Home » » Menegaskan Relevansi Filsafat bagi Kehidupan Manusia Kontemporer

Menegaskan Relevansi Filsafat bagi Kehidupan Manusia Kontemporer

Written By Amoe Hirata on Selasa, 22 Juli 2025 | 15.04

Diktak Matkul Filsafat di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar

P

erdebatan mengenai relevansi filsafat bukanlah hal baru. Sepanjang sejarah, disiplin ilmu yang fundamental ini senantiasa dihadapkan pada berbagai kritik dan pertanyaan mendasar terkait fungsi serta eksistensinya. Untuk memahami kompleksitas perdebatan ini, penting untuk menelaah kembali argumentasi yang telah lama dibahas oleh para pemikir

Saat penulis masih studi di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, tahun kedua (2007), ada buku diktat menarik yang --di antara bahasannya-- menyinggung persoalan ini berjudul "Diraasaat fii al-Fasafah" (2007: 75-83) karya Dr. Sami Afifi Hijazi dan Dr. Jamaluddin Husain Afifi, Profesor dan Dosen Filsafat dari Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah Filsafat. Di dalamnya, secara komprehensif diulas berbagai kritik ini dan memberikan sanggahan yang mencerahkan.

Buku ini mengidentifikasi beberapa kritik utama yang kerap dilontarkan terhadap filsafat, yang kemudian disanggah dengan argumen yang kokoh:` Berikut adalah urutan kritik terhadap filsafat sebagaimana disajikan dalam buku tersebut, beserta sanggahan yang menyertainya:

Pertama, Kritik: Filsafat dianggap tidak bermanfaat dan mandul. Kritik ini menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu teoretis yang tidak memiliki dimensi praktis, sehingga tidak melayani kemanusiaan sama sekali. Bagi ilmu alam, filsafat dianggap "sebuah pencarian yang mandul", karena filsafat pada dasarnya berupaya memahami dunia, sementara sains berusaha mengubahnya.

Perbandingan antara pencapaian ilmu eksperimental dan pencapaian filsafat adalah "perbandingan yang tidak adil". Filsafat adalah bidang yang di dalamnya ia mencapai kemajuan dan merealisasikan apa yang tidak dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan. Tidaklah objektif menilai ilmu eksperimental sebagai tidak berdaya atau tidak berguna karena ia tidak melayani manusia dalam menganalisis "seluk-beluk jiwa manusia", menjelaskan "dasar-dasar keyakinannya", mengatasi "penyakit pemikirannya", menetapkan "aturan untuk pemikiran ini", dan menjawab "berbagai pertanyaannya tentang alam semesta, manusia, serta hakikat hubungan di antara keduanya dari segi asal-usul dan tujuan". Ini adalah kesalahpahaman tentang sifat filsafat dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lain.

Kedua, Filsafat membahas banyak masalah metafisika yang tidak berkaitan dengan realitas dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah. Kritik ini menyatakan bahwa masalah-masalah metafisika yang dibahas filsafat tidak memiliki kaitan langsung dengan kenyataan dan keabsahannya tidak dapat dipastikan melalui metode ilmiah apa pun.

Namun, harus jelas dalam benak bahwa "masalah-masalah ini adalah masalah mendesak bagi manusia" yang tidak dapat ia hindari. Ilmu pengetahuan pun "tidak dapat mengatasinya dengan sarana dan standarnya". Jika ilmu tidak mampu mengatasi masalah-masalah ini, lalu apa yang harus dilakukan manusia ketika masalah tersebut terus-menerus mendesak pikirannya dan menyebabkan kecemasan berkelanjutan? Apakah lebih baik membiarkannya menderita kecemasan, atau menunjukkan kepadanya bidang di mana ia dapat menemukan solusi untuk masalah-masalah ini, yaitu bidang filsafat? Lebih baik bagi individu dan masyarakat untuk berpaling kepada filsafat, dengan harapan ia dapat menemukan apa yang menghilangkan kecemasan dan mengembalikan ketenangan kepadanya.

Ketiga, Filsafat hanyalah pernyataan kontradiktif dan mazhab-mazhab yang beragam dan saling bertentangan. Kritik ini menyebutkan bahwa sejarah filsafat adalah "arena pertempuran besar antara para penganut mazhab filsafat", di mana setiap mazhab mencoba membantah mazhab lain atau yang sebelumnya.

Sebagai tanggapan, "banyaknya mazhab filsafat bukanlah hal yang aneh" karena "masalah-masalah yang diteliti oleh para filsuf bersifat multi-aspek dan kita tidak dapat mencapai solusi akhir di dalamnya". Apa yang dianggap sebagian orang sebagai konflik antara mazhab-mazhab filsafat, sesungguhnya "bukanlah konflik melainkan jenis integrasi" di antara mazhab-mazhab ini, karena "setiap mazhab merupakan bagian dari kebenaran".

Filsafat-filsafat tidak saling memusnahkan; misalnya, filsafat Aristoteles tidak memusnahkan filsafat Plato. Sebaliknya, keduanya menjadi filsafat yang berdiri sendiri. Perbedaan antara mazhab-mazhab filsafat adalah "ciri utama dari pemikiran manusia" dan ini tidak menghancurkan filsafat, bahkan teori-teori ilmiah pun bisa berbeda. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara mazhab-mazhab filsafat "bukanlah hubungan konflik, melainkan hubungan keragaman dan variasi dalam pencarian kebenaran".

Keempat, Filsafat mengklaim ide-idenya mutlak atau dogmatis, padahal kebenaran hanya dicapai lewat pengalaman praktis. Para penentang filsafat berpendapat bahwa filsafat mengklaim pemikiran-pemikirannya adalah mutlak dan oleh karena itu bersifat dogmatis. Filsafat mengklaim mendasarkan penilaiannya pada akal murni, padahal satu-satunya cara efektif menuju kebenaran adalah melalui eksperimen praktis.

Untuk menanggapi kritik ini, perlu diketahui bahwa filsafat "tidak perlu bersifat mutlak". Meskipun benar bahwa beberapa mazhab filsafat bersifat dogmatis, ilmu pengetahuan, di sisi lain, "hanya menggunakan hipotesis" dan "selalu berusaha memverifikasinya melalui eksperimen dan observasi", sehingga "membuka jalan bagi koreksi berkelanjutan dan pertumbuhan yang stabil".

Karena para filsuf adalah satu-satunya yang berpikir tentang segala sesuatu dengan cara paling rasional, mereka "dapat menggunakan metode apa pun". Filsafat "harus melengkapi ilmu-ilmu" dan "mengintegrasikan metodenya dengan bebas". William James mengatakan: "Kita tidak tahu mengapa filsafat tidak harus mengikuti kebijakan ini dan mengakhiri semua dogmatisme secara definitif, dan menjadi filsafat hipotesis dalam metodenya, seperti ilmu-ilmu eksperimental terketat sekalipun".

Kelima, Filsafat hidup di dunia abstrak, terpisah dari kehidupan nyata dan pengalamannya. Kritik ini menyatakan bahwa filsafat "hidup di dunia abstraksi, menjauh dari kehidupan nyata dan segala pengalamannya yang menyenangkan atau menyakitkan". Mereka yang melontarkan tuduhan ini berpendapat bahwa para filsuf seringkali berlebihan dalam menguasai realitas, tenggelam dalam penerbangan imajinasi, dan terlalu banyak berabstraksi.

Meskipun beberapa sistem filsafat memang menjauh dari realitas dan berlebihan dalam abstraksi, "ini tidak berlaku untuk seluruh filsafat", bahkan seharusnya tidak demikian. Seorang filsuf "harus terhubung dengan realitas". Berfilsafat menuntut "dua gerakan pemikiran yang saling terkait": satu gerakan di mana pikiran kembali pada dirinya sendiri dalam semacam isolasi mental untuk mengasah kekuatannya, dan gerakan lain di mana ia keluar ke realitas untuk memahaminya. Filsuf tidak boleh menjauh sepenuhnya dari realitas dan hidup dalam keterasingan total darinya. Ia adalah manusia yang ada di dunia sekitarnya, dan keberadaannya terkait dengan dunia benda dan individu, sehingga ia harus berinteraksi dengan kedua dunia tersebut, memengaruhi dan dipengaruhi.

Keenam, Filsafat sulit dipahami dan dicerna. Kritik ini menyatakan bahwa filsafat sulit dipahami karena para filsuf menggunakan "kata-kata dan frasa yang samar, ambigu, dan tidak jelas maknanya". Pembaca teks filosofis seringkali menemukan sesuatu yang menyerupai simbol, dan beberapa frasa menjadi teks yang tidak memberikan pemahaman yang jelas dan bermanfaat. Kesulitan ini diperparah oleh "penyebaran makna dan definisi rasional", yang pada akhirnya "menyebabkan kesulitan dan ketidakmampuan untuk memahami teks filosofis".

Kritik ini "tidak sepenuhnya salah". Namun, teks filosofis secara alami berbeda dari teks sastra atau ilmiah, karena "filsafat adalah hasil pemikiran rasional murni". Pemikiran semacam ini secara alami "sulit untuk diungkapkan dalam bahasa yang sederhana dan mudah", karena pembaca perlu "memahami latar belakang budaya" penulis teks tersebut untuk memahami implikasi dan makna spesifik dari istilah-istilah.

Oleh karena itu, masalah ini "membutuhkan studi yang panjang". Pembaca filsafat harus melewati tahap kesulitan ini, namun dengan "ketekunan yang lebih besar untuk memahami" dan "keterikatan intelektual dan linguistik yang lebih mendalam" dengan teks filosofis, ia akan dapat membacanya dengan pemahaman, kesadaran, dan kemahiran yang bervariasi sesuai dengan tingkat keterikatan dan usaha yang dikeluarkan. Dalam hal ini, filsafat sama seperti ilmu lainnya, yang akan terasa sulit jika pembaca tidak memiliki pengalaman panjang dalam membacanya.

Ketujuh, Filsafat mengandung bahaya bagi agama dan akidah. Kritik ini mengklaim bahwa filsafat seringkali "menyebabkan goyahnya iman dalam jiwa" dan "menabur benih keraguan dan ateisme". Beberapa filsuf, seperti Marx dan Sartre, disebutkan sebagai contoh yang menyangkal keilahian. Sikap Imam Al-Ghazali terhadap filsafat dan para filsuf juga dijadikan rujukan, di mana ia berpendapat bahwa filsafat dapat mengeluarkan manusia dari agama, dan para filsuf, meskipun beragam, dicap sebagai kafir dan ateis.

Dalam diskusi mengenai tuduhan ini, ditegaskan dalam buku bahwa "hal ini tidak sepenuhnya benar". "Esensi sejati dari jiwa filsafat" — yang dapat kita ambil inspirasi darinya — "mencari kebenaran, kebaikan, dan keindahan", nilai-nilai yang juga diusung dan didukung oleh agama-agama samawi. Meskipun ada filsuf ateis, "tidak ada korelasi mutlak antara jiwa filsafat yang benar dan ateisme". "Kebenaran itu tunggal", dan filsafat dapat menjadi "salah satu jalan yang mengarah padanya jika ia berpegang pada penalaran yang benar", karena akal manusia adalah "nikmat terbesar Allah".

Akal, jika diterangi oleh iman dan mengikuti penalaran yang lurus, dapat mencapai kebenaran. Oleh karena itu, "ateisme sebagian filsuf bukanlah hasil alami dari berfilsafat", melainkan buah dari "metode berfilsafat tertentu yang dihasilkan oleh kebebasan palsu". Seorang filsuf ateis mungkin menyangkal Tuhan, namun sesungguhnya "ia mendewakan prinsip atau entitas lain".

Pada akhirnya, filsafat merupakan upaya fundamental untuk "memperluas cakrawala kehidupan di hadapan manusia". Ia adalah disiplin ilmu yang memungkinkan kita memahami "sampai sejauh mana kehidupan membentang, baik sebelum kelahiran maupun setelah kematian". Melalui filsafat, seseorang dapat menjelajahi berbagai zaman, pemikiran, dan pengalaman seolah-olah hidup berkali-kali, "menambah kedalaman hidup ini dari sisi pemahaman".

Filsafat membekali kita dengan kemampuan untuk menganalisis "kedalaman jiwa manusia dan dasar-dasar kreasi," sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh sains eksperimental semata. Ia adalah "sumber dan rujukan utama bagi eksistensi manusia dan problem-problemnya". Oleh karena itu, filsafat tetap menjadi inti dalam membentuk individu yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana, beretika, dan mampu menemukan makna di tengah kompleksitas dunia.

Mempertahankan dan mengembangkan filsafat berarti mempertahankan kemampuan dasar manusia untuk berpikir, mempertanyakan, dan memahami esensi kehidupan secara mendalam. Filsafat mengajarkan kita untuk mencari kebenaran, bukan sekadar menerima begitu saja, dan pada akhirnya, membimbing jiwa menuju ketenangan dan keyakinan. Wallahu a'lam. (MB. Setiawan)

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan