Home » » Agar Literasi Tak 'Rungkad': Belajar dari Pujangga Agung Abbas Aqqad

Agar Literasi Tak 'Rungkad': Belajar dari Pujangga Agung Abbas Aqqad

Written By Amoe Hirata on Senin, 21 Juli 2025 | 15.50

D

i Indonesia, budaya literasi belum begitu tinggi; bahkan bisa dibilang masih sangat rendah. Dalam buku berjudul "Bunga Rampai Literasi dan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial" (Fitri Mutia & Imam Yuadi, 2024: 207) dikemukakan fakta memprihatinkan: Menurut survei Program untuk Siswa Internasional Penilaian (PISA) oleh OECD, tingkat literasi Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 70 negara. Posisi ini menempatkannya dalam 10 negara terbawah dengan literasi rendah.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki tingkat literasi dan minat baca yang rendah, yang menjadi hambatan besar bagi upaya negara ini untuk berkembang menjadi negara maju (Novrizaldi, 2021). Kondisi ini diperparah dengan rata-rata waktu membaca harian orang Indonesia yang hanya 30-50 menit, kurang dari satu jam (Miftah et al, 2022). Membaca fakta semacam ini, hati turut prihatin, namun tidak bisa berhenti begitu saja tanpa memberi solusi.

Setidaknya, serendah-rendahnya minat baca, masih ada yang mau membaca dan menjaga literasi. Kepada angka yang sedikit itulah tulisan ini menemukan relevansinya. Penulis akan berbagi tips baca penuh manfaat, agar literasi makin lestari bukan sekadar cepat-cepatan dan banyak-banyakan baca tapi kurang kualitas pemahaman; sehingga, literasi bersanding dengan pemahaman mumpuni. Orang yang paham terhadap sesuatu, tentu beda dengan yang sekadar melantunkan tanpa arti dan penghayatan.

Bagaimana agar bacaan kita penuh manfaat? Penulis jadi teringat Filusuf dan Ilmuan asal Bumi Kinanah Mesir, Abbas Mahmud Al-Aqqad dalam buku "Ana" (Cet. II, 2005: 41) membagikan pengalamannya selama bersinggungan dengan literasi. Tulisnya:

أَنَّ كِتَابًا تَقْرَؤُهُ ثَلاثَ مَرَّاتٍ أَنْفَعُ مِنْ ثَلاثَةِ كُتُبٍ تَقْرَأُ كُلًّا مِنْهَا مَرَّةً وَاحِدَةً

"Bahwa satu kitab yang engkau baca tiga kali lebih bermanfaat daripada tiga kitab yang masing-masing engkau baca satu kali."

Berdasarkan pengalaman Aqqad, penulis serba bisa yang karyanya melamaui 100 buku, membaca bukanlah sekadar pemenuhan target kuantitas, tapi juga kualitas pemahaman yang terus dijaga. Baca berkali-kali meski satu buku; jauh lebih baik daripada membaca banyak buku tapi tanpa mutu: asal cepat, banyak dan tak berjejak.

Di halaman yang lain, Abbas Mahmud Aqqad mengajarkan motivasi agung di balik pembacaan buku yang bukan sekadar untuk membaca dan menulis. Paparnya:

كَلَّا.. لَسْتُ أَهْوَى الْقِرَاءَةَ لِأَكْتُبَ، وَلَا أَهْوَى الْقِرَاءَةَ لِأَزْدَادَ عُمْرًا فِي تَقْدِيرِ الْحِسَابِ. وَإِنَّمَا أَهْوَى الْقِرَاءَةَ لِأَنَّ عِنْدِي حَيَاةً وَاحِدَةً فِي هَذِهِ الدُّنْيَا، وَحَيَاةٌ وَاحِدَةٌ لَا تَكْفِينِي، وَلَا تُحَرِّكُ كُلَّ مَا فِي ضَمِيرِي مِنْ بَوَاعِثِ الْحَرَكَةِ. وَالْقِرَاءَةُ دُونَ غَيْرِهَا هِيَ الَّتِي تُعْطِينِي أَكْثَرَ مِنْ حَيَاةٍ وَاحِدَةٍ فِي مَدَى عُمْرِ الْإِنْسَانِ الْوَاحِدِ، لِأَنَّهَا تَزِيدُ هَذِهِ الْحَيَاةَ مِنْ نَاحِيَةِ الْعُمْقِ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تُعْطِيهَا بِمَقَادِيرِ الْحِسَابِ.

"Sama sekali tidak.. Aku tidak mencintai membaca untuk (sekadar) menulis, dan tidak pula mencintai membaca untuk menambah umur dalam perhitungan (faktual). Melainkan aku mencintai membaca karena aku hanya memiliki satu kehidupan di dunia ini, dan satu kehidupan saja tidak cukup bagiku, serta tidak menggerakkan seluruh potensi dalam diriku dari pemicu-pemicu aksi. Dan membaca, tanpa yang lain (selain membaca), adalah yang memberiku lebih dari satu kehidupan dalam rentang umur satu manusia, karena ia (membaca) menambah kedalaman hidup ini dari sisi pemahaman, meskipun ia tidak memberinya (umur tambahan) dalam takaran hitungan (angka)."

Pernyataan ini merupakan ungkapan filosofis yang mendalam mengenai alasan di balik kecintaan seseorang terhadap membaca. Penulis menegaskan bahwa motivasinya membaca bukanlah sekadar untuk menghasilkan karya tulis atau demi memperpanjang usia secara harfiah. Sebaliknya, ada kesadaran mendasar bahwa satu kehidupan di dunia ini dirasa tidak cukup untuk memenuhi dahaga pengalaman, pengetahuan, dan untuk menggerakkan seluruh potensi serta dorongan yang ada di dalam jiwa.

Bagi penulis, membaca adalah jembatan utama yang memungkinkan seseorang mengalami lebih dari sekadar satu kehidupan. Meskipun secara faktual membaca tidak menambah jumlah tahun usia seseorang, ia memberikan dimensi kedalaman yang luar biasa pada kehidupan yang tunggal itu. Melalui membaca, seseorang dapat menyelami berbagai pemikiran, pengalaman, dan kebijaksanaan dari berbagai zaman dan budaya, seolah-olah ia hidup berkali-kali, sehingga memperkaya pemahaman akan eksistensi dan mengaktifkan seluruh daya intelektual dan spiritual dalam dirinya. Jadi motivasi sebelum membaca atau mengakses literasi apapun, sangat penting. 

Selain itu, menurut pengalaman Aqqad, perlu selektif dalam membaca, meskipun bukan berarti membatasi ragam bacaan. Ini membantu untuk fokus dalam membaca. Dalam catatannya:

هَلْ تَعْرِفُ أَنَّنِي أُفَضِّلُ قِرَاءَةَ كُتُبِ فَلْسَفَةِ الدِّينِ، وَكُتُبِ التَّارِيخِ الطَّبِيعِيِّ، وَتَرَاجُمِ الْعُظَمَاءِ، وَكُتُبِ الشِّعْرِ؟ إِنَّنِي أَقْرَأُ هَذِهِ الْكُتُبَ وَأَعْتَقِدُ أَنَّ الْعَلَاقَةَ بَيْنَهَا مَتِينَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ تَفْتَرِقُ فِي الظَّاهِرِ، لِأَنَّهَا تَرْجِعُ إِلَى تَوْسِيعِ أُفُقِ الْحَيَاةِ أَمَامَ الْإِنْسَانِ.. فَكُتُبُ فَلْسَفَةِ الدِّينِ تُبَيِّنُ إِلَى أَيِّ حَدٍّ تَمْتَدُّ الْحَيَاةُ قَبْلَ الْوِلَادَةِ وَبَعْدَ الْمَوْتِ، وَكُتُبُ التَّارِيخِ الطَّبِيعِيِّ تَبْحَثُ فِي أَشْكَالِ الْحَيَاةِ الْمُخْتَلِفَةِ وَأَنْوَاعِهَا الْمُتَعَدِّدَةِ، وَتَرَاجُمُ الْعُظَمَاءِ مَعْرِضٌ لِأَصْنَافٍ عَالِيَةٍ مِنَ الْحَيَاةِ الْقَوِيَّةِ الْبَارِزَةِ، وَالشِّعْرُ هُوَ تُرْجُمَانُ الْعَوَاطِفِ، فَإِنَّنِي أُفَضِّلُ مِنَ الْكُتُبِ كُلَّ مَا لَهُ مَسَاسٌ بِسِرِّ الْحَيَاةِ.

Tahukah engkau bahwa aku lebih memilih membaca buku-buku filsafat agama, buku-buku sejarah alam (dunia), biografi orang-orang hebat, dan buku-buku puisi? Sungguh, aku membaca buku-buku ini dan aku yakin bahwa hubungan di antara mereka sangat erat, meskipun secara lahiriah tampak berbeda, karena semuanya bertujuan untuk memperluas cakrawala kehidupan di hadapan manusia. Maka, buku-buku filsafat agama menjelaskan sampai sejauh mana kehidupan membentang, baik sebelum kelahiran maupun setelah kematian. Buku-buku sejarah alam membahas berbagai bentuk kehidupan dan beragam jenisnya. Biografi orang-orang hebat adalah pameran ragam kehidupan yang agung, kuat, dan menonjol. Dan puisi adalah penerjemah emosi. Maka, aku lebih memilih dari buku-buku itu semua yang memiliki kaitan dengan rahasia kehidupan.

Stetemen ini, secara gamblang menunjukkan bahwa membaca bukanlah sekadar aktivitas tanpa tujuan. Penulis menegaskan bahwa preferensinya dalam membaca sangat selektif dan terarah pada genre-genre tertentu: filsafat agama, sejarah alam, biografi tokoh besar, dan puisi. Pemilihan ini bukan tanpa alasan; baginya, setiap genre tersebut memiliki kontribusi unik dalam memperluas pemahaman tentang eksistensi, membentangkan cakrawala kehidupan melampaui batas fisik, menyelami keragaman makhluk, mengambil pelajaran dari sosok inspiratif, dan memahami kedalaman emosi manusia. Hal ini menggarisbawahi pentingnya membaca secara berkualitas ketimbang hanya kuantitas.

Dengan demikian, Al-Aqqad (atau penulis teks ini) memberikan contoh nyata bahwa membaca memang perlu selektif. Bukan sembarang baca, melainkan memilih bacaan yang relevan untuk memperdalam pemahaman tentang "rahasia kehidupan" dari berbagai dimensi: spiritual (filsafat agama), saintifik (sejarah alam), pengalaman manusia (biografi), dan emosional (puisi). Ini menjadi pengingat bahwa tujuan membaca seharusnya adalah untuk memperkaya batin dan intelektual, membangun pandangan dunia yang komprehensif, dan menggerakkan potensi diri, bukan sekadar mengisi waktu atau mengumpulkan informasi tanpa makna. Selektivitas ini menjadi kunci untuk mendapatkan manfaat maksimal dari setiap kata yang dibaca.

Pertanyaannya kemudian: Mengapa literasi bisa lesuh di Indonesia? Bisa jadi, karena tidak mengetahui seninya, termasuk dalam hal membaca. Bila buku adalah jendela ilmu, maka untuk mendapat manfaat ilmu, kuncinya adalah pemahaman, bukan asal selesai. Buat apa selesai kalau lalai? Untuk apa tuntas, jika tak membekas dalam sanubari dan pikiran.

Meski literasi tak melulu soal buku, tapi setidaknya, sebelum menulis, menganalisa, mengkritisi dan semacamnya, maka mau tidak mau harus mulai membaca. Nikmati bacaan seperti makanan nikmat; atau anggap sebagai kekasih tercinta, sebagaimana Bung Hatta, menurut cerita Rahmi --sang istri-- saking cintanya baca buku, disebutnya beristri tiga: dia sendiri, sajadah dan buku-bukunya (Tamar Djaja, Soekarno-Hatta, Persamaan dan Perbedaannya, 1981: 31). Salam literasi! Terus menghidupkannya selagi nyawa masih dikandung badan. Meminjam bahasa cakap anak muda: agar literasi tak rungkad. (By: Mahmud Budi Setiawan)

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan