Sumber Gambar: Tribunnews |
JAGAT media tanah air
baru-baru ini –bahkan hingga sekarang- heboh dengan aksi ustadz kondang, Arifin
Ilham. Dai yang biasa memimpin majelis dzikir ini, memajang foto tiga istri
bersama dirinya di media sosial. Karuan saja, hal ini mendapat respon yang
beragam; banyak yang menghujat, mencaci, nyiyir, mem-bully, dan
tak sedikit pula yang membelanya.
Membaca fenomena demikian,
perlu didudukkan terlebih dahulu akar masalahnya. Apakah poligami itu ilegal,
baik menurut hukum Islam maupun undang-undang negara, sehingga pantas mendapat
cacian? Pertanyaan ini perlu dijawab terlebih dahulu agar tidak menjadi bias,
melebar ke mana-mana dan menjadi ajang hujat-menghujat yang hanya merusak
persatuan anak bangsa.
Dalam buku Undang-Undang
Perkawinan No. 1 (1974), Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 ayat 2, secara tegas
poligami dibolehkan, tapi dengan syarat yang cukup ketat, di antaranya:
mendapat izin dari istri ( UU Perkawinan, 2004: 2-9). Dalam Islam, ayat yang
menunjukkan dibolehkannya poligami (maksimal 4 istri) adalah Surah An-Nisa,
ayat 3. Namun, dalam ayat yang sama disebutkan syarat yang ketat, yaitu: adil.
Dengan demikian, poligami
pada dasarnya dibolehkan. Anehnya, bagi yang nyinyir, mencaci, mencemooh
bahkan menghujat pelaku poligami, tidak peduli dengan legalitas hukum poligami.
Di samping itu, ada sikap yang tidak adil yang diperlihatkan, misalnya: kalau
ada tokoh yang terjerat kasus melacur, menikmati prostitusi, selingkuh, tidak
begitu dipermasalahkan. Ketika ada tokoh Islam yang poligami (yang secara hukum
halal), di-bully habis-habisan.
Baru-baru ini misalnya, Jumat
malam (6/10/2017), sebuah SPA diduga digunakan untuk pesta seks sesama jenis.
Bisa dibaca di media cetak dan online, apakah kasus prostitusi semacam
ini mendapat kritikan, cacian, bully, dan kesinisan yang sama dibanding
dengan yang diarahkan Ustadz. Arifin yang memajang tiga istrinya?
Di sisi lain, jika
kemudian poligami dianggap bisa menyakiti wanita, seperti yang biasa digaungkan
oleh para pembencinya, maka itu lain soal dan bisa diperdebatkan secara ilmiah.
Tapi yang jelas, poligami di Indonesia ada payung hukumnya.
Fenomena hujatan dan
cacian terhadap praktik poligami, bukan hal baru. Pada tahun 1937 misalnya,
Siti Soemandari (seorang Theosof), Pimpinan Majalah Bangoen, dalam
artikelnya banyak melecehkan Islam, khususnya: pernikahan dalam Islam dan
syariat poligami (Artawijaya, 2010: 195). Tulisan-tulisan yang kontroversial
ini tentu saja mendapat penolakan JIB (Jong Islamieten Bond), oraganisasi
pemuda Islam dan umat Islam lainnya, dengan menghelat rapat Akbar di Jakarta.
Ir. Soekarno pun menantang
keras poligami. Presiden Pertama Indonesia ini, berpihak kepada Persatoean
Poetri Indonesia yang menolak poligami (Mansur Suryanegara, 2014: I/514).
Sedangkan Natsir, JIB, dan H.O.S. Cokro Aminoto membolehkan poligami tentunya
jika syaratnya terpenuhi. Menariknya, Soekarno yang awalnya getol menolak
poligami, pada akhirnya berpoligami. Sedangkan Natsir sebaliknya, sepanjang
hayatnya monogami.
Kasus lain yang tidak
kalah sangar, adalah Soewarni Pringgodigdo, aktivis perempuan sekuler, menilai
poligami nista dan merendahkan perempuan. Baginya, Indonesia tidak akan merdeka
secara sempurna sepanjang rakyat menyukai poligami.
Pada 13 oktober 1928, di
sebuah forum perkumpulan wanita yang dihadiri oleh Ir. Soekarno, Natsir
mewakili JIB, mengkritik Soewarni dan organisasi perempuan yang anti poligami.
Kritik Natsir, yang cukup membuat kuping merah ini, akhirnya membuat beliau
disuruh berhenti berbicara sebelum waktu usai, mereka anggap Natsir membahas
masalah agama (Artawijaya, 2010: 233).
Pada tahun 1928, saat
poligami dicela kalangan nasionalis sekuler, organisasi Aisyiyah tak tinggal
diam. Siti Moentidjah pada Kongres Perempuan Indonesia, dalam pidatonya
mendukung poligami dan menganggapnya bagian dari syariat Islam. Kelmpok
perempuan Muhammadiyah ini tidak menganjurkan poligami, tapi di waktu yang sama
menolak penghapusan pembolehan syariat poligami dalam Islam (Ro’fah, 200)
Dari pengalaman sejarah
tersebut, syariat poligami memang ada pro dan kontra. Tapi, bahwa poligami
legal secara hukum negara dan agama dengan syarat ketat, tidak terbantahkan.
Bagi yang mencibir, mencela, mem-bully poligami dan praktiknya, ada
baiknya mengevaluasi diri: orang nikah dengan jalan sah Anda caci, sedangkan
orang yang selingkuh, menikmati prostisusi dimaklumi.
Sikap adil dalam menilai
poligami dan praktiknya, menjadi solusi terbaik. Masalahnya, bagaimana bisa
adil, jika sejak dalam pikiran sudah anti-pati dengan poligami. Saya jadi teringat
Jean Marais, dalam novel Bumi Manusia karya Pram (2002: 269), “....adil
sejak dalam pikiran.” Sudahkan kita adil dalam menilai poligami?
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !