VIRALNYA pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (08/05/2017) mengingatkan kita pada eristiwa
pembubaran Partai Masyumi (17/08/1960)
melalui Keputusan Presiden No. 200. Sejak Dekrit 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan sokongan penuh pihak militer berusaha
kembali ke UUD 1945. Dengan demikian dirinya memiliki
wewenang penuh untuk memutuskan sesuatu (Thohir Luth, 1999: 51). Oleh
karenanya, dengan leluasa ia bisa memaksakan kehendak berdasarkan sistem demokrasi
terpimpin. Siapa saja yang bersebrangan, pasti akan diganyang. Justru partai
yang berkali-kali memberontak seperti PKI malah disayang.
Proses pembubaran semakin mulus
karena menemukan santapan empuk. Natsir, Burhan, Syafrudin
(yang merupakan tokoh Masyumi), dianggap bersekongkol dengan
pemberontakan PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia). Padahal, menurut Mansur Surya Negara dalam buku Api
Sejarah 2 menjelaskan bahwa kedatangan Natsir ke Sumatra Barat adalah
berusaha keras untuk mengingatkan Letkol Ahmad Husein bahwa PRRI
inkonstitusional. Namun, justru Kepres. 200/1960 tetap lahir (2014: 379).
Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif dalam
bukunya Islam dan Politik
Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) menyoal apakah keputusan pemerintah saat itu bisa dipertanggung
jawabkan secara yuridis. Dari Diktum Musyawarah Nasional III PERSAHI
(Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia: 3/12/1966) dapat diketahui bahwa yuridis
formal tidak sah dan yuridis materil tidak beralasan dan hanya menjadi korban
Orde Lama (1996: 68).
Justru
yang sangat nampak jelas, pembubaran ini adalah alibi Soekarno untuk melicinkan sistem
Demokrasi Terpimpin (Mahfud Md, 1998: 149). Prawoto
sempat dihasut untuk mengutuk tokoh-tokoh Masyumi (Seperti: Natsir, Burhan dan Syafrudin), agar Masyumi tak
dibubarkan. Ia pun tak mau. Konflik akan bertambah luas jika keinginan Soekarno
dituruti. Karenanya, ia rela
Masyumi dibubarkan (Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem: karier politik dan
perjuangannya, 1924-1968, 2002). Namun, seandainya Prawoto menuruti Soekarno, Syafi’i Maarif
meragukannya karena Soekarno telah menempatkan diri di atas UUD (1996: 68).
Pada akhirnya, terlepas apakah Masyumi benar atau salah, memang partai ini resmi dibubarkan. Walaupun sebulan sebelumnya sudah membubarkan diri sehingga tidak bisa disebut sebagai partai terlarang (M. Zulfikriddin: 2010). Setelah dilarang, justru Natsir menginisiasi berdirinya DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia). Bila sebelumnya beliau berpolitik untuk dakwah, maka dengan DDII berdakwah untuk politik. Memang berbeda, tetapi tidak meninggalkan subtansi awal. Justru jangkauannya semakin luas. Sepeninggal Natsir pun, ideologinya tetap berkobar hingga sekarang dengan baju atau bentuk yang beraneka ragam.
Itu baru Masyumi. Belum lagi PKI, NII atau selainnya yang
sudah ditumpas dam dibubarkan sejak dulu lembaganya. Apakah ada jaminan
pemikiran mereka lenyap ditelan zaman ketika lembaga ditumpas? Justru sangat
besar kemungkinan mereka bermetamorfosa dengan bentuk-bentuk baru dengan cita
rasa sama.
Terakhir
saya tegaskan, tulisan ini bukan untuk membela HTI atau menyudutkan pemerintah,
demikian juga sebaliknya. Belajar kepada sejarah, menghadapi pemikiran harus
dengan pemikiran; ideologi harus dengan ideologi. Pemberangusan lembaga justru
akan melahirkan bermacam-macam lembaga yang bersubtansi sama.
Alangkah
indahnya jika masing-masing pihak berendah hati duduk bareng untuk menemukan
solusi terbaik, tanpa main bubar membubarkan. Karena perkara ini bukan gerak
jalan yang harus diakhiri dengan: BUBAR BARISAN, JALAN! Wallahu a’lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !