Home » » Relasi Antara Islam dan Keraton: Fakta atau Mitos?

Relasi Antara Islam dan Keraton: Fakta atau Mitos?

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 25 November 2017 | 19.49

KERATON (khususnya Surakarta dan Yogyakarta) bila dilihat pada zaman ini, yang lebih menonjol terlihat sebagai institusi kebatinan Jawa; tidak mencerminkan ajaran Islam; berisi adat mistis; terpisah dari Islam; bahkan hubungan antara Islam dan keraton dinafikan buktinya, sehingga orang yang melihatnya keduanya adalah entitas yang terpisah. Benarkah demikian?

Ustadz Susiyanto, Dosen Unissula, melihat keganjilan ini. Pada kajian rutin Sabtu di INSIST Kalibata (Sabtu, 25/11/2017), pemikir muda yang ahli dalam bidang naskah Jawa kuno ini mencoba menjawab keganjilan ini. “Relasi Antara Islam dan Keraton: Fakta atau Mitos?” menjadi tema penting yang diangkatnya saat menjadi presentator pada kajian rutin tersebut.

Pada momen kali ini, ada lima poin penting yang disampaikan untuk membuktikan fakta sejarah mengenai relasi antara Islam dan keraton: Pertama, fungsi raja. Kedua, pejabat keagamaan. Ketiga, hukum Islam. Keempat, spirit para raja. Kelima, naskah.

Di Jawa di antara gelar atau kedudukan Raja Jawa adalah: Panatagama, Khalifatullah, Khalifaturrasul. Dari sini saja, sudah terlihat relasi yang kuat antara keraton dengan Islam. Gelar “Panatagama” (Pengatur Urusan Agama) dan “Khalifatullah” (Wakil Allah di bumi) dan “Khalifaturrasul” (Wakil Rasul) sangat berkaitan erat dengan idiom-idiom Islam. Fakta sejarah ini tidak bisa terbantahkan.

Adapun Pejabat Urusan Keagamaan dalam sejarahnya memiliki fungsi berikut: sebagai perpanjangan tangan raja yang merupakan panatagama; paranpara; penyelenggaraan ritual; pelaksanaan hukum Islam yang berada di bawah “Kapengulon” (Penghulu). Fungsi-fungsi ini juga semakin menguatkan bahwa hubungan Islam dan keraton sangatlah dekat.

Lebih dari itu, relasi keduanya semakin terlihat jelas bila dilihat dari struktur “Kapengulon”. Ketua tertinggi adalah Penghulu Kepala. Kemudian Wakil Penghulu/Ajung Pengulu/Khalifah. Sedangkan perangkat di bawahnya yaitu: Imam, Ketib (Panitera), Modin (Muadzin), Merbot, Amil dan Bilal. Berat rasanya kala dikatakan antara Islam dan keraton Jawa tidak ada relasi dari fakta-fakta tersebut.

Menariknya, dalam keraton pun ada penerapan hukum Islam. Masjid Ageng Ngayogyakarta pada sekitar tahun 1900 yang dikelilingi telaga buatan sebagai simbol “wa arsyuhu ‘alal maa” (dan Arsy-Nya di atas air) pernah dijadikan sebagai tempat pelaksanaan hukum Islam. Pengadilian ini secara resmi dinamakan “al-Mahkamah al-Kubra”. Kedudukan pengadilan ini dipimpin oleh ulama (Dr. Alaiddin, 2011: 201).


Kitab yang dijadikan acuan dalam pengadilan ini rupanya merujuk pada kitab-kitab ulama Islam, seperti: “Muharrar fii al-Fiqhi al-Syaafi’i” (karya: Ar-Rafi’iy), “Mahalli”, “Tuhfah al-Muhtaaj” (karya: Ibnu Hajar al-Haitsami), “Fathul Mu’iin” (karya: Zainuddin Maliabary), dan “Fathul Wahaab” (karya: Abu Yahya). Dengan demikian, semakin susah kalau dianggap hubungan Islam dengan keraton tidak ada.

Pasca Perang Dipenegoro, Pengadilan Surambi di Kasultanan Ngayohyakarta diberhentikan atas prakarsa Belanda melalui resolusi No. 29 tertanggal 11 Juni 1831. Hukum Islam dikebiri hanya untuk menangani persoalan-persoalan seputar keluarga atau harta benda.

Pada masa Pakubuwana IV, hubungan Sultan dengan para ulama sangat dekat. Kritik-mengkritik dan saling mengingatkan di antara mereka sudah biasa terjadi. Dalam Kidung Sesingir, Sastra Gendhing misalnya, relasi demikian tercatat dengan sangat jelas.

Sedangkan naskah-naskah yang menunjukkan relasi antara Islam dan keraton, bisa dilihat dalam koleksi Museum Radya Pustakam, Surakarta. Setidaknya ada delapan kitab yang bisa ditulis di sini: Serat Pandhita Raib; Serat Yusuf; Serat Nawawi; Serat Nitimani: Suluk Warni-wani Tuwin Wirid Syattariyah; Cariyos Dajal Utawi Kadis Kawandasa; Kur’an Kajawekaken dan al-Qur`an tulisan tangan dari abad ke XVIII.

Beberapa hal di atas adalah bukti konkret hubungan antara Islam dan Keraton. Islam mau diceraikan relasinya dengan keraton sejak berdirinya Lembaga Bahasa Jawa yang didirikan Belanda di Surakarta. Di sisi lain, keraton lebih terlihat mistis ketika ada penyusupan tokoh-tokoh Theosofi ke dalamnya.


Tugas umat Islam saat ini adalah mengadakan penelitian dan kajian mendalam agar fakta sesungguhnya tidak tertutupi. Di samping itu, proses dakwah ulama-ulama terdahulu, bisa juga disebut Islamisasi yang masih belum tuntas, bisa dilanjut oleh generasi sekarang di tengah arus deras yang ingin menceraikan hubungan antara keraton dan Islam, atau Jawa dengan Islam. Wallahu a’lam.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan