Home » , » Belajar Pada Natsir dalam Menyikapi Perbedaan Prinsip Berpolitik

Belajar Pada Natsir dalam Menyikapi Perbedaan Prinsip Berpolitik

Written By Amoe Hirata on Jumat, 21 September 2018 | 06.16


Dalam buku “Syukur tiada akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama” (2011: 556), disebutkan bahwa Jakob Oetama, wartawan senior pendiri Kompas, begitu kagum kepada sosok Natsir. Salah satu yang membuatnya kagum kepada tokoh muslim yang gaya hidupnya bersahaja ini adalah kecakapannya dalam menyikapi perbedaan.
Kata Jakob –menggambarkan Natsir bersama teman-teman yang berbeda saat bertugas di pemerintahan--, “Mereka bisa berbeda dalam prinsip berpolitik, tetapi perbedaan itu tidak berakibat pada hubungan mereka sebagai sesama teman.”
Lebih dari itu, Jakob –kabarnya sebagaimana yang tertulis dalam buku-- sering berkunjung ke rumahnya, bersilaturahim mengucapkan selamat Idul Fitri. Menariknya, saat Natsir wafat (6 Februari 1993), ia menangis, berlutut di dekat peti jenazahnya.
Demikianlah halnya sosok Natsir. Beliau dikenal sosok yang teguh pendirian, bahkan terkesan kaku dalam masalah prinsip, namun dalam masalah pergaulan begitu luas. Dalam majalah Tempo edisi khusus (2008) disebut bahwa Natsir mampu membangun pergaulan multikultural.
Kita tentu tahu benggolan PKI, D.N. Aidit. Dia ini secara ideologi dan haluan politik jelas sangat bertentangan dengan Natsir. Namun, perbedaan itu tak sampai merusak hubungan pertemanan. Mereka berdua habis rapat dikabarkan suka ngopi bareng. Demikian juga hubungan pertemanan Natsir dengan I.J. Kasimo yang berbeda secara ideologis dan politik tetap baik.
Generasi zaman old dan now yang terlibat dalam perang medsos untuk membela calonnya di Pilpres 2019, syogianya belajar banyak pada Natsir dalam menyikapi perbedaan.
Jangan mentang-mentang berbeda lalu saling menjatuhkan di medsos kemudian dibawa-bawa ke ranah kehidupan nyata. Tidak saling sapa, saling benci, saling caci-maki dan lain sebagainya yang bisa menggerus keutuhan bangsa. Lalu kalau sudah begitu, bagaimana dengan bunyi sila, “Persatuan Indonesia”?
Ingat! Persatuan anak bangsa jauh lebih penting daripada hajatan lima tahunan itu. Terlebih, kalau yang berseteru dan bertengkar ternyata sama-sama Muslim. Apa ukhuwah keislaman rela dikorbankan demi kepentingan lima tahun itu? Ini bukan berarti mengajak pada anti pemilihan, sama sekali bukan.
Maksudnya adalah mbok ya perbedaan dibuat slow saja. Silakan berdebat dengan santun, mengadu ide-ide dan program-progam terbaik untuk kepentingan bangsa, tapi jangan saling menjatuhkan dan merendahkan yang berkonsekuensi pada tindakan-tindakan yang tidak produktif sama sekali, malah destruktif.
Membina dan menjaga sesuatu –seperti persatuan misalnya-- jauh lebih sulit daripada menghancurkannya. Maka, masing-masing pihak harus menjaga diri dan waspada agar persatuan dan kesatuan tak hancur berkeping-keping. Dalam piramida Mesir, ada tulisan yang artinya, “Sesungguhnya merusak itu lebih mudah daripada membangun.” (Muhammad bin Abdullah Batutah, Rihlah Ibnu Batutah, 41)
Dari sosok Natsir kita bisa belajar bahwa perbedaan yang ada jangan sampai merusak pertemanan dan kesatuan kita, minimal sebagai anak bangsa. Apalagi, jika perbedaan itu dengan sesama muslim.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan