Home » » Pidato Akhir Tahun Sarikhuluk

Pidato Akhir Tahun Sarikhuluk

Written By Amoe Hirata on Minggu, 31 Desember 2017 | 20.00

PENDOPO Al-Ikhlash dan pelatarannya malam ini dipadati warga Kampung Jumeneng. Bukan untuk menunggu detik-detik akhir tahun yang dihiasi dengan petasan, kembang api, terompet dan berbagai atribut perayaan akhir tahun lainnya, tapi mau mendengar pidato akhir tahun Sarikhuluk yang sudah vakum beberapa tahun.


Nuansa egaliter dan gayeng sangat terasa dalam 'liqo sanawi' ini. Sarikhuluk dengan rambut ikal sebahu dimahkotai kopyah hitam yang agak kekuningan disertai dengan baju batik dan bawahan sarung putih terlihat penuh karisma dan wibawa.

Setelah menyampaikan salam dan pendahuluan, Sarikhuluk memulai pidatonya, "Malam ini saya minta maaf jika pidato yang akan saya sampaikan tidak begitu banyak. Saya sudah menyiapkan satu halaman. Semoga pidato yang satu halaman ini mampu memberi pencerahan di tengah kondisi negara yang masih belum siuman dari kekelaman."

"Saya sengaja tidak memberikan judul, biar sampean sekalian yang membingkainya dengan judul yang sesuai pemahaman saudara-saudari sekalian. Tapi, terkait tema pembahasan, saya fokuskan pada tadabbur kata 'sanah' (tahun) dalam al-Qur'an. Lebih ke pendekatan reflektif daripada kualitatif, akademis dan ngilmiah."

"Tahun-demi tahun telah bergulir. Tapi yang membuatnya bernilai adalah bagaimana manusia mempersepsikan, menyikapi, dan mengolahnya, bukan berapa kuantitasnya tapi seberapa kualitasnya?"
"Yang menjadi masalah bukan awal, tengah, atau akhir tahun; tapi bagai mana visi, sikap dan cara kita mengolah tahun,"

"Buat apa mempunyai angan hidup selama seribu tahun seperti orang Yahudi yang dijelaskan al-Qur'an tapi toh tidak akan selamat dari azab lantaran tahun-tahun nya diisi dengan kesalahan-kesalahan yang dianggap benar."

"Atau, buat apa benar-benar hidup seribu tahun tapi kelakuannya seperti mayoritas kaum nabi Nuh yang hobi menantang dan membangkang?"

"Seperti juga kaum Nabi Musa yang tersesat di TIH selama empat puluh tahun akibat tidak nurut kepada Allah dan Nabi-Nya,"

"Jika visi, sikap, dan pengelolaan tahun sama seperti ketiga contoh tersebut, maka seribu tahun di dunia, bernilai seperti sehari,"

"Lain halnya jika tahun-tahun dikelola seperti Nabi Yusuf saat menghadapi peceklik selama tujuh tahun; atau seperti Nabi Nuh yang tidak pernah letih mendakwahkan kebenaran selama 950 tahun; bisa juga seperti perjuangan Ashabul Kahfi yang berjuang hingga ditidurkan selama lebih dari tiga ratus tahun; dan contoh lainnya Dalam al-Qur'an, maka tahun-tahunnya menjadi lebih bermakna dan bernilai lintas akhirat,"

"Hari demi hari dalam setahun jika dikelolah seperti mereka, maka bisa bernilai seribu tahun kesan dan maknanya. Tahun-tahun mereka dihabiskan untuk membangun hubungan yang apik dengan Khaliq dan Makhluk-Nya. Tahun-tahun mereka penuh berkah. Walau raga sudah berkalang tanah, tapi nilai jiwanya mengabadikan sepanjang masa,"

Pada penutupnya Sarikhuluk menukik perhatian Warga Jumeneng dengan beberapa pertanyaan, "Selama setahun ini, hari-hari kita dihabiskan untuk apa? Dan apa rencana kita untuk tahun-tahun berikutnya? Coba bercermin, perilaku kita lebih mirip kaum Nabi Nuh, Kaum Yahudi yang berangan hidup seribu tahun dengan amal salah, Bani Israel yang tersesat selama 40 tahun karena ga nurut nabi atau lebih mirip perjuangan Nabi Nuh, kepiawaian Nabi Yusuf dalam mengelola tahun dan kegigihan Ashabul Kahfi Dalam menyuarakan kebenaran? Bila tidak maka ritual muhasabah tahunan ini hanya utopia belaka. Jangan salahkan tahun-tahun kita jika dalam hidup kita mencampakkannya. Ibarat pepatah: "Buruk muka, cermin dibelah."
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan