Home » » Poligami Dicaci, Prostitusi Dimaklumi

Poligami Dicaci, Prostitusi Dimaklumi

Written By Amoe Hirata on Jumat, 13 Oktober 2017 | 14.31

Sumber Gambar: Tribunnews
            JAGAT media tanah air baru-baru ini –bahkan hingga sekarang- heboh dengan aksi ustadz kondang, Arifin Ilham. Dai yang biasa memimpin majelis dzikir ini, memajang foto tiga istri bersama dirinya di media sosial. Karuan saja, hal ini mendapat respon yang beragam; banyak yang menghujat, mencaci, nyiyir, mem-bully, dan tak sedikit pula yang membelanya.

            Membaca fenomena demikian, perlu didudukkan terlebih dahulu akar masalahnya. Apakah poligami itu ilegal, baik menurut hukum Islam maupun undang-undang negara, sehingga pantas mendapat cacian? Pertanyaan ini perlu dijawab terlebih dahulu agar tidak menjadi bias, melebar ke mana-mana dan menjadi ajang hujat-menghujat yang hanya merusak persatuan anak bangsa.
            Dalam buku Undang-Undang Perkawinan No. 1 (1974), Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 ayat 2, secara tegas poligami dibolehkan, tapi dengan syarat yang cukup ketat, di antaranya: mendapat izin dari istri ( UU Perkawinan, 2004: 2-9). Dalam Islam, ayat yang menunjukkan dibolehkannya poligami (maksimal 4 istri) adalah Surah An-Nisa, ayat 3. Namun, dalam ayat yang sama disebutkan syarat yang ketat, yaitu: adil.
            Dengan demikian, poligami pada dasarnya dibolehkan. Anehnya, bagi yang nyinyir, mencaci, mencemooh bahkan menghujat pelaku poligami, tidak peduli dengan legalitas hukum poligami. Di samping itu, ada sikap yang tidak adil yang diperlihatkan, misalnya: kalau ada tokoh yang terjerat kasus melacur, menikmati prostitusi, selingkuh, tidak begitu dipermasalahkan. Ketika ada tokoh Islam yang poligami (yang secara hukum halal), di-bully habis-habisan.
            Baru-baru ini misalnya, Jumat malam (6/10/2017), sebuah SPA diduga digunakan untuk pesta seks sesama jenis. Bisa dibaca di media cetak dan online, apakah kasus prostitusi semacam ini mendapat kritikan, cacian, bully, dan kesinisan yang sama dibanding dengan yang diarahkan Ustadz. Arifin yang memajang tiga istrinya?
            Di sisi lain, jika kemudian poligami dianggap bisa menyakiti wanita, seperti yang biasa digaungkan oleh para pembencinya, maka itu lain soal dan bisa diperdebatkan secara ilmiah. Tapi yang jelas, poligami di Indonesia ada payung hukumnya.
            Fenomena hujatan dan cacian terhadap praktik poligami, bukan hal baru. Pada tahun 1937 misalnya, Siti Soemandari (seorang Theosof), Pimpinan Majalah Bangoen, dalam artikelnya banyak melecehkan Islam, khususnya: pernikahan dalam Islam dan syariat poligami (Artawijaya, 2010: 195). Tulisan-tulisan yang kontroversial ini tentu saja mendapat penolakan JIB (Jong Islamieten Bond), oraganisasi pemuda Islam dan umat Islam lainnya, dengan menghelat rapat Akbar di Jakarta.
            Ir. Soekarno pun menantang keras poligami. Presiden Pertama Indonesia ini, berpihak kepada Persatoean Poetri Indonesia yang menolak poligami (Mansur Suryanegara, 2014: I/514). Sedangkan Natsir, JIB, dan H.O.S. Cokro Aminoto membolehkan poligami tentunya jika syaratnya terpenuhi. Menariknya, Soekarno yang awalnya getol menolak poligami, pada akhirnya berpoligami. Sedangkan Natsir sebaliknya, sepanjang hayatnya monogami.
            Kasus lain yang tidak kalah sangar, adalah Soewarni Pringgodigdo, aktivis perempuan sekuler, menilai poligami nista dan merendahkan perempuan. Baginya, Indonesia tidak akan merdeka secara sempurna sepanjang rakyat menyukai poligami.
            Pada 13 oktober 1928, di sebuah forum perkumpulan wanita yang dihadiri oleh Ir. Soekarno, Natsir mewakili JIB, mengkritik Soewarni dan organisasi perempuan yang anti poligami. Kritik Natsir, yang cukup membuat kuping merah ini, akhirnya membuat beliau disuruh berhenti berbicara sebelum waktu usai, mereka anggap Natsir membahas masalah agama (Artawijaya, 2010: 233).
            Pada tahun 1928, saat poligami dicela kalangan nasionalis sekuler, organisasi Aisyiyah tak tinggal diam. Siti Moentidjah pada Kongres Perempuan Indonesia, dalam pidatonya mendukung poligami dan menganggapnya bagian dari syariat Islam. Kelmpok perempuan Muhammadiyah ini tidak menganjurkan poligami, tapi di waktu yang sama menolak penghapusan pembolehan syariat poligami dalam Islam (Ro’fah, 200)
            Dari pengalaman sejarah tersebut, syariat poligami memang ada pro dan kontra. Tapi, bahwa poligami legal secara hukum negara dan agama dengan syarat ketat, tidak terbantahkan. Bagi yang mencibir, mencela, mem-bully poligami dan praktiknya, ada baiknya mengevaluasi diri: orang nikah dengan jalan sah Anda caci, sedangkan orang yang selingkuh, menikmati prostisusi dimaklumi.

            Sikap adil dalam menilai poligami dan praktiknya, menjadi solusi terbaik. Masalahnya, bagaimana bisa adil, jika sejak dalam pikiran sudah anti-pati dengan poligami. Saya jadi teringat Jean Marais, dalam novel Bumi Manusia karya Pram (2002: 269), “....adil sejak dalam pikiran.” Sudahkan kita adil dalam menilai poligami?
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan