BADRUDIN (biasa dipanggil Brodin) tergopoh-gopoh
mendatangi pendopo Al-Ikhlas. Dari raut wajahnya tersirat keinginan untuk mengkhabarkan
sesuatu. Momennya pas ada Sarikhluluk sedang kumpul dengan para sahabatnya. Padahal
sudah beberapa bulan Sarikhuluk tak diketahui rimbanya. Sesampainya di lokasi,
Brodin pun mulai bercerita, “Cak apa yang aku alami pas ikut demo damai di
Jakarta Jum’at lalu sungguh fenomenal.”
“Fenomenal
piye?” tanya Sarikhuluk. “Ada
beberapa tanda-tanda alam kalau aksi ini diridhai oleh Allah,” ia terus berkata
sambil menggerai rambut panjangnya, “aku sendiri merasakan atmosfirnya Cak,
sungguh dahsyat dan mencengangkan.” “Tunggu dulu, biar penjelasanmu tidak
meluas ke mana-mana dan bisa dimengerti konco-konco (kawan-kawan), maka
jelasin dulu mengenai tanda-tanda alamnya.”
“Pertama,
sebelum demo berlangsung, kondisi di Jakarta Pusat terlihat mendung sekali.
Menurut perkiraan cuaca pun hari itu akan turun hujan. Ndilalah pas aksi
demo damai sudah dimulai sampai malam, bahkan hari berikutnya tidak turun hujan
sama sekali, yang ada hanya mendung,” jawab Brodin dengan mimik meyakinkan.
“Terus
apa lagi?” tanya Paimen. “Kedua, dari angkanya kok ya pas gitu,”
Brodin memulai. “Pas gimana?” tanya Paidi. “Yang didustakan kan Surah al-Maidah
ayat 51, nah kalau kita tambah angka tanggal, bulan dan tahun, mala hasilnya
51. 4+11+20+16= 51,”jawabnya bersemangat.
“Ketiga,
kalau dirangkai angka tanggal dan bulan, ternyata itu menunjukkan kata lillah
dalam bahasa Arab artinya karena Allah. Coba lihat kata berikut: 411 kan mirip
dengan لِلَّهِ. Aku semakin yakin bahwa demo
ini diridhai Allah.” “Masih ada lagi?” tanya Sugimen. “Keempat, ada yang
sempat memotret fenomena lafal Allah baik di atas awan atau dalam kerumunan
massa.”
Sambil menyeruput kopi pahit sejenak kemudian ia
melanjutkan, “Kelima, aku benar-benar merasakan kebangkitan umat.
Bayangkan! Belum pernah ada sepanjang sejarah Indonesia, umat Islam dengan
latar kelompok yang berbeda (ormas, agamis, nasionalis dll), bisa bersama-sama
dalam satu arena perjuangan untuk menggapai misi yang sama, yaitu: berjuang
untuk menegakkan keadilan bagi penista al-Qur`an. Aku pernah mendengar ada
hadits nabi Cak, katanya umat ini tidak akan berkumpul dalam kesesatan. Apa
lagi jumlahnya ditaksir dari 100 ribu hingga 1 bahkan 2 jutaan.”
“Ilmu othak-athek gathok-mu lumayan juga Den.
Sebelum aku memberi tanggapan, mungkin ada di antara kawan-kawan pendopo
al-Ikhlash yang mau menanggapi?” tanya Sarikhuluk kepada para sahabatnya yang
sedang duduk bareng di Pendopo.
“Untuk menentukan aksi itu diridhai atau tidak menurutku
tak cukup dengan pendekatan seperti itu. Kalau itu dijadikan acuan, maka akan
sangat relatif dan gampang dipatahkan,” ujar Salamudin yang mulai menganalis
bak seorang filsuf, “Pertama, mendung kan ga mesti hujan. Lagi pula yang
menentukan hujan kan bukan ahli perkiraan cuaca. Kedua, penjumblahan 4+11+20+16= 51, akan mudah dibantah dengan
hitungan demikian 4+11+2016= 2031. Itu baru tambahan, apa lagi kalau dikali,
dibagi atau dikurangi, pasti akan ada hasil yang jauh berbeda.”
Setelah
memakan ubi jalar, Salamudin melanjutkan analisisnya, “Ketiga, demikian
juga penggabungan tanggal dan bulan menjadi 411. Siapa yang harus menentukan
seperti itu, kalau dibalik kan jadinya seperti ini 114. Belum lagi kalau
ditambah tahun jadi seperti ini 4112016. Kan jadi melebar. Keempat, memotret
fenomena Allah ini juga sangat relatif, ditinjau dari sudut dan jarak pandang.
Kalau keduanya melihat dari titik berbeda, maka hasilnya pun akan beda.”
“Terakhir,
setahuku untuk menentukan diridhai atau tidak bukan sekadar banyaknya yang
berkumpul. Buat apa banyak berkumpul kalau yang berkumpul berkualitas seperti
buih? Belum lagi riwayat yang kamu bawakan tadi setahuku –waktu masih nyantri
dulu- haditsnya dha’if (lemah). Maka alasan yang kamu sampaikan mengenai
fenomena dahsyat dalam aksi damai 411 itu masih lemah menurutku.”
Paijo
tak mau kalah berkomentar, “Kalau aku tidak mau melihat ke arah itu. Bagiku itu
masih superfisial. Masih dalam tataran kulit, belum menjangkau subtansi isi
permasalahannya. Kan intinya ada: pelaku dan aksi demo damai, penista agama,
dan penistaan al-Qur`an.”
“Demo
adalah akibat, sebabnya adalah penistaan 51 yang dilakukan oleh Pak Bas. Yang
menjadi pikiranku, dibilang aksi damai tapi kok malamnya rusuh. Antar internal
umat pun berselisih paham mengenai kata auliya. Belum lagi Ahok kan
sudah minta maaf. Dalam Islam kan kalau ada orang yang minta maaf, harus
dimaafkan. Nabi saja dulu mencegah malaikat yang akan menghancurkan penduduk
Thaif dengan dua gunung akibat menyakiti nabi. Pada Fath Mekah pun beliau
memaafkan musuh-musuhnya. Dari sisi ini aku melihat ada kejanggalan dalam aksi
“semi-damai” tersebut.”
Mendengar
analisis Paijo, Badrudin pun naik pitam, “Pengamatanmu sungguh lemah dan kurang
data Jo. Kamu tahu ga, kenapa aksi damai jadi rusuh? Itu karena ada yang
memprovokasi dan penyusup. Kalau ga percaya aku membawa bukti videonya, di
dunia maya pun sudah tersebar bukti itu. Terus, mengenai perbedaan paham Surah
Al-Ma`idah 51 yang kata kamu multi tafsir, sangat tidak tepat”
Sambil mengelus dada ia
melanjutkan, “Pertama, ayat 51
adalah bagian dari ayat muhkam artinya jelas dan tidak ada perlu
ditafsir. Kata auliya memang ada berarti teman setia, penolong,
pelindung, sampai pemimpin. Logikanya begini, menjadikan teman setia saja tidak
boleh, apa lagi pemimpin. Kan ada kaidah dalam ilmu tafsir: Yang teranggap
adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Belum lagi MUI sudah
mengeluarkan fatwa bahwa si Pak Bas telah menista agama. Pak Bas pun sebelum
kasus ini telah banyak menyakita umat Islam dengan kepongahan dan
kelancangannya ikut campur membicarakan urusan agama lain.”
“Lagian, kata-kata Pak Bas kan
jelas ‘Dibohongi pakai Al-Ma`idah: 51’ Artinya, baik disisipin kata “pakai”
atau tidak, tetap saja menistakan al-Qur`an. Contoh kecilnya gini Jo: Kamu mau
dilempar batu atau dilempar pakai batu?” “Ya, ga mau lah, sama-sama benjut,”
timpal Paijo. “Makanya, jelas apa yang diungkapkan Pak Bas adalah penistaan.
Kalau dibohongi pakai: yang dihina nabi, ulama, bahkan akhirnya nyerempet Allah
juga. Sedangkan kalau dibohongi saja, maka yang dihina adalah Allah.
Paimen
yang dikenal sok menjadi pengamat politik dalam negeri maupu luar negeri
mengeluarkan statemen menariknya, “Aku melihatnya dengan cara pandang yang
lebih makro,” paparnya dengan gaya pengamat politik andal. “Makra, makro,
guayamu ndol,” timpal Syahidan sambil nyengir kuda. “Aku serius,”
jawab Paimen, “sebenarnya ini ngeri-ngeri sedap untuk dibicarakan, tapi sebagai
jaga-jaga dan wawasan untuk kita, maka pandangan ini perlu aku sampaikan.”
“Pertama,
aksi ini menurutku murni skenario Allah. Tidak mungkin orang yang katanya
jutaan dengan biaya sendiri-sendiri bisa kompak ngumpul jadi satu di Jakarta.
Tidak mungkin partai politik mampu menggerakkan masa sebanyak itu di sepanjang
sejarah. Karena kalau dikalkulasi jumlah biayanya tentu sangat mahal. Kedua,
Pak Bas, Pak Jo dan Nek Me itu konon cuman pion dalam sindikasi penjajahan
asing dan aseng ke Indonesia. Rojo (raja) nya siapa lagi kalau bukan
komunisme dan kapitaliseme. Makanya aku tidak heran mengapa Pak Bas sangat
susah dipidana, walau banyak kasus mendera, ya karena memang bekingnya sangat
kuat, para taipan ada di belakangnya.”
“Aku
denger kabar, setelah sindikasi asing berhasil memecah belah Uni Sovyet,
Balkanisasi, Arab Spring, sekarang yang mau dihancurkan dan dirampok adalah
Indonesia dengan cara mengadu domba umat Islam dan Indonesia. Bangsa Indonesia
boleh hidup di kampung sendiri, tapi yang megang kendali tetap mereka. ”
“Ketiga,
aksi ini semacam –menurutku lo ya- persembahan dari Allah untuk umat Islam
Indonesia secara khusus, dan bangsa Indonesia secara umum, untuk memberi
peringatan bahwa ada musuh yang bermain di balik layar, dan mereka perlu
diperingatan. Sebab, kalau mereka dibiarkan rakus mencaplok kekayaan Indonesia,
maka kehancuranlah yang terjadi,” pungkas Paimen.
“Serem
juga ya kalau mendengar pandangan Paimen,” tukas Kardiman yang sejak tadi asyik
menyimak. “Masih ada lagi apa tidak pandangan-pandangan lain?” tanya Sarikhuluk
kepada para sahabatnya yang waktu itu ada 8 orang. “Gak ada Cak, silakan
sekarang giliran njenengan memberi resume dan pandangan yang bisa
mencerahkan kami,” jawab Paijo mewakili teman yang lain.
“Baiklah.
Untuk menyikapi masalah ini, ada dua cara pandang yang ingin aku tawarkan: Pertama,
pendekatan ‘’ilmu, ‘ain dan haqqul yaqin. Kedua, ulil abshar,
ilmi, nuha, albab dan dzi hijr.” Sarikhuluk mengawali pandangannya
sambil berhenti sebentar menikmati kopi luwak.
“Kalau
didekati dengan cara pandang pertama, maka harus dikalkulasi dan di perjelas
akurasi persoalannya. Mana yang masuk ‘ilmul yaqin, ‘ainal yaqin dan haqqul
yaqin.”
“Kalau
yang menjadi poros gerak umat adalah ’ilmu yaqin (masih dalam tataran
teoritik kelimuan), maka sangat rawan dan sangat susah untuk menyukseskan
perjuangan 411. Masalahnya, yang dominan di sini baru asumsi, subyektivitas,
dan relatifitas pandangan sehingga amat mudah dipatahkan musuh.”
“Sedangkan
jika yang jadi pijakan adalah ‘ainul yaqin (dalam tataran melihat
realitas dengan mata kepala sendiri) maka di sini masih lumayan. Artinya memang
fakta bahwa penistaan itu memang ada. Namun, betapa pun fakta terlihat, maka
tetap terbatas jangkauannya. Perlu ada penelitian yang mendalam.”
“Artinya,
ini pun masih belum cukup. Perlu ada pendekatan terakhir, yaitu: haqqul
yaqin, artinya fakta memang ada, penelitian sudah dilangsungkan secara
saksama, dan memang yang dilakukan Pak Bas benar-benar menista agama. Kalau
sudah demikian, maka perjuangan 411, memang tepat momentumnya. Kalau perjuangan
411 memang sudah maksimal di haqqul yaqin-nya, maka secara pribadi aku
ada saran: bagi yang tidak setuju jangan memperkeruh suasana dengan menggembosi
dan mencela; sedangkan yang setuju tetap luruskan niat dalam perjuangan
serta hati-hati ada yang menunggangi dan memecah belah umat. Kemudian
ingatlah, ini bukan perjuangan puncak, masih dibutuhkan nafas panjang untuk
perjuangan-perjuangan selanjutnya demi keutuhan umat Islam dan bangsa
Indonesia.”
“Pendekatan
kedua lebih subtansial. Pertama, ulil abshar memandang peristiwa 411
hanya dari sisi simbolik dan hitung-hitungan materil-kuantitatif. Apa yang
diceritakan Brodin tadi adalah bagian dari ini. Kedua, ulin nuha, yang
memandang peristiwa dari sisi lebih dalam yaitu mengetahui secara detail sebab
dan akibatnya. Sehingga mampu memetakan persoalan berikut solusi dan
strategi-strateginya.”
“Ketiga,
ulil albab, sudah masuk dalam subtansi permasalahan sebagaimana yang
dikemukakan Paimen. Cuma ketiga cara tersebut harus dikuatkan dengan pendekatan
keempat, yaitu: dzu hijr (batasan-batasan yang jelas sehingga tidak salah
dalam menentukan keputusan). Untuk melihat aksi 411, menurutku KALAU sudah
sampai pada level ketiga dan diperkuat dengan level keempat, aku pikir wajib
untuk didukung. Ini baru langkah pertama perjuangan, masih ada langkah-langkah
selanjutnya yang harus dipersiapkan.”
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !