Home » , , » Ulama Jangan Jadi Alat Penguasa

Ulama Jangan Jadi Alat Penguasa

Written By Amoe Hirata on Selasa, 28 Agustus 2018 | 10.00

Ulama Jangan Jadi Alat Penguasa

ULAMA di negeri ini, dari masa ke masa, kebanyakan lebih sering dijadikan alat oleh penguasa untuk mewujudkan ambisinya. Kala butuh, ulama dirangkul; ketika hajat sudah terpenuhi, mereka “didengkul”. Ini tak terkecuali, sejak penjajah bercokol, hingga era digital. Ulama menjadi kawan ketika diperlukan dan menjadi lawan saat ambisi telah terealisasikan.

Aji Dedi Mulawarman dalam buku “Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokro Aminoto” (2015: 102, 103), menyebutkan contoh konkret. Di zaman penjajahan Belanda, ada ulama yang diperalat penguasa. Sosok itu bernama Usman Husaini, seorang penasihat honorer alias bayaran Belanda untuk urusan masyarakat Arab.
Tokoh keturunan Arab ini sebenarnya adalah mufti Betawi. Jabatan yang begitu mentereng ini ternyata digunakan oleh Belanda untuk memenuhi ambisi mereka. Meski sebagai mufti(pemberi fatwa), namun pernyataan-pernyataannya kerap merugikan kegiatan pergerakan Islam yang kala itu adalah Sarekat Islam.
Dalam tulisan yang berjudil “Minhaj Al-Istiqamah fi Al-Din bi Al-Salamah” misalnya, mengatakan bahwa Islam bukanlah gerakan perlawanan tapi kedamaian. Sehingga, tidak selayaknya umat Islam melakukan gerakan perlawanan seperti Sarekat Islam. Pendapatnya ini tentu sangat menguntungkan Belanda yang sedang menggunakan strategi “Devide et Impera” untuk menghancurkan Sarekat Islam dari dalam.
Gerakan Usman Husaini ini ternyata tak hanya cukup pada rana interpretasi saja, dia juga menyebarkan pamflet di seluruh lapisan masyarakat yang menyudutkan SI (Sarekat Islam). SI dan Pak Tjokro dituduh tidak islami sama sekali dalam menjalankan aktivitasnya. Sehubungan dengan hal ini, lebih lengkapnya, bisa dibaca dalam buku karya Sjafrizal Rambe yang berjudul “Sarekat Islam: Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942”, halaman: 70, 71.
Dalam buku “Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatra” (1977: 22) disebutkan bahwa sebagaimana raja-raja, sebagian ulama ada yang dijadikan alat kolonial untuk mengamankan dan menjaga stabilitas kekuasaan kolonial di bumi putra. Cara ini memang begitu efektif untuk melanggengkan kekuasaan.
Sementara ulama-ulama yang hanif dan berjuang teguh untuk mewujudkan kemerdekaan, pasti akan diberangus oleh kolonial, utamanya yang berjuang di ranah politik. Salah satu nasihat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda adalah sebagai berikut, “Yang harus ditakuti pemerintah (maksudnya: Belanda) adalah bukanlah Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik.” Islam jenis ini dipimpin oleh ulama yang lurus. Merekalah yang menjadi motor penggerak perjuangan. Karenanya, ulama jenis ini harus dihabisi. Sedangkan yang bisa dijadikan alat, harus tetap dipelihara.
Itulah mengapa, kata-kata masyhur yang dinisbatkan orang kepada Buya Mohammad Natsir ini penting untuk dicermati, beliau pernah berucap, “Islam beribadah, akan dibiarkan, Islam berekonomi, akan diawasi, Islam berpolitik, akan dicabut seakar-akarnya.” Dan ini tidak lepas dari peran ulama pejuang yang tak mau dijadikan alat oleh penguasa.
Pada masa Jepang pun, ulama ada yang dijadikan alat penguasa untuk memuluskan ambisinya. Di depan peserta konferensi dakwah, KH. Wahid Hasyim (1913-1953) di antaranya menyatakan bahwa Pemerintah Hindia Belanda dan Jepang tahu betul harga kedudukan ulama. Karena itu, keduanya menjadikan ulama sebagai alat untuk mempertahankan serta memperkokoh kedudukan mereka sebagi penguasa. Bahkan, Jepang memasukkan ulama sebaga alat strategis untuk mencapai kemanangan akhir dalam perang Asia Timur Raya saat melawan sekutu (Choirotun, 2008: 99).
Disepakatinya Piagam Jakarta oleh ulama dan bapak bangsa masih belum lekang dari ingatan umat. Di dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun, sehari kemudian (18 Agustus 1945), kata-kata yang merupakan hasil kesepakatan tersebut dihapus dan diganti menjadi “yang maha esa”.
Kasman Singodimejo yang membujuk Ki Bagus Hadikusumo untuk menghapus tujuh kata akibat ucapan Soekarno pada akhirnya merasa bersalah terhadap penghapusan tujuh kata itu. Perhatikan janji manis Soekarno kepada Kasman, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-Undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk . Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silakan perjungkan di situ.” Ternyata, enam bulan kemudian janji itu tak ditepati.
Kepada Daud Beureueh, tokoh pejuang dan ulama Aceh, Ir. Soekarno juga pernah menjanjikan, “Wallah, billah, daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat aceh benar-benar bisa melaksanakan syariat Islam. Apakah kakak masih ragu?” Kata-kata yang disampakain Soekarno sambil terisak ini nyatanya hanya janji yang tak ditepati. Padahal, Beureueh sudah mengerahkan rakyat Aceh untuk berjuang membantu Soekarno. Wajah jika kemudian ia melakukan pemberontakan.
Demikian selalu polanya tidak berubah. Ulama seringkali dijadikan alat untuk mewujudkan ambisi. Pada era setelah Soekarno misalnya, dari Orde Baru hingga sekarang ulama sering kali tetap dijadikan sebagai alat penguasa. Siapa yang menyangka, Soeharto dengan pembawaan kalem yang dulunya terlihat sebagai antitesa bagi Orde Lama dan dekat dengan ulama, justru dalam perjalanannya memusuhi ulama. Baru di akhir-akhir pemerintahannya, mulai mendekati ulama, sampai ia jatuh dari kursi kekuasaannya.
Pada era selanjutnya, cara-cara ini tak kunjung usai. Ulama dan umat seringkali dijadikan pendorong mobil mogok. Mereka dijadikan alat untuk memenangkan kampanye politisi. Saat pemilu tiba, berbagai partai –bahkan nasionalis sekalipun—berlomba mendekati ulama untuk mendulang suara. Namun, setelah menjadi penguasa atau mendapat jabatan yang diidamkan, seolah-olah lupa terhadap ulama. Ibarat peribahasa: habis manis, sepah dibuang. Janji pun hanya sekadar janji.
Dari sejarah, seyogianya para ulama dan umat bisa mengambil ibrah. Sungguh ironis, jika pola yang digunakan penguasa atau orang yang hendak mencari kekuasaan ini terus berulang dengan menggunakan ulama dan suara umat. Ulama adalah pewaris para nabi. Ia seharusnya menjadi suluh dan penggerak umat untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam. Bukan sekadar menjadi alat penguasa, bukan sekadar menjadi pendorong mobil mogok yang akhirnya ditinggal pergi.*
Penulis alumni Universitad Al Azhar, Kairo dan Pendidikan Kader Ulama (PKU), PP Darussalam – Gontor

(Diposting oleh Hidayatullah.com pada Senin, 13 Agustus 2018 - 12:34 WIB)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan