“Banjaklah buku2 karangan beliau (Sjech Ahmad Hassan) dalam bahasa Indonesia, menjiarkan faham Islam dengan dasar Al-Qur’an dan Al-Hadist, memerangi taqlid dan mengandjurkan kebebasan berfikir, menolak bid'ah dan churafat dan membersihkan 'aqidah daripada pengaruh adjaran lain.” (Buya Hamka, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, 1958: 22).
ecintaan A. Hassan
terhadap Hadits, As-Sunnah begitu tinggi. Ini terbukti secara lisan dan tulisan
–sepanjang hayat-- beliau berusahan istiqamah untuk melestarikan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Ulama yang berjuluk Guru Utama Persis ini termasuk ulama ahli hadits yang mumpuni.
Tamar Djaja pernah memberi kesaksian: "Keahliannya dalam agama, terutama dalam llmu Hadits. Tetapi dalam vak-vak yang lain, A. Hassan tidak kurang keahliannya. Segala macam masalah agama, boleh hadapkan padanya dan dapat dijawabnya. Kalau saya katakan bahwa A. Hassan adalah ulama yang paling alim di seluruh Indonesia, mungkin dianggap terlalu dibesar-besarkan. Akan tetapi menurut ulama-ulama terbesar di Jawa yang saya tanyai, mengaku bahwa A. Hassan alim besar". (1980: 6)
Demikian juga dalam kitab biografi berbahasa Arab berjudul “Al-‘Alaam” (II/184) karya Az-Zirikli demikian juga dalam buku “Mu’jam al-Mufassirin” (1988: I/138) karya Adil Nuwaihidhi disebutkan keahlian beliau dalam bidang Hadits, di samping kepakaran di bidang lainnya:
وَكَانَ ضَلِيعًا فِي الْفِقْهِ وَالْحَدِيثِ.
“Dan beliau (A. Hassan) sangat ahli dalam ilmu fiqih dan hadits.” (Selesai Nukilan) Demikian juga dalam buku berjudul "Natsr al-Jawāhir wal-Durar fī 'Ulamā' al-Qarn al-Rābi' 'Ashar" (2006: I/274) karya Yusuf Al-Mar'asyli.
Sebagai tambahan, dalam buku A. Hassan Wajah dan Wijhah Seorang Mujtahid” (1985: 24) karya Endang Saifuddin Anshari dan Syafiq Mughni, A. Hassan bersama kawan-kawan seperjuangan sebagai bagian dari ulama yang menegakkan Al-Qur’an dan As-Sunnah di Indonesia.
Sepanjang hayatnya memang dikhidmatkan untuk Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan, ada cita-cita yang belum tercapai terkait khidmat untuk As-Sunnah. Jejak A. Hassan di bidang As-Sunnah juga dijadikan kajian berbagai akademisi. Sebagai contoh, buku berjudul "Perdebatan Penggunaan & Pemahaman Hadis di Indonesia: Pemikiran Ahmad Hassan & Siradjuddin Abbas." dan lain sebagainya.
Menariknya, beliau siap dikoreksi dan akan ruju’ jika ada pandangan-pandangannya bisa dibuktikan tidak sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Soal Jawab (I/631) beliau pernah menulis, “Kami bersedia akan ruju’ kalau terbukti pendapat kami ini salah atau kurang baik.” Artinya, jika salah dan tak sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, beliau siap mengoreksi kesalahan.
Lebih jauh untuk mengetahui perhatian beliau terhadap As-Sunnah, mari kita simak cerita Nawawi Dusky --salah seorang penulis di majalah Hikmah-- yang berkunjung langsung ke Bangil di tahun 1958, waktu A. Hassan kakinya telah dipotong.
“Ada satu tjita2 beliau jang murni jang tak kesampaian lagi, jaitu menterdjemahkan „Nailul Authar". Kitab ini adalah suatu buku tentang hukum Islam jang paling terkenal diabad ke XX ini jang belum ada taranja. Веliau bermaksud hendak menterdjemahkan walau dalam bentuk hendak mering kaskan (chulasah) sadja sebab sanad2 hadis jang pandjang itu tak perlu diterdjemahkan, tjukup isinja sadja.”
Lanjutnya, “Sebelum beliau mengalami operasi kaki beliau telah berhasil menjelesaikan „Al Furqän" jaitu tafsir qur'an jang banjak digemari dalam saat ini. Sesudah operasi inipun beliau berhasil pula menjelesaikan terdjemahan „Subulus Salam", pun kitab tentang hukum2 Islam. Malah beberapa naskah jang telah ditjetak, kita sempat melihatnja. Sewaktu kita disana beliau dalam rentjana akan melakukan operasi mata dan kalau selesai maka disinilah akan dimulai menterdjemahkan, Nailur Anthar" jang berdjilid2 itu. (Nawawi Dusky, Majalah Hikmah, No. 32 XI 22 November 1958).
Bisa jadi ,Nawawi Dusky terkait terjemah buku Subulus Salam, ada salah dengar. Karena yang sudah diterjemahkan A. Hassan di saat itu adalah Bulughul Maram; sedangkan Subulus Salam adalah syarah dari Bulughul Maram.
 |
Buku Terjemahan Bulughul Maram |
Ada hal menarik yang bisa diambil dari kisah Nawawi Dusky ini. Pertama, dari informasi ini, digambarkan bahwa dalam kondisi kaki diamputasi, A. Hassan berjuang untuk bisa merampungkan terjemahan Bulughul Maram. Ini menunjukkan betapa bersar perhatian A. Hassan dalam melestarikan As-Sunnah, di antaranya dengan menerjemahkan kitab Hadits.
Adapun di antara alasan A. Hassan menerjemahkan Bulughul Maram, adalah sebagai berikut, sebagaimana yang ditulis dalam mukadimah buku: "Oleh sebab di bahasa Indonesia belum ada satu kitab fiqh berdasarkan Sunnah mengandung juz-juz 'Ibadah, Muamalah, Munákahah, Jinayah yang sederhana, sedang beberapa ikhwán dari guru-guru minta saya tarjamahkan BULUGHUL-MARAM dengan tarjamahan yang mudah difaham artinya, dengan penerangan yang menggampangkan pembaca mengerti maqshúdnya dengan menjelaskan cara-cara memakai Hadits-hadits yang bertentangan dan lain-lain yang perlu dengan kitab itu, maka sungguhpun pekerjaan tersebut berat, tetapi saya telah mencoba, dan Alhamdulillah telah berhasil." (Sumber: Tarjamah Bulughul Maram, A. Hassan, 1983: 9)
Waktu itu, belum ada yang menerjemahkan Bulughul Maram ke dalam bahasa Indonesia. Beliau mau mengisi kekosongan itu. Walaupun berat, dengan kondisi yang beliau alami, tapi alhamdulillah bisa diselesaikan. Di akhir pembahasan, beliau menulis: “Alhamdulillah sesesai tarjamah kitab ,,BULUGHUL MARAM’’, pada hari Ahad, jam 3 petang, tanggal 2 Shafar 1378 bersamaan dengan 17 Agustus 1958, di rumah Kidul-dalem, Bangil.” (Sumber: Tarjamah Bulughul Maram, A. Hassan, 1983: 756)
Dalam keterangan buku "Riwayat Hidup A. Hassan" (1980: 168) karya Tamar Djaja, Tarjamah Bulughul Maram terbit pertama kali pada tahun 1959. Artinya, setahun setelah beliau wafat baru diterbitkan.
Buku ini diterbitkan dalam dua jilid, dan dikemudian hari dijadikan satu jilid. Buku ini bukan saja berisi terjemahan tapi juga diberi pendahuluan seputar ilmu hadits dan hadits-hadits di dalamnya juga diberi keterangan dan penjelasan yang memang perlu diberi penjelasan. Dengan lahirnya buku ini, membuktikan peran konkret A. Hassan dalam berkhidmat di bidang As-Sunnah.
Kedua, dari cerita Nawawi Dusky tadi, tergambar dengan jelas bahwa sampai menjelang akhir hayatnya pun A. Hassan punya cita-cita untuk berkhidmat dengan As-Sunnah, dengan menerjemahkan kitab hadits “Nailul Authar” karya Asy-Syaukani, namun belum tercapai karena beliau meninggal dunia. Penerjemahan Nailul Authar –versi ringkasan—akhirnya bisa tercapai oleh A. Qadir Hassan dan beberapa muridnya. Rahimahumullah rahmatan waasi’ah.
Sumber Foto A. Hassan saar di Bandung: Cicit A. Hassan Ustadz
ZeZe GhAzie .
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !