Home » » Mengenang Kisah Ustadz Hud dan Abahnya

Mengenang Kisah Ustadz Hud dan Abahnya

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 17 Agustus 2019 | 10.49

SAAT nyantri di Persis Bangil 1999, saya sempat melihat dan merasakan secara langsung profil dari ustadz Hud. Ayah saya, juga pernah bertamu ke rumah beliau yang berada di samping pesantren Persis Putra dan pernah mengikuti kajiannya di Masjid Manarul Islam.

Kesan yang saya dapat kala itu, beliau sosok ustadz yang bersahaja, low profile, murah senyum dan amat bersahabat. Saya dengar dari ayah saya, saat ke rumahnya disambut dengan hangat. Tidak lama saya di Bangil, tapi kesan tentang beliau masih terngiang hingga sekarang. Makanya, saat mendengar wafatnya beliau pada tahun 2001 (Jum’at, 14 September) saat memenuhi undangan dakwah, saya sempat kaget dan menyesal karena belum sempat lebih lama mengambil mutiara ilmu dari beliau.
Adapun Abdullah Musa, beliau hanya saya kenal lewat tulisan. Kebetulan, ayah saya berlangganan majalah Al-Muslimun, jadi sering membaca tentang nama Abdullah Musa. Selebihnya, hanya tahu kalau beliau adalah ayah dari Ustadz Hud.
*****
Ada kisah menarik antara Ustadz Hud dengan ayahnya ini. Pada majalah Al-Muslimun edisi 121 (April 1980), ada cerita yang ditulis oleh Ustadz Abu Zuhra (teman dari Abdullah Musa). Tulisan itu bertajuk “Kawan Majlisku Yang Berhati Besar Abdullah Musa”.
Di situ dijelaskan bahwa Abdullah Musa, meski hanya mengenyam sekolah SR di Al-Irsyard Surabaya, tapi jiwanya penuh dengan cita-cita sampai kadang-kadang cita-cita itu melebihi potensinya. Satu lagi, intuisi beliau sangat tajam.

Contohnya, beliau tidak pandai berbahasa Arab, dengan intuisinya dia merasakan maknanya begini dan begini, anehnya memang sesuai. Pernah saat ke Depag dan DDII pusat beliau disuruh memilih buku berbahasa Arab untuk dibawa ke Perpustakaan Al-Muslimun. Menariknya, buku-buku yang dibawa berdasarkan instuisi itu sangat bermutu.
Wataknya amat keras dan sedikit emosional, namun beliau sangat teguh dalam mempertahankan kebenaran dan amat cepat rujuk jika memang dia melakukan kesalahan. Hal itu pernah diketahui oleh Ustadz Abu Zuhra.
Alkisah, beliau hendak mengajar kitab kepada Hud, namun kala itu anak muda itu menolak lantaran kelelahan sepulang dari long march ke Batu, menyertai rombongan PII. Dimarahilah Hud didepan orang banyak. Sempat terjadi perdebatan kecil dan sang ayah kalah. Akhirnya, Abdullah Musa naik pitam, putranya pun diusir dari rumah sambil dikutuk.
Didekatilah Abdullah Musa oleh Abu Zuhroh dan dijelaskan kepadanya bahwa apa yang dia lakukan salah dalam Islam. Ia pun insaf dan mengakui kesalahannya. Giliran Hud yang perlu dibujuk agar mau kembali ke rumah. Singkat cerita akhirnya anak itu bisa dibujuk pulang. Ketika ketemu, keduanya saling minta maaf sambil matanya berkaca-kaca.
Lain halnya jika pendapatnya benar, ia pantang diam. Kata Ustadz Abu Zuhra, pernah beliau pergi ke Jakarta hanya untuk menyampaikan isi hatinya kepada pemimpin-pemimpin muslim karena dirasa salah dan terlalu lembek dan tidak konsisten; mereka pun mengakuinya. Bahkan, menjelang kematiannya, setelah Jum’at beliau sempat melabrak khatib yang terlalu berlebihan dalam menjelaskan ayat taat kepada pemimpin.
Sepulang dari shalat Jum’at, beliau jatuh sakit, dan akhirnya meninggal dunia bertepatan pada tanggal 7 Desember 1973 jam 19.10. Rahimahumallah rahmatan wa’saiah. Semoga keduanya dilimpahi rahmat dan tradisi jurnalistik serta dakwah keduanya bisa diteladani oleh generasi setelahnya.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan