Home » , » Hari Bela Negara; Mengenang Kiprah Syafruddin Prawiranegara

Hari Bela Negara; Mengenang Kiprah Syafruddin Prawiranegara

Written By Amoe Hirata on Kamis, 20 Desember 2018 | 10.19


SOSOK
 Syafruddin Prawiranegara (1911-1989) dalam jagad perjuangan bangsa Indonesia tidaklah kecil. Beliau pernah menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (BP KNIP) pada tahun 1945, Wakil Menteri Keuangan (1946), Menteri Kemakmuran (1947), Wakil Perdana Mentri RI (1949), Menteri Keuangan (1949-1950), Gubernur Bank Sentran 
Indonesia (1951). 

Selain itu, yang tak kalah penting dari semua jasanya, sekaligus meneguhkannya dalam deretan pahlawan adalah kepemipinannya dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (Johan, 2014:158-159). 

Atas jasanya itu, tidak berlebihan jika Hatta dalam memoar atau otobiografinya pada akhir 1970-an menyebut beliau sebagai "Presiden Darurat". (Lukman, 2017: 70) Dengan demikian, ia layak disebut sebagai Presiden ke-2.

Melalui peristiwa bersejarah itu pula, tidak mengherankan jika pada tahun 2006, Presiden SBY melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 28 Tahun 2006, menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara (Prof. Abd. Rahman, Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi, 2017:261) Hari istimewa yang biasa disingkat HBN itu merupakan peringatan deklarasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat pada tahun 19 Desember 1948.

Pemerintahan darurat ini berlangsung dari mulai 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949 yang kala itu dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara yang disebut juga dengan Kabinet Darurat. (Tim Media Pusindo, Pahlawan Indonesia, 2008: 152)
Kejadian itu bermula ketika Belanda melakukan Agresi Militer II (19 Desember 1949). Karena itulah, Soekarno-Hatta mengirimkan telegram yang intinya memandatkan kepada Pak Syafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra.

Mengapa Syafruddin yang dipilih untuk mengemban amanah besar itu? Menurut Mohammad Hatta, Syafruddin dipilih karena ia adalah anggota Kabinet yang paling cakap dan paling cepat bergerak. Di sisi lain, usianya waktu itu masih relatif muda, yaitu: 37 tahun dengan jabatan dan tanggung jawab yang mesti diembannya (Ajib Rosidi, 2011: 177)

Kiprah Syafruddin yang dijadikan sebagai Hari Bela Negara itu, minimal bisa membuka mata publik bahwa peran umat Islam dalam perjuangan di Republik Indonesia sangat signifikan. Di saat genting apapun, mereka siap berjuang untuk bangsa dan negaranya walaupun taruhannya adalah harta bahkan jiwa mereka.

Pada waktu bersamaan, jangan pernah meragukan nasionalisme, kecintaan, kesetiaan dan pembelaan umat Islam kepada bangsa dan negara Indonesia. Apa yang dilakukan Syafruddin –serta pejuang muslim lainnya—adalah contoh konkret bahwa cinta mereka kepada Indonesia begitu tulus-ikhlas, bukan mencari popularitas.

Perjuangan mereka tak terbatas pada retorika indah dan ide-ide besar, namun semuanya dibuktikan dengan aksi dan perbuatan. Maka sangat wajar kalau pada Selasa, 8 November 2011, beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Mengenai kepahlawannya, Prof. Dr. Salim Sa’id, Pengamat Militer sampai berujar, “Pak Syaf pantas jadi pahlawan nasional karena beliau pejuang yang sesungguhnya.”

Untuk umat Islam pada umumnya, peristiwa historis itu memberikan motivasi besar agar tidak minder dan merasa kecil, karena di sepanjang sejarah Indonesia, peran-peran pendahulu mereka sangat besar. Jangan lagi mau menjadi pendorong mobil mogok yang dijadikan tambal butuh kepentingan penguasa, namun bisa menjadi katalisator dan palaku aktif sejarah yang bisa membuat perubahan positif bagi bangsa laksana Syafruddin dan kawan-kawan.

Hal lain yang tak kalah mengharukan dari kepahlawanan Syafruddin –demikian juga pahlawan muslim secara umum—betapapun tinggi jabatan mereka, itu tidak dijadikan “aji mumpung” untuk melanggengkan kekuasaan atau menumpuk harta. Hidup mereka sederhana, dalam Islam adalah istilah zuhud. Bayangkan! Syafruddin waktu menjadi Menteri Keuangan, pernah tak mampu membelikan gurita (semacam popok) buat anaknya (Akmal, 2011: 27) 

Terbukti, ketika kondisi sudah mulai stabil, dengan mudah ia menyerahkan jabatan itu. Soekarno pun kembali menjadi presiden. Padahal, kalau mau menuruti ego, bisa saja ia tak melepas jabatan itu. Hal itu tidak pernah terjadi. Baginya kemaslahatan bangsa dan negara jauh lebih penting daripada sekadar jabatan sementara yang tak kan dibawa ke alam baka.

Dalam perjuangannya beliau tidak pernah takut kepada apapun selain Allah. Menurut A.M. Fatwa beliau adalah sosok yang tak segan dalam mendukung kebenaran, namun di waktu yang sama juga tak takut mengoreksi yang salah (Ajib Rosidi, 2011: 8) Sebagai pamungkas, kata-kata beliau bisa menjadi renungan, “Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tapi takutlah kepada Allah.”

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan