Aksi 411

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 05 November 2016 | 13.55

BADRUDIN (biasa dipanggil Brodin) tergopoh-gopoh mendatangi pendopo Al-Ikhlas. Dari raut wajahnya tersirat keinginan untuk mengkhabarkan sesuatu. Momennya pas ada Sarikhluluk sedang kumpul dengan para sahabatnya. Padahal sudah beberapa bulan Sarikhuluk tak diketahui rimbanya. Sesampainya di lokasi, Brodin pun mulai bercerita, “Cak apa yang aku alami pas ikut demo damai di Jakarta Jum’at lalu sungguh fenomenal.”
            “Fenomenal  piye?” tanya Sarikhuluk. “Ada beberapa tanda-tanda alam kalau aksi ini diridhai oleh Allah,” ia terus berkata sambil menggerai rambut panjangnya, “aku sendiri merasakan atmosfirnya Cak, sungguh dahsyat dan mencengangkan.” “Tunggu dulu, biar penjelasanmu tidak meluas ke mana-mana dan bisa dimengerti konco-konco (kawan-kawan), maka jelasin dulu mengenai tanda-tanda alamnya.”
            “Pertama, sebelum demo berlangsung, kondisi di Jakarta Pusat terlihat mendung sekali. Menurut perkiraan cuaca pun hari itu akan turun hujan. Ndilalah pas aksi demo damai sudah dimulai sampai malam, bahkan hari berikutnya tidak turun hujan sama sekali, yang ada hanya mendung,” jawab Brodin dengan mimik meyakinkan.
            “Terus apa lagi?” tanya Paimen. “Kedua, dari angkanya kok ya pas gitu,” Brodin memulai. “Pas gimana?” tanya Paidi. “Yang didustakan kan Surah al-Maidah ayat 51, nah kalau kita tambah angka tanggal, bulan dan tahun, mala hasilnya 51. 4+11+20+16= 51,”jawabnya bersemangat.
            “Ketiga, kalau dirangkai angka tanggal dan bulan, ternyata itu menunjukkan kata lillah dalam bahasa Arab artinya karena Allah. Coba lihat kata berikut: 411 kan mirip dengan لِلَّهِ. Aku semakin yakin bahwa demo ini diridhai Allah.” “Masih ada lagi?” tanya Sugimen. “Keempat, ada yang sempat memotret fenomena lafal Allah baik di atas awan atau dalam kerumunan massa.”
            Sambil menyeruput kopi pahit sejenak kemudian ia melanjutkan, “Kelima, aku benar-benar merasakan kebangkitan umat. Bayangkan! Belum pernah ada sepanjang sejarah Indonesia, umat Islam dengan latar kelompok yang berbeda (ormas, agamis, nasionalis dll), bisa bersama-sama dalam satu arena perjuangan untuk menggapai misi yang sama, yaitu: berjuang untuk menegakkan keadilan bagi penista al-Qur`an. Aku pernah mendengar ada hadits nabi Cak, katanya umat ini tidak akan berkumpul dalam kesesatan. Apa lagi jumlahnya ditaksir dari 100 ribu hingga 1 bahkan 2 jutaan.”
            “Ilmu othak-athek gathok-mu lumayan juga Den. Sebelum aku memberi tanggapan, mungkin ada di antara kawan-kawan pendopo al-Ikhlash yang mau menanggapi?” tanya Sarikhuluk kepada para sahabatnya yang sedang duduk bareng di Pendopo.
            “Untuk menentukan aksi itu diridhai atau tidak menurutku tak cukup dengan pendekatan seperti itu. Kalau itu dijadikan acuan, maka akan sangat relatif dan gampang dipatahkan,” ujar Salamudin yang mulai menganalis bak seorang filsuf, “Pertama, mendung kan ga mesti hujan. Lagi pula yang menentukan hujan kan bukan ahli perkiraan cuaca. Kedua, penjumblahan 4+11+20+16= 51, akan mudah dibantah dengan hitungan demikian 4+11+2016= 2031. Itu baru tambahan, apa lagi kalau dikali, dibagi atau dikurangi, pasti akan ada hasil yang jauh berbeda.”
            Setelah memakan ubi jalar, Salamudin melanjutkan analisisnya, “Ketiga, demikian juga penggabungan tanggal dan bulan menjadi 411. Siapa yang harus menentukan seperti itu, kalau dibalik kan jadinya seperti ini 114. Belum lagi kalau ditambah tahun jadi seperti ini 4112016. Kan jadi melebar. Keempat, memotret fenomena Allah ini juga sangat relatif, ditinjau dari sudut dan jarak pandang. Kalau keduanya melihat dari titik berbeda, maka hasilnya pun akan beda.”
            “Terakhir, setahuku untuk menentukan diridhai atau tidak bukan sekadar banyaknya yang berkumpul. Buat apa banyak berkumpul kalau yang berkumpul berkualitas seperti buih? Belum lagi riwayat yang kamu bawakan tadi setahuku –waktu masih nyantri dulu- haditsnya dha’if (lemah). Maka alasan yang kamu sampaikan mengenai fenomena dahsyat dalam aksi damai 411 itu masih lemah menurutku.”
            Paijo tak mau kalah berkomentar, “Kalau aku tidak mau melihat ke arah itu. Bagiku itu masih superfisial. Masih dalam tataran kulit, belum menjangkau subtansi isi permasalahannya. Kan intinya ada: pelaku dan aksi demo damai, penista agama, dan penistaan al-Qur`an.”
            “Demo adalah akibat, sebabnya adalah penistaan 51 yang dilakukan oleh Pak Bas. Yang menjadi pikiranku, dibilang aksi damai tapi kok malamnya rusuh. Antar internal umat pun berselisih paham mengenai kata auliya. Belum lagi Ahok kan sudah minta maaf. Dalam Islam kan kalau ada orang yang minta maaf, harus dimaafkan. Nabi saja dulu mencegah malaikat yang akan menghancurkan penduduk Thaif dengan dua gunung akibat menyakiti nabi. Pada Fath Mekah pun beliau memaafkan musuh-musuhnya. Dari sisi ini aku melihat ada kejanggalan dalam aksi “semi-damai” tersebut.”
            Mendengar analisis Paijo, Badrudin pun naik pitam, “Pengamatanmu sungguh lemah dan kurang data Jo. Kamu tahu ga, kenapa aksi damai jadi rusuh? Itu karena ada yang memprovokasi dan penyusup. Kalau ga percaya aku membawa bukti videonya, di dunia maya pun sudah tersebar bukti itu. Terus, mengenai perbedaan paham Surah Al-Ma`idah 51 yang kata kamu multi tafsir, sangat tidak tepat”
Sambil mengelus dada ia melanjutkan,  “Pertama, ayat 51 adalah bagian dari ayat muhkam artinya jelas dan tidak ada perlu ditafsir. Kata auliya memang ada berarti teman setia, penolong, pelindung, sampai pemimpin. Logikanya begini, menjadikan teman setia saja tidak boleh, apa lagi pemimpin. Kan ada kaidah dalam ilmu tafsir: Yang teranggap adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Belum lagi MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa si Pak Bas telah menista agama. Pak Bas pun sebelum kasus ini telah banyak menyakita umat Islam dengan kepongahan dan kelancangannya ikut campur membicarakan urusan agama lain.”
“Lagian, kata-kata Pak Bas kan jelas ‘Dibohongi pakai Al-Ma`idah: 51’ Artinya, baik disisipin kata “pakai” atau tidak, tetap saja menistakan al-Qur`an. Contoh kecilnya gini Jo: Kamu mau dilempar batu atau dilempar pakai batu?” “Ya, ga mau lah, sama-sama benjut,” timpal Paijo. “Makanya, jelas apa yang diungkapkan Pak Bas adalah penistaan. Kalau dibohongi pakai: yang dihina nabi, ulama, bahkan akhirnya nyerempet Allah juga. Sedangkan kalau dibohongi saja, maka yang dihina adalah Allah.
Paimen yang dikenal sok menjadi pengamat politik dalam negeri maupu luar negeri mengeluarkan statemen menariknya, “Aku melihatnya dengan cara pandang yang lebih makro,” paparnya dengan gaya pengamat politik andal. “Makra, makro, guayamu ndol,” timpal Syahidan sambil nyengir kuda. “Aku serius,” jawab Paimen, “sebenarnya ini ngeri-ngeri sedap untuk dibicarakan, tapi sebagai jaga-jaga dan wawasan untuk kita, maka pandangan ini perlu aku sampaikan.”
Pertama, aksi ini menurutku murni skenario Allah. Tidak mungkin orang yang katanya jutaan dengan biaya sendiri-sendiri bisa kompak ngumpul jadi satu di Jakarta. Tidak mungkin partai politik mampu menggerakkan masa sebanyak itu di sepanjang sejarah. Karena kalau dikalkulasi jumlah biayanya tentu sangat mahal. Kedua, Pak Bas, Pak Jo dan Nek Me itu konon cuman pion dalam sindikasi penjajahan asing dan aseng ke Indonesia. Rojo (raja) nya siapa lagi kalau bukan komunisme dan kapitaliseme. Makanya aku tidak heran mengapa Pak Bas sangat susah dipidana, walau banyak kasus mendera, ya karena memang bekingnya sangat kuat, para taipan ada di belakangnya.”
“Aku denger kabar, setelah sindikasi asing berhasil memecah belah Uni Sovyet, Balkanisasi, Arab Spring, sekarang yang mau dihancurkan dan dirampok adalah Indonesia dengan cara mengadu domba umat Islam dan Indonesia. Bangsa Indonesia boleh hidup di kampung sendiri, tapi yang megang kendali tetap mereka. ”
Ketiga, aksi ini semacam –menurutku lo ya- persembahan dari Allah untuk umat Islam Indonesia secara khusus, dan bangsa Indonesia secara umum, untuk memberi peringatan bahwa ada musuh yang bermain di balik layar, dan mereka perlu diperingatan. Sebab, kalau mereka dibiarkan rakus mencaplok kekayaan Indonesia, maka kehancuranlah yang terjadi,” pungkas Paimen.
“Serem juga ya kalau mendengar pandangan Paimen,” tukas Kardiman yang sejak tadi asyik menyimak. “Masih ada lagi apa tidak pandangan-pandangan lain?” tanya Sarikhuluk kepada para sahabatnya yang waktu itu ada 8 orang. “Gak ada Cak, silakan sekarang giliran njenengan memberi resume dan pandangan yang bisa mencerahkan kami,” jawab Paijo mewakili teman yang lain.
“Baiklah. Untuk menyikapi masalah ini, ada dua cara pandang yang ingin aku tawarkan: Pertama, pendekatan ‘’ilmu, ‘ain dan haqqul yaqin. Kedua, ulil abshar, ilmi, nuha, albab dan dzi hijr.” Sarikhuluk mengawali pandangannya sambil berhenti sebentar menikmati kopi luwak.
“Kalau didekati dengan cara pandang pertama, maka harus dikalkulasi dan di perjelas akurasi persoalannya. Mana yang masuk ‘ilmul yaqin, ‘ainal yaqin dan haqqul yaqin.
“Kalau yang menjadi poros gerak umat adalah ’ilmu yaqin (masih dalam tataran teoritik kelimuan), maka sangat rawan dan sangat susah untuk menyukseskan perjuangan 411. Masalahnya, yang dominan di sini baru asumsi, subyektivitas, dan relatifitas pandangan sehingga amat mudah dipatahkan musuh.”
“Sedangkan jika yang jadi pijakan adalah ‘ainul yaqin (dalam tataran melihat realitas dengan mata kepala sendiri) maka di sini masih lumayan. Artinya memang fakta bahwa penistaan itu memang ada. Namun, betapa pun fakta terlihat, maka tetap terbatas jangkauannya. Perlu ada penelitian yang mendalam.”
“Artinya, ini pun masih belum cukup. Perlu ada pendekatan terakhir, yaitu: haqqul yaqin, artinya fakta memang ada, penelitian sudah dilangsungkan secara saksama, dan memang yang dilakukan Pak Bas benar-benar menista agama. Kalau sudah demikian, maka perjuangan 411, memang tepat momentumnya. Kalau perjuangan 411 memang sudah maksimal di haqqul yaqin-nya, maka secara pribadi aku ada saran: bagi yang tidak setuju jangan memperkeruh suasana dengan menggembosi dan mencela; sedangkan yang setuju tetap luruskan niat dalam  perjuangan  serta hati-hati ada yang menunggangi dan memecah belah umat. Kemudian ingatlah, ini bukan perjuangan puncak, masih dibutuhkan nafas panjang untuk perjuangan-perjuangan selanjutnya demi keutuhan umat Islam dan bangsa Indonesia.”
“Pendekatan kedua lebih subtansial. Pertama, ulil abshar memandang peristiwa 411 hanya dari sisi simbolik dan hitung-hitungan materil-kuantitatif. Apa yang diceritakan Brodin tadi adalah bagian dari ini. Kedua, ulin nuha, yang memandang peristiwa dari sisi lebih dalam yaitu mengetahui secara detail sebab dan akibatnya. Sehingga mampu memetakan persoalan berikut solusi dan strategi-strateginya.”
Ketiga, ulil albab, sudah masuk dalam subtansi permasalahan sebagaimana yang dikemukakan Paimen. Cuma ketiga cara tersebut harus dikuatkan dengan pendekatan keempat, yaitu: dzu hijr (batasan-batasan yang jelas sehingga tidak salah dalam menentukan keputusan). Untuk melihat aksi 411, menurutku KALAU sudah sampai pada level ketiga dan diperkuat dengan level keempat, aku pikir wajib untuk didukung. Ini baru langkah pertama perjuangan, masih ada langkah-langkah selanjutnya yang harus dipersiapkan.”
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan