“Mengikuti perkembangan percecokan anak bangsa memang ga ada habisnya,” ungkap Paiden mengawali kegiatan diskusi nonformal bin nonprofit yang diberi nama agak simpel tapi terkesan merakyat: NGOPI. Aktivitasnya memang di-sambi ngopi, tapi rupanya itu adalah singkatan dari: Ngopeni Ilmu (Memperhatikan Ilmu). Nama ini diinisiasi oleh Sarijan yang sudah diverifikasi dan di-ACC –cie guaya istilah apa itu- oleh Mbah Sarikhuluk.
Mendengar celoteh Paiden, Jui –nama lengkapnya Dzu Ilmin- langsung nyerocos, “Iyo. Kemaren-kemaren hingga sekarang masih ribut aksi pembubaran. Lha sebelumnya, pasca Pilpres hingga Pilkada DKI Jakarta, bermunculan istilah-istilah nyinyir dan sempat viral dan menggema di jagat media. Sebut saja misalnya: Si Mulut Jamban (ditujukan pada Koh Ahok), motivator (disematkan pada Anis), kaum kafirun dan munafikun, kaum bumi datar, kelas menengah ngehe, cebongers (pendukung Jokowi), Bani Taplak / Bani Serbet, kaum sumbu pendek dan lain sebagainya,”
“Tunggu tunggu,” Saiman menambahkan dengan mimik yang tak ingin terlihat kudet, “kayaknya masih ada yang kurang. Waktu nonton ILC Club aku pernah ndengar istilah: “IQ 200 Digabung Satu Kolam” dari Prof. Rocky Gerung.” “Weleh weleh, kreatif tenan bocah-bocah Indonesia, bermusuhan pun bisa memantik daya inovasi dan kreasi yang begitu tinggi. Kalau ada lomba “humazatil lumazah” pasti menang kayaknya,” timpal Cak Sukiman sang penjual kopi.
Jaini (dipanggil Jay, yang cukup intelek di antara teman-teman NGOPI) dengan wajah serius seperti Kamandanu atau Bramakumbara lagi perang, menyampaikan analisis kritis, terukur dan sistematis (cie kayak pak dosen aja nih orang), “Begini konco-konco yang berbahagia,” tiba-tiba Saipul interupsi, “berbahagia gimana Jay, sembarang podo mundak (naik), kerjaan kayak pasar kaget, ekonomi katanya meroket nyatanya jatuh bak Meteor Garden (kayak sinetron Korea saja). Gimana bahagia, kita-kita rakyat kecil sedang susah-susahnya. Kita hanya jadi sapi perah oleh penguasa, habis manis sepah dibuang. Apa lagi tahun depan adalah tahun-tahun politik yang super hot,”
Saipul dengan mulut berbusa maunya meneruskan pembicaraannya tapi langsung ditilang oleh Jono sang wasit dalam diskusi Ngopi, “Sap! (panggilan Saipul) semangat ngomong sih boleh-boleh aja, tapi kalo kamu asal motong pembicaraan orang ya ga ilok, kurang etis kalau bahasa orang sekolahan.” “Oh ngge Cak Jon, maaf kulo kilab,” sambung Saipul. Tiba-tiba Gopar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Saipul, “Hahahaha, Sap, maksudmu iku kilab apa khilaf. Kalau kilab itu anjing, kalau khilaf baru artinya salah.”
“Wes wes wes, mbalek mbalek gak guyon ae, nanti kalian tak utus jadi juri Stand Up Comedy kapok koen,” sergah Jay yang ingin melanjutkan omongannya yang sempat terputus, “begini sudara-sudara, di satu sisi memang kreativitas dan inovasi kenyinyiran (istilah opo kui) agak membut kita terhibur di kala para penguasa kerjanya mbikin rakyat pusing mikirin kepulan dapur. Tapi, haqiqotan, bangsa kita sedang dilanda masalah serius kawan. Bener, iki asli super duper serius. Lha, anak bangsa mau diadu domba kayak gini kok malah seneng-seneng.”
“Bayangkan!,” Jay melanjutkan dengan orasi ala Calon Kepala Daerah dia meneruskan, “kalo polarisasi demikian terus dibiarkan dan semakin tajam, maka konflik horisontal tak ayal lagi akan meledak. Coba dipikir, sama-sama anak bangsa, kebanyakan malah podo Islame, -ya meski beda-beda pandangan- kalau sampai perang sudara, biasa hancur lebur kerajaan nuswantara ini. Meminjam istilah Rojak (asal Madura) bisa-bisa ancor pessehna telor.”
“Kalo aku lebih falshback ke belakang Jay,” sahut Darmono yang hobi nderas buku-buku sejarah, “dulu namanya konflik biasa aja, ga sampai seperti sekarang yang cukup ngeri terbagi dua dan seakan menjadi musuh bebuyutan selamanya. Dalam sebuah seminar yang pernah dihadiri Sarikhuluk, aku pernah dengar cerita mengenai debat Soekarno dan A. Hassan di media cetak.”
“Soekarno yang berasas kebangsaan pernah menulis artikel berjudul: Memudakan Pengertian Islam. Dalam penulisan artikel tersebut, Soekarno menggunakan bahasa-bahasa yang cukup kasar kepada orang yang bersebrangan dengannya dengan istilah kaum jumud, beku, kepala batu, dungu, cungak-cinguk, kaum tasbih, celak mata, pembangkang, pembandel dan lain sebagainya. A. Hassan pun yang berasas Islam, merespon dengan artikel yang berjudul: Membudakkan Pengertian Islam. Di situ A. Hassan membabat habis kritikan Soekarno. Bahkan untuk mengembalikan istilah kasar Soekarno, Hassan menyebutnya sebagi: kaum karet, otak lumpur dan lain sebagainya.”
“Uniknya Jay, mereka serius berantem secara ilmiah dalam media cetak, adu jotos wacana, tapi masyaallah ketika di dunia nyata, mereka sangat akrab dan bersahabat. Ketika Soekarno dipenjara di Sukamiskin, A.Hassan dan teman-teman Persislah yang lekas membesuknya. Belum lagi ketika Soekarno diasingkan ke Endeh, A. Hassan berkorespondensi dengan Soekarno laksana guru dan murid. Hassan membantu kesusahan ekonomi Soekarno, bahkan mengirimkan buku dan jambu mede kesukaan Soekarno.”
“Soekarno pun demikian. Saat A. Hassan sakit paru-paru di Malang, Soekarno mengirimkan uang untuknya untuk membantu meringankan bebannya. Contoh-contoh beginian agaknya susah didapat pada jaman sekarang. Mereka bisa bergulat di dunia intelektual, tapi lembut dalam pergaulan. Lha sekarang, teknologi dan informasi semakin maju, tapi malah melahirkan budaya nyinyir, gagal move on, gampang terkena baper akut, dan mau diadu domba. Pokoknya, meminjam istilah hadits, bangsa kita jadi makanan di atas meja hidangan yang diperebutkan para musuh, dominan kuantitas daripada kualitas.”
“Lha solusine piye?” tanya Irsyad yang dari tadi menyimak dengan saksama dan dalam tempo sengantuk-ngantuknya. “Kuncinya adalah memberdayakan pemuda!!” jawab Jaini dengan semangat 212. “Sebab,” lanjutnya, “kalau pemuda potensinya dihabiskan dengan browsingan ga jelas, kenyinyiran lintas gadget 24 jam full, selfi-selfi "brutal" pakek hape kekinian, maka ga kebayang apa yang akan terjadi kedepan.”
“Melihat kondisi sekarang agak susah Jay,” kata Jui dengan nada pesimis, “anak sekarang apa-apa di-nyinyir-i, dicari-cari kesalahannya, dibelok-belokkan, kaya cerita legendaris Mr. Mukidi. Bisa-bisa kata-kata populer Presiden Soekarno mengenai pemuda, dijadikan meme dengan inovasi kenyinyiran yang tiada duanya, kurang lebih kira-kira begini, “Beri aku seribu orang tua, maka akan aku cabut semeru dengan photoshop. Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia dengan meme-meme yeng membuat geleng-geleng kepala,” suasana Ngopi malam ini terlihat gayeng, tapi menyisakan bergudang-gudang masalah yang membikin kepala pecah. Sampai jumpa pada Ngopi selanjutnya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !