Diktak Matkul Filsafat di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar |
P |
Saat penulis masih studi di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, tahun
kedua (2007), ada buku diktat menarik yang --di antara bahasannya-- menyinggung
persoalan ini berjudul "Diraasaat fii al-Fasafah" (2007: 75-83) karya
Dr. Sami Afifi Hijazi dan Dr. Jamaluddin Husain Afifi, Profesor dan Dosen
Filsafat dari Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah
Filsafat. Di dalamnya, secara komprehensif diulas berbagai kritik ini dan
memberikan sanggahan yang mencerahkan.
Buku ini mengidentifikasi beberapa kritik utama yang kerap
dilontarkan terhadap filsafat, yang kemudian disanggah dengan argumen yang
kokoh:` Berikut adalah urutan kritik terhadap filsafat sebagaimana disajikan
dalam buku tersebut, beserta sanggahan yang menyertainya:
Pertama, Kritik: Filsafat dianggap tidak bermanfaat dan mandul. Kritik ini menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu teoretis yang
tidak memiliki dimensi praktis, sehingga tidak melayani kemanusiaan sama
sekali. Bagi ilmu alam, filsafat dianggap "sebuah pencarian yang
mandul", karena filsafat pada dasarnya berupaya memahami dunia, sementara
sains berusaha mengubahnya.
Perbandingan antara pencapaian ilmu eksperimental dan pencapaian
filsafat adalah "perbandingan yang tidak adil". Filsafat adalah
bidang yang di dalamnya ia mencapai kemajuan dan merealisasikan apa yang tidak
dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan. Tidaklah objektif menilai ilmu
eksperimental sebagai tidak berdaya atau tidak berguna karena ia tidak melayani
manusia dalam menganalisis "seluk-beluk jiwa manusia", menjelaskan
"dasar-dasar keyakinannya", mengatasi "penyakit
pemikirannya", menetapkan "aturan untuk pemikiran ini", dan
menjawab "berbagai pertanyaannya tentang alam semesta, manusia, serta
hakikat hubungan di antara keduanya dari segi asal-usul dan tujuan". Ini
adalah kesalahpahaman tentang sifat filsafat dan hubungannya dengan ilmu-ilmu
lain.
Kedua, Filsafat membahas banyak masalah metafisika yang tidak
berkaitan dengan realitas dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah. Kritik ini menyatakan bahwa masalah-masalah metafisika yang dibahas
filsafat tidak memiliki kaitan langsung dengan kenyataan dan keabsahannya tidak
dapat dipastikan melalui metode ilmiah apa pun.
Namun, harus jelas dalam benak bahwa "masalah-masalah ini
adalah masalah mendesak bagi manusia" yang tidak dapat ia hindari. Ilmu
pengetahuan pun "tidak dapat mengatasinya dengan sarana dan
standarnya". Jika ilmu tidak mampu mengatasi masalah-masalah ini, lalu apa
yang harus dilakukan manusia ketika masalah tersebut terus-menerus mendesak
pikirannya dan menyebabkan kecemasan berkelanjutan? Apakah lebih baik
membiarkannya menderita kecemasan, atau menunjukkan kepadanya bidang di mana ia
dapat menemukan solusi untuk masalah-masalah ini, yaitu bidang filsafat? Lebih
baik bagi individu dan masyarakat untuk berpaling kepada filsafat, dengan
harapan ia dapat menemukan apa yang menghilangkan kecemasan dan mengembalikan
ketenangan kepadanya.
Ketiga, Filsafat hanyalah pernyataan kontradiktif dan mazhab-mazhab
yang beragam dan saling bertentangan. Kritik
ini menyebutkan bahwa sejarah filsafat adalah "arena pertempuran besar
antara para penganut mazhab filsafat", di mana setiap mazhab mencoba
membantah mazhab lain atau yang sebelumnya.
Sebagai tanggapan, "banyaknya mazhab filsafat bukanlah hal
yang aneh" karena "masalah-masalah yang diteliti oleh para filsuf
bersifat multi-aspek dan kita tidak dapat mencapai solusi akhir di
dalamnya". Apa yang dianggap sebagian orang sebagai konflik antara
mazhab-mazhab filsafat, sesungguhnya "bukanlah konflik melainkan jenis
integrasi" di antara mazhab-mazhab ini, karena "setiap mazhab
merupakan bagian dari kebenaran".
Filsafat-filsafat tidak saling memusnahkan; misalnya, filsafat
Aristoteles tidak memusnahkan filsafat Plato. Sebaliknya, keduanya menjadi
filsafat yang berdiri sendiri. Perbedaan antara mazhab-mazhab filsafat adalah
"ciri utama dari pemikiran manusia" dan ini tidak menghancurkan
filsafat, bahkan teori-teori ilmiah pun bisa berbeda. Ini menunjukkan bahwa
hubungan antara mazhab-mazhab filsafat "bukanlah hubungan konflik,
melainkan hubungan keragaman dan variasi dalam pencarian kebenaran".
Keempat, Filsafat mengklaim ide-idenya mutlak atau dogmatis,
padahal kebenaran hanya dicapai lewat pengalaman praktis. Para penentang filsafat berpendapat bahwa filsafat mengklaim
pemikiran-pemikirannya adalah mutlak dan oleh karena itu bersifat dogmatis.
Filsafat mengklaim mendasarkan penilaiannya pada akal murni, padahal
satu-satunya cara efektif menuju kebenaran adalah melalui eksperimen praktis.
Untuk menanggapi kritik ini, perlu diketahui bahwa filsafat
"tidak perlu bersifat mutlak". Meskipun benar bahwa beberapa mazhab
filsafat bersifat dogmatis, ilmu pengetahuan, di sisi lain, "hanya
menggunakan hipotesis" dan "selalu berusaha memverifikasinya melalui
eksperimen dan observasi", sehingga "membuka jalan bagi koreksi
berkelanjutan dan pertumbuhan yang stabil".
Karena para filsuf adalah satu-satunya yang berpikir tentang segala sesuatu dengan cara paling rasional, mereka "dapat menggunakan metode apa pun". Filsafat "harus melengkapi ilmu-ilmu" dan "mengintegrasikan metodenya dengan bebas". William James mengatakan: "Kita tidak tahu mengapa filsafat tidak harus mengikuti kebijakan ini dan mengakhiri semua dogmatisme secara definitif, dan menjadi filsafat hipotesis dalam metodenya, seperti ilmu-ilmu eksperimental terketat sekalipun".
Kelima, Filsafat hidup di dunia abstrak, terpisah dari kehidupan
nyata dan pengalamannya. Kritik ini
menyatakan bahwa filsafat "hidup di dunia abstraksi, menjauh dari
kehidupan nyata dan segala pengalamannya yang menyenangkan atau
menyakitkan". Mereka yang melontarkan tuduhan ini berpendapat bahwa para
filsuf seringkali berlebihan dalam menguasai realitas, tenggelam dalam
penerbangan imajinasi, dan terlalu banyak berabstraksi.
Meskipun beberapa sistem filsafat memang menjauh dari realitas dan
berlebihan dalam abstraksi, "ini tidak berlaku untuk seluruh
filsafat", bahkan seharusnya tidak demikian. Seorang filsuf "harus
terhubung dengan realitas". Berfilsafat menuntut "dua gerakan
pemikiran yang saling terkait": satu gerakan di mana pikiran kembali pada
dirinya sendiri dalam semacam isolasi mental untuk mengasah kekuatannya, dan
gerakan lain di mana ia keluar ke realitas untuk memahaminya. Filsuf tidak boleh
menjauh sepenuhnya dari realitas dan hidup dalam keterasingan total darinya. Ia
adalah manusia yang ada di dunia sekitarnya, dan keberadaannya terkait dengan
dunia benda dan individu, sehingga ia harus berinteraksi dengan kedua dunia
tersebut, memengaruhi dan dipengaruhi.
Keenam, Filsafat sulit dipahami dan dicerna. Kritik ini menyatakan bahwa filsafat sulit dipahami karena para
filsuf menggunakan "kata-kata dan frasa yang samar, ambigu, dan tidak
jelas maknanya". Pembaca teks filosofis seringkali menemukan sesuatu yang
menyerupai simbol, dan beberapa frasa menjadi teks yang tidak memberikan
pemahaman yang jelas dan bermanfaat. Kesulitan ini diperparah oleh
"penyebaran makna dan definisi rasional", yang pada akhirnya
"menyebabkan kesulitan dan ketidakmampuan untuk memahami teks
filosofis".
Kritik ini "tidak sepenuhnya salah". Namun, teks
filosofis secara alami berbeda dari teks sastra atau ilmiah, karena
"filsafat adalah hasil pemikiran rasional murni". Pemikiran semacam
ini secara alami "sulit untuk diungkapkan dalam bahasa yang sederhana dan
mudah", karena pembaca perlu "memahami latar belakang budaya"
penulis teks tersebut untuk memahami implikasi dan makna spesifik dari
istilah-istilah.
Oleh karena itu, masalah ini "membutuhkan studi yang
panjang". Pembaca filsafat harus melewati tahap kesulitan ini, namun
dengan "ketekunan yang lebih besar untuk memahami" dan
"keterikatan intelektual dan linguistik yang lebih mendalam" dengan
teks filosofis, ia akan dapat membacanya dengan pemahaman, kesadaran, dan
kemahiran yang bervariasi sesuai dengan tingkat keterikatan dan usaha yang
dikeluarkan. Dalam hal ini, filsafat sama seperti ilmu lainnya, yang akan
terasa sulit jika pembaca tidak memiliki pengalaman panjang dalam membacanya.
Ketujuh, Filsafat mengandung bahaya bagi agama dan akidah. Kritik ini mengklaim bahwa filsafat seringkali "menyebabkan
goyahnya iman dalam jiwa" dan "menabur benih keraguan dan
ateisme". Beberapa filsuf, seperti Marx dan Sartre, disebutkan sebagai
contoh yang menyangkal keilahian. Sikap Imam Al-Ghazali terhadap filsafat dan
para filsuf juga dijadikan rujukan, di mana ia berpendapat bahwa filsafat dapat
mengeluarkan manusia dari agama, dan para filsuf, meskipun beragam, dicap
sebagai kafir dan ateis.
Dalam diskusi mengenai tuduhan ini, ditegaskan dalam buku bahwa
"hal ini tidak sepenuhnya benar". "Esensi sejati dari jiwa
filsafat" — yang dapat kita ambil inspirasi darinya — "mencari
kebenaran, kebaikan, dan keindahan", nilai-nilai yang juga diusung dan
didukung oleh agama-agama samawi. Meskipun ada filsuf ateis, "tidak ada
korelasi mutlak antara jiwa filsafat yang benar dan ateisme".
"Kebenaran itu tunggal", dan filsafat dapat menjadi "salah satu
jalan yang mengarah padanya jika ia berpegang pada penalaran yang benar",
karena akal manusia adalah "nikmat terbesar Allah".
Akal, jika diterangi oleh iman dan mengikuti penalaran yang lurus,
dapat mencapai kebenaran. Oleh karena itu, "ateisme sebagian filsuf
bukanlah hasil alami dari berfilsafat", melainkan buah dari "metode
berfilsafat tertentu yang dihasilkan oleh kebebasan palsu". Seorang filsuf
ateis mungkin menyangkal Tuhan, namun sesungguhnya "ia mendewakan prinsip
atau entitas lain".
Pada akhirnya, filsafat merupakan upaya fundamental untuk
"memperluas cakrawala kehidupan di hadapan manusia". Ia adalah
disiplin ilmu yang memungkinkan kita memahami "sampai sejauh mana
kehidupan membentang, baik sebelum kelahiran maupun setelah kematian".
Melalui filsafat, seseorang dapat menjelajahi berbagai zaman, pemikiran, dan
pengalaman seolah-olah hidup berkali-kali, "menambah kedalaman hidup ini
dari sisi pemahaman".
Filsafat membekali kita dengan kemampuan untuk menganalisis
"kedalaman jiwa manusia dan dasar-dasar kreasi," sesuatu yang tidak
bisa dijangkau oleh sains eksperimental semata. Ia adalah "sumber dan
rujukan utama bagi eksistensi manusia dan problem-problemnya". Oleh karena
itu, filsafat tetap menjadi inti dalam membentuk individu yang bukan hanya
cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana, beretika, dan mampu menemukan
makna di tengah kompleksitas dunia.
Mempertahankan dan mengembangkan filsafat berarti mempertahankan kemampuan dasar manusia untuk berpikir, mempertanyakan, dan memahami esensi kehidupan secara mendalam. Filsafat mengajarkan kita untuk mencari kebenaran, bukan sekadar menerima begitu saja, dan pada akhirnya, membimbing jiwa menuju ketenangan dan keyakinan. Wallahu a'lam. (MB. Setiawan)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !