelilingi
matahari. Kalau dalam makna pertama aku kira ga nyambung karena menggunakan
cara-cara kekerasan yang berkaitan dengan perubahan ketatanegaraan. Sedangkan
makna kedua lumayan terkait, meski kita harus mendudukkan terlebih dahulu
definisi riil dari fiqih. Ada pun yang ketiga tak ada hubungannya sama sekali.”
Syahidan
tak mau kalah, dengan pengalaman nyantri berpuluh-puluh tahun dia
memberi tanggapan, “Kalau masalah syari`ah kemudian dipersempit menjadi
hanya pada wilayah hukum, aku sih setuju perlu direvolusi. Namun,
lagi-lagi bahasa merupakan kesepakatan. Seingatku, dalam ilmu mantiq, ada
istilah wadh`ul lughawi(istilah bahasa), wadh`ui istilahi(menurut
istilah), wadh`ul `urfi(istilah adat), dan wadh`ul syar`i(sesuai
terminologi syariat). Nah kata “syariat” kalau dipahami secara lughawi(bahasa)
saja, memang sifatnya sangat umum karena berarti thariqah(jalan) atau
sistem. Dalam sudut pandang ini masih bisa diterima. Untuk `urfi(adat)
tidak ada makna khusus tentang “Syari`ah”. Nah, kalau ditarik ke ranah ishtilahi
dan syar`i, maka aku kira masih wajar saja. Dengan catatan tetap
menyampaikan penyempitan-penyempitan yang sedang terjadi.”
“Selanjutnya,
masalah pembagian najis menjadi material, fungsional dan spiritual. Aku kira perlu
kembali ke definisi fiqih. Setahuku, pembahasan fiqih memang menyangkut masalah
hukum saja. Definisinya kan, “Ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syariat
praktis, yang bersumber dari dalil-dalilnya secara rinci.” Karena itu terlalu
terburu-buru jika merevolusi istilah najis, kalau definisi fiqih belum
diredefinisikan.”
“Menurutku
itu terlalu idealis kalau misalnya shalat harus sah secara material, fungsional
dan spiritual. Coba bisa ga orang melakukan itu semua? Belum lagi ditambah lagi
masalah perbedaan usia, perbedaan pemahaman, dan perbedaan keilmuan. Bagus sih
ide itu sebagai idealisme, tapi menurutku kurang membumi.”
“Terus
masalah kritik beliau tentang penamaan hukum taklifi diganti dengan
istilah dalam al-Qur`an yang kedengarannya lebih indah yaitu ishlahi. Aku
kira bagus saja. Cuma catatanku begini, harus diingat bahwa kata taklif
sendiri ada rujukannya dalam al-Qur`an, jadi ulama tidak main-main dalam
menggunakan istilah taklif. Dalam Surah Al-Baqarah: 286 dan At-Thalaq:
7, jelas-jelas ada digunakan kata-kata derivasi taklif yaitu: la
yukallifullahu. Jadi sah-sah saja dong ulama menggunakan demikian. Sekarang
coba dipikir, pada dasarnya shalat, zakat, puasa, dan haji itu kan sebenarnya
berat dilakukan, aslinya kan gitu. Cuma karena kita cinta Allah, maka kita
tetap lakukan. Umar saja berat banget ketika mau mencium hajar aswad. Kan cuma
batu, ngapain dicium? Tapi karena itu perintah, ya dia laksanakan.”
“Kalau
memang niatnya mau menyelaraskan, mengharmonikan antara yang material dan
spiritual agar fiqih tidak terceraikan dari bidang lain, ya itu bagus, tapi
bukan berarti merevolusi istilah-istilah ulama dalam hal fiqih. Mereka membuat
fiqih tentu dengan penuh perhitungan dan kemampuan yang mumpuni.”
“Terus
masalah sumber hukum bukan hanya yang tekstual, tapi juga fenomena alam.
Menurutku terlalu over dosis. Okelah peristiwa yang terjadi di alam bisa dibuat
pertimbangan dalam menelorkan suatu hukum. Tapi dia tidak bisa dijadikan sumber
utama. Peristiwa alam kan dinamis, maka perlu sumber paten yang tidak
dipengaruhi oleh tempat maupun waktu, dalam hal ini al-Qur`an dan Hadits.”
“Terus
masalah hablun minallah diartikan segala sesuatu yang bisa
mengkoneksikan antara hamba dan Tuhannya, lumayan masuk lah. Tapi aku punya
pengertian tersendiri terkait hablun minallah. Hablun kan tali, min berarti dari. Lah maskud
tali dari Allah iku piye?”
“Pertama,
kita sebutkan dulu ayat yang menjelaskan hablun minallah dan hablun
minan nas. Masalah ini terdapat dalam Surah Ali Imran: 112. Arti ayatnya
demikian: ‘Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika dengan tali Allah
dan tali dengan manusia,’(QS. Ali Imran[3]: 112). Intinya, orang ahlul kitab itu
akan senantiasa mendapatkan kehinaan dimana saja sebelum berpegangteguh dengan
tali Allah dan manusia.”
“Yang
dimaksud tali Allah itu apa? Dalam surah yang sama ayat 103, disebutkan bahwa ada
perintah agar berpegang pada tali Allah. Nah tali ini bisa berupa agama,
al-Qur`an-hadits, atau ketetapan Allah. Sedangkan yang dimaksud tali untuk
menusia bisa diartikan perjanjian antar manusia. Jadi kalau membicarakan hablun
minallah dan hablun minannas itu bukan membahasa masalah hubungan manusia
dengan Allah, atau Allah dengan manusia yang biasanya dibahasakan dengan hubungan
vertikal dan horisontal. Hablun minallah itu ketetapan, hukum, agama
yang dibuat oleh Allah untuk makhluknya demi kemaslahatan hidup dunia-akhirat
mereka sehinggi perlu dipegangteguhi. Sedengakan hablun minannas,
perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan antara manusia perlu dijaga selama
tidak menabrak jalur-jalur syar`i.” Itu sih Cak sementara menurutku.
Suasana di
pendopo Al-Ikhlas pun menjadi hening akibat jawaban akademis Syahidan. Bukannya
apa, suasana henaing karena banyak yang tidur lantaran tak mengerti. Ada yang
meninggalkan pendopo karena ga nyambung dan ga asyik. Ada juga yang cuma
mengangguk-ngangguk meski tak paham tanpa komentar, hitung-hitung sebagai
penghormatan bagi Syahidan. Yang benar-benar menyimak hanya Paimen, Sarijan,
Syahidan dan Sarikhuluk.
“Cak ada
yang minta tolong dari desa sebelah. Katanya ada yang kesurupan.” Teriak
Wargiman dengan nafas terengah mengabari Sarikhuluk. “Tunggu bentar Man, aku
perlu ngasih gambaran pada diskusi malam ini agar tak ambigu. Pertama,
aku lihat tadi Sarijan dan Syahidan sudah lumayan kritis. Cuma begini, cobalah
diperkaya angle, sudut pandangnya. Mbok setiap pendapat itu jangan hanya
dilihat dari sisi negatifnya saja. Telek wedos(kotoran kambing) itu
kalau dilihat dari segi positifnya, bisa dibuat pupuk lho. Okelah ada kritik,
tapi harus santun dan upayakan ada solusi.”
“Kedua,
ide-ide yai tadi sebenarnya bagus karena melihat fenomena ke-fiqih-an umat yang
semakin bermasalah dan terlalu fiqih
oriented. Orang-orang yang mengaku Muslim –utamanya di Indonesia- pada
umumnya, terlalu takjub dan mengutamakan hal-hal yang wadak dan matrealistis.
Ibadahnya hanya simbolis dan formalitas belaka. Antara materi dan rohani memang
perlu dikawinkan, biar terjadi harmoni. Namun memang, kiai tersebut ada baiknya
duduk bareng, rembukan dengan ulama-ulama yang berkompeten, sehingga tak
terkesan revolusi, revolusi, revolusi, padahal itu adalah pendapat pribadi.”
“Oh ya
lupa, terakhir aku mau nanyak, emang ada ya ‘revolusi’(dilihat dari
sejarah lahirnya kata ini) yang dikerjakan oleh satu orang? atau jangan-jangan
yang dimaksudkan yai itu adalah “Evolusi Fiqih” meminjam istilah Darwin? Wes,
gitu dulu aku mau nyambangi orang yang lagi kesurupan."
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !