Home » , , » Pimpinan Teladan; Suka Blusukan Tanpa Pencitraan

Pimpinan Teladan; Suka Blusukan Tanpa Pencitraan

Written By Amoe Hirata on Selasa, 17 Juli 2018 | 09.00

Pimpinan Teladan; Suka Blusukan  Tanpa Pencitraan
BLUSUKAN  –yang dalam bahasa Jawa berarti masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui sesuatu- seringkali dijadikan sebagai komoditi tertentu bagi sebagian pejabat politik. Aktivitas ini kadang dilakukan tidak lebih untuk mendongkrak citranya sebagai tokoh publik yang membutuhkan popularitas tinggi untuk melanggengkan kekuasaan.

Apa blusukan  itu selalu negatif? Ternyata tidak. Beberapa cerita yang diambil dari dua pemimpin agung Islam legendaris sebagaiamana Abu Bakar dan Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhuma berikut menunjukkan bahwa aktivitas tersebut sangat baik untuk memantau dan meninjau secara langsung kondisi rakyatnya. Uniknya, blusukan  yang dilakukan tanpa pencitraan dan seringkali dilakukan pada malam hari.
Blusukan  Ala Abu Bakar Ash-Shiddiq
Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Dulu aku setiap bakda shalat Fajar selalu mengamati Abu Bakar yang setiap pulang dari masjid, ia pergi ke suatu daerah di kawasan Madinah.”
“Suatu hari aku membuntutinya. Ternyata ia masuk ke dalam suatu kemah (rumah kecil) dan singgah selama satu jam di dalamnya lalu keluar.”
Setelah ia keluar, Umar pun masuk ke dalam kemah itu. Rupanya di dalamnya ada orang tua renta bersama anak-anaknya. Kepada nenek itu Umar bertanya, “Wahai hamba Allah! Siapa sebenarnya dirimu?”
Nenek itu menjawab, “Aku adalah nenek yang lemah dan buta. Bapak kami meninggal sejak beberapa tahun lalu.” Umar melanjutkan pertanyaan, “Lalu siapa syekh (orang tua) tadi yang masuk ke dalam rumah kalian?” Ia menjawab, “Aku tidak mengenalnya!!” Umar menimpali, “Anda tidak tahu Abu Bakar….Tapi Allah mengenal Abu Bakar.”
“Apa yang dilakukannya di sini?” tanya Umar melanjutkan. “Yang dilakukannya,” kata nenek tersebut, “menyapu rumah kami, memerah susu dari domba-domba kamu, membuat makanan untuk kami lalu ia keluar (pergi).”
Jawaban itu membuat Umar terenyuh sembari menepuk kepalanya sendiri seraya menangis dan berkomentar, “Wahai Abu Bakar, engkau telah melelahkan (membuat payah) khalifah-khalifah setelahmu.” (Aidh Al-Qarni, 2000: 63)
Memang benar, Abu Bakar dengan teladan demikian akan membuat pemimpin-pemimpin setelahnya kesusahan untuk meneladani contoh yang sama. Apa yang dilakukan Abu Bakar adalah blusukan  untuk membantu rakyat di malam hari. Itu jalan sunyi, dan tidak semua orang mau dan tertarik melakukannya.
Terlebih di era melenial dan digital seperti saat ini, yang mana kecanggihan teknologi begitu memfasilitasi pencitraan dan eksistensi diri di media sosial, maka apa yang dilakukan Abu Bakar akan terasa sangat asing, padahal itu adalah contoh konkret dari pemimpin teladan.
Blusukan  Gaya Umar bin Khattab
Pada suatu malam, Umar bin Khattab pergi melihat kondisi rakyat di wilayah Madinah. Bertemulah keduanya suatu gubuk. Setelah diperiksa, rupanya di dalamnya ada wanita menangis karena merasakan sakit menjelang kelahiran. Ketika perempuan itu ditanya mengenai keadaannya, lantas dijawab, “Saya adalah perempuan asing dan tidak memiliki apa-apa.”
Seketika Umar lekas pergi ke rumahnya memanggil istrinya (Ummi Kaltsum binti Ali) untuk membantu persalinan. Pada kesempatan itu, Umar juga membawa bahan makanan (tepung dan lemak). Tanpa berpikir panjang, sang istri mengiyakan sembari membawa perlengkapan persalinan.
Sesampainya di lokasi, Ummi Kaltsum segera menanganinya. Sedangkan Umar berbincang dengan suami wanita asing itu (sampai detik itu orang asing itu tidak tahu bahwa itu adalah Umar sang khalifah agung). Setelah proses berjalan lancar dan lahir anak laki-laki, secara reflek Ummu Kaltsum berkata, “Wahai Amirul Mukminin berilah kabar gembira kepada sahabatmu, ia dikaruniai anak lelaki!”
Setelah laki-laki asing itu mendengarnya, ia begitu kaget ternyata yang membantunya adalah langsung orang nomer umat Islam. Ia pun memohon maaf kepada Umar (karena mungkin merasa tidak bersikap hormat sebagai rakyat). Umar pun berkata kepadanya, “Tak masalah!” Kemudian Umar memberikan apa yang diperlukannya lantas pergi.
Di malam yang lain, Umar pernah mendengar bayi yang berusia beberapa bulan menangis. Kemudian didatangilah sang ibu dan dinasihati sampai beberapa kali. Ternyata, anak itu tetap nangis semalaman. Akhirnya Umar bertanya mengenai kondisi sebenarnya. Rupanya sang ibu sedang menyapih anaknya. Ia pun menanggapi ketika ditanya Umar mengenai alasannya, “Karena Umar tidak mewajibkan memberi tunjangan kepada anak-anak melainkan yang sudah disapih.”
Setelah ditanya secara detail, ternyaya anaknya belum waktunya disapih. Akhirnya Umar mengintruksikan jangan disapih sebelum waktunya. Pada waktu shalat Shubuh usai, ia pergi ke orang-orang –dengan mata berlinang- sembari mengintruksikan, “Jangan cepat-cepat menyapih anak-anak kalian. Aku akan memberi tunjangan kepada setiap bayi dalam Islam.” Intruksi itu ditetapkan di berbagai penjuru negeri Islam.
Kisah lain yang juga populer adalah ketika suatu malam Umar mendapati seorang ibu di tungku masakan yang dikelilingi anaknya yang sedang melilit kelaparan. Ketika ditanya, ternyata itu hanya untuk mengelabui anaknya supaya tidur, karena sebenarnya tidak punya bahan makanan sama sekali. Mendengar jawabannya, Umar terenyuh lantas pergi ke gudang tepung. Bahan makanan tersebut diangkat sendiri dan diberikan kepada wanita yang sedang butuh itu. Bahkan, ia sendiri yang memasaknya. Ketika sudah matang, mereka dibangunkan, mereka pun kenyang dan tertidur lelap. Kemudian sang khalaifah pergi –tanpa diketahui identitasnya oleh wanita tersebut- dan ia berujar, “Ternyata, yang membuat mereka tak bisa tidur malam dan menangis adalah kelaparan!” (Husain Haikal, 1972: 195, 196)
Dari kedua contoh blusukan  dua pemimpin Islam agung ini, ada banyak pelajaran yang bisa diteladani oleh para pemimpin: blusukan  itu bagus, tapi tujuannya bukan sekadar untuk pencitraan. Abu Bakar dan Umar menginspeksi kondisi rakyatnya benar-benar tulus. Pergi di malam hari di saat kebanyakan orang tidur dan sama sekali tidak menunjukkan identitas pribadinya sebagai khalifah. Bagi mereka berdua, kemaslahatan rakyat jauh lebih penting daripada pencitraan diri; karena tanggung jawab di akhirat begitu besar.*/Mahmud Budi Setiawan

(Dipublikasikan Hidyatullah.com pada Senin, 2 Juli 2018 - 23:41 WIB)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan