Home » , , » Kapasitas Pemimpin

Kapasitas Pemimpin

Written By Amoe Hirata on Senin, 31 Desember 2018 | 20.55



Gambar terkait
SALAH satu perkara yang bisa dijadikan acuan untuk melihat kapasitas pemimpin adalah ketika dirinya tak gila jabatan. Ditempatkan di manapun ia, maka akan bekerja dan berjuang dengan baik demi idealisme kebenaran yang diyakininya.

Pada sariyyah (ekspedisi perang) Dzatus Salasil (8 H), Abu Bakar dan Umar dikirim Rasulullah untuk membantu Amru bin Ash menghadapi musuh Islam yang hendak melawan.

Menariknya, Abu Bakar dan Umar mematuhi perintah Rasulullah dan taat komando Amru bin Ash. Tidak ada sama sekali pembangkangan atau merasa gengsi karena dirinya lebih baik daripada Amru bin Ash. Perintah itu dilaksanakan dengan legowo dan akhirnya kemenangan berada di pihak umat Islam.

Pada saat 3 jendral perang di pertempuran Mu`tah gugur syahid, maka sosok yang menggantikan mereka adalah Khalid bin Walid. Meski dirinya baru masuk Islam, tapi sahabat lain yang lebih senior tidak meremehkannya. Terbukti, taktinya di perang Mu'tah bisa menyelamatkan banyak nyawa sahabat.

Kejadian yang serupa adalah ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengirim Usamah bin Zaid menjadi panglima Perang ke arah Syam, orang sekaliber Abu Bakar dan Umar juga berada di bawah komandonya. Apakah kedua tokoh itu merasa minder dan gengsi? Ternyata tidak. Meski ekspedisi itu tidak bisa terlaksana karena wafatnya Rasulullah, namun pada masa kekhalifahan Abu Bakar ekspedisi itu dilanjutkan dan mengalami kesuksesan yang cukup gemilang.

Dari tokoh Islam Indonesia, kita pernah mendengar keteladanan itu pada sosok Mohammad Natsir. Dalam buku "Sang Pelopor; Tokoh-tokoh Sepanjang Perjalanan Bangsa" (2012:130), almarhum Rosihan Anwar, wartawan senior Indonesia memberikan kesaksian menarik mengenai pribadi Natsir.

Ketika diselenggarakan Muktamar Wartawan islam Sedunia di Jakarta tahun 1982, Roshihan Anwar direkayasa --oleh Orde Baru-- untuk menjadi ketua delegasi Indonesia. Namun, beberapa delegasi luar negeri menginginkan Natsir (yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Presiden Rabithah Alam Islami) untuk menjadi ketua delegasi.

Apa reaksi Natsir? Apa beliau marah, gengsi dan ngambek pada Rosihan Anwar? Nyatanya tidak. Beliau menolak --dengan halus-- dan mempersilakan Rosihan Anwar menjadi Ketua Delegasi. Bahkan beliau memandang ke arah Rosihan dengan "senyum nabi" (istilah Rosihan).

Rosihan sampai malu, karena meski Natsir tak menjadi ketua delegasi Indonesia, namun beliau tetap berusaha membuat muktamar mencapai hasil baik. Itulah kapasitas Natsir, suatu gambaran menarik bagi seorang pemimpin idaman yang tak gila jabatan. Di manapun posisinya, ia selalu berjuang untuk kebaikan dan kebenaran. Kemaslahatan umum, selalu lebih utama daripada kepentingan dan perasaan pribadi.

Itulah di antara contoh kapasitas pemimpin yang sudah sangat jarang dimiliki di negeri ini, bahkan mungkin pada umat Islam secara umum.

Saat ini, demi menggapai jabatan seorang yang dinilai alim ulama, bisa menanggalkan idealismenya. Seorang yang dulunya dikenal sangat garang bak macan, ketika diberi jabatan, menjadi lunak seperti domba kurang makan.


Jabatan, posisi, kedudukan atau apapun namanya memang sungguh melenakan. Namun, justru di situ kapasitas dan kualitas kepemimpinan bisa diuji. Dia merasa puas dengan jabatan yang dimiliki, atau justru lebih mengedepankan perjuangannya dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan, meski pilihan itu adalah jalan sunyi di tengah hiruk pikuk kebanyakan manusia yang berlomba-lomba mencari jabatan.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan