DI
nusantara, paling tidak ada dua ulama yang tercatat pernah mengharamkan
permainan sepak bola. Pertama, Dr. H. Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka. Kedua, Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Dalam
buku berjudul “Ajahku” (1958: 113), Hamka mencatat bahwa pada suatu hari ada
murid-muridnya yang mendirikan satu perkumpulan sepak bola. Saat itu, bukan
main murka beliau mendengar perkumpulan itu didirikan.
Dalam
suatu pertemuan ramai, murid-murid yang bermain bola dicela dengan begitu
keras. Ini karena, tradisi main bola pada tahun 1922, masih bermain kasar,
mengadu kaki dan tak jarang terjadi perkelahian di lapangan menggunakan kayu.
Dengan
alasan demikian beliau menghukumi permainan sepak bola haram. Para murid pun
sulit membantahnya karena beliau mengultimatum jika ada yang tetap nekat
bermain bola, maka silakan tinggalkan madrasah.
Buku
edisi pahlawan muslim terbitan Gramedia susunan tim majalah Tempo berjudul “Daud
Beureueh: Pejuang Kemerdekaan yang Berontak” (2016: 39) sedikit mengulas
tentang ulama asal Aceh ini dengan sepak bola.
Mansur
Ismail, bekas sekretaris dan ajudan Daud Beureueh pernah bercerita bahwa “Abu,”
panggilnya, “tidak tidak senang sepak bola.” Alasannya, ulama-ulama tradisional
Aceh dulu menganggap permainan sepak bola mengingatkan otang akan nasib tragis
Husain.
Cucu
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam itu dipenggal kepalanya di padang
Karbala oleh Muawiyah. Kemudian kepalanya ditendang-tendang di tanah.
Bila
diperhatikan alasan pengharaman sepak bola oleh dua ulama karismatik itu bukan
karena sebatas permainannya, tapi faktor eksternal yang membuat permainan bola yang asalnya mubah menjadi haram.
Abdul Karim Amrullah
melihat bahwa sepak bola haram karena pada realitanya selain digunakan untuk
berjudu atau taruhan juga menjadi media untuk perkelahian. Maka, bisa jadi
pengharaman ini berasal dari kaidah setiap yang mengantarkan pada yang haram
maka hukumnya haram.
Sementara Daud Beureueh
melihat dari sisi historis –meski perlu dilacak juga kebenarannya—bahwa mulanya
sepak bola berasal dari kepala Husain yang ditendang-tendang oleh pasukan
Muawiyah di Karbala.
Mau tidak mau, ketika
melihat sepak bola, dirinya diingatkan kembali kepada peristiwa kelam sejarah
itu yang menjadikan kepala cucu Nabi sebagai mainan sepak bola. Dari sisi itulah
beliau konon mengharamkan sepak bola.
Dengan demikian, wallahu a’lam, ketika dua unsur itu tidak terpenuhi dalam permainan sepak bola, maka hukum sepak bola bisa jadi di mata beliau-beliau kembali kepada hukum asalnya, yaitu: mubah.
Pertanyaannya sekarang,
apakah sepak bola, hingga detik ini bisa dijamin bersih dari perjudian, taruhan
dan perkelahian? Kemudian, pertanyaan yang lebih menohok, bila
ditimbang-timbang, permainan ini lebih banyak mana antara mudharat dan
manfaatnya?
Mungkin para pecinta dan
pemain sepak bola –termasuk penulis—perlu mengadakan penelitian serius untuk
menganalisis permainan yang paling digemari di jagad dunia ini. Sehingga, kalau
pun main, bukan karena ikut arus atau bahkan melakukan pelanggaran syariat,
tapi dalam batas-batas wajar kemubahan olah raga.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !