DI sebuah pengajian, ada orang yang dengan mantap
mengatakan, "Kita tidak boleh merasa benar sendiri. Kebenaran itu relatif.
Masing-masing mengandung kebenaran. Bedakan antara tafsir al-Qur`an dengan
al-Qur`an. Yang berhak menilai adalah Tuhan. Jangan merasa paling benar. Sesama
murid jangan saling mengisi rapot," dan masih banyak lagi yang lainnya.
Mendengar
pernyataan tersebut, Sarikhuluk tidak langsung menyalahkannya, tetapi
dipecahkan dalam diskusi yang hangat. Pada waktu itu yang hadir adalah 5S (Sarijan,
Sabrini, Salikin, Sirojudin, dan Salamudin).
Aku
mau mengkritisi statemen yang pertama, "Kita tidak boleh merasa benar
sendiri," lha kenapa tidak boleh? Mestinya di-clear-kan terlebih dahulu,
kebenaran macam apa yang tidak boleh merasa benar sendiri. Dalam agama kan ada
yang namanya al-haq,
al-shawab, al-shahih, as-Shadiq. Masing-masing adalah kebenaran tapi tidak
bisa digeneralisir statusnya. Kalau al-haq (kebenaran mutlak) seperti Islam
disenggol, ditarik-tarik ke wilayah tidak boleh merasa benar sendiri, maka saya
sangat tidak setuju," tukas Sarijan.
Sabrini
tak kalah analisis, "Bagiku," tuturnya dengan logat Madura,
"agak konyol juga pernyataan kebenaran itu relatif. Ya tidak semua toh
yang relatif. Aku ini diciptakan sebagai laki-laki Allah, masak relatif,
sehingga orang bisa menyebutku laki-laki tapi wanita, wanita tapi laki-laki dan
lain sebagainya. Mungkin kalau masalah masakan, selera, pendapat dalam bidang ikhtilaf furu'iyyah (perbedaan dalam ranah fikih yang
bersifat dinamis dan nisbi) itu masih bisa ditolerir, jadi tidak bisa di-gebyah
uyah dong."
"Emang
kalau masing-masing mengandung kebenaran terus kita tidak boleh merasa benar
sendiri? Kalau itu di-ta'mim (dipukul rata) maka sungguh kejahatan
intelektual tingkita wahid. Lha gimana
kalau aku orang Islam, ya aku bilang paling benar Islam, meski dalam Kristen
masih ada kebenaran juga. Tapi dalam masalah akidah sangat dan harus jelas
posisiku. Tapi kalau masalah selera milih cewek ya boleh sajalah ga boleh
merasa paling benar. Itupun ada standar kecantikan juga donk. Misalnya, ada ga
yang bilang Cinta Laura jelek misalnya?" sambung Salikin.
Sirojudin
mencoba urun (nyumbang)
pendapat, "Ya kita husnuddan dulu barangkali orang itu tidak
berniat mengeneralisir, meng-gebyah uyah, men-ta'mim, alias memukul rata. Tapi kalau
ungakapan, "Bedakan antara tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an sendiri yang
berkonsekuensi kebenaran nisbi dan mutlak maka akau jelas tidak setuju. Piye, ungkapan ini sangat
dimuati oleh aliran subyektifisme, relativisme, agnotisisme, dan isme yang
menisbikan kebenaran. Lha kalau misalnya tafsir yang
merupakaian domain ulama dinisbikan, pasti nanti akan berdampak kepada
produk-produk hukum yang sudah ada. Lalu apa fungsinya ulama sebagai waratsatul anbiya (pewaris para Nabi) kalau tidak
ada kebenaran mutlak. Malah aku pernah denger tokoh politik yang ngomong lebih parah dari
itu: Tuhan lebih tau makna al-Qur`an. Ini sangat indah, tapi jelas retorikanya
bikin celaka orang dan tentu membingungkan. Dalam al-Qur`an kan ada wilayah muhkamat, mutasyabihat, 'aam, khas, dan
idiomatik lainnya. Kalau doktrin relativisme ini menjadi sandaran, maka hancur
lebur pemahaman agama."
"Oke,
aku akan mborong"
Salamudin berseloroh, "tiga setatemen terakhir: Yang berhak menilai adalah
Tuhan. Jangan merasa paling benar. Sesama murid jangan saling mengisi rapot.
Akan aku runtuhkan dengan satu pertanyaan, "Benar ga statemen yang Anda
bicarakan?" Kalau ketiga statemen itu benar, berarti ia telah merasa benar
sendiri dan itu bertentangan dengan statemennya sendiri. Tapi kalau dia bilang
relatif dan nisbi, maka jatuh juga argumentasinya. Buat apa coba mengikuti
sesuat yang tidak jelas jluntungan-nya
dan kebenarannya."
"Its
oke, yang berhak menilai adalah Tuhan. Tapi tunggu dulu, dalam ranah
apa? Tidak semua Tuhan harus turun langsung. Kalau indikator kekafiran,
kemunafikan, kefasikan, kefajiran itu sudah benar-benar nyata, ya bolehlah
ulama menilainya. Buat apa dong Tuhan memberikan indikator itu kalau hanya
dijadikan aksesoris? Dalam khazanah fikih ada istilah nahnu nahkum bid dhawahir (yang kita hukumi adalah yang
lahiriahnya) sedangkan urusan batin ya domain Allah. Kalau pendapat itu
digeneralisir dalam semua lini, ya lucu toh. Misalnya, "Ada orang yang
menerobos rambu-rambu lalu lintas terkena tilang, kemudian polisi menanyakan:
'mana surat-surat motormu?' 'Tidak punya pak' 'Anda saya tilang karena tidak
punya surat dan tidak tertib lalu lintas. Jadilah contoh yang baik.' Bayangin,
jika si pelanggar lalu lintas bilang, "Yang tahu saya tertib dan baik hanya
Tuhan pak, Anda tidak punya hak untuk itu," gubraaaaak, pasti si polisi
bukan saja menilang tapi juga bisa jadi me-menempeleng.
"Merasa
paling benar, boleh kalau dalam masalah ushul (inti pokok agama yang ga
berubah-ubah) istilah lainnya adalah tsawabit.
Kalau yang mutaghayyirat (dinamis) yang masuk dalam lingkup ijtihadi fiqhiy (ijtihad fikih) maka kita tidak
boleh merasa benar sendiri kecuali dalam level mujtahid. Para imam
mujtahid merasa benar pendapatnya dan kadang menyalahkan yang lainnya karena
levelnya adalah mujtahid. Tapi ingat, mereka tetap menjaga akhlak dengan
mengatakan, 'Pendapat saya benar tapi ada kemungkinan salah. Pendapat yang lain
salah tapi ada kemungkinan benar.' Mereka mencontohkan akhlak ikhtilaf yang terpuji. Itu
kalau dalam ranah fiqih
ijtihadi lho ya."
"Sesama
murid dilarang mengisi rapot. Tunggu dulu, ada yang tidak sinkron antara yang
dianalogikan dengan analoginya. Allah dianalogikan sebagai guru; seadangkan
murid di analogikan sebagai murid. Okelah kalau Allah dikatakan sebagai guru
dalam pengertian mu'allim,
murabbi, tapi kan ga layak disepadankan seperti manusia dan di
persempit pada wilayah sekolahan. Kemudian, yang dikatakan murid (yaitu
manusia) itu kan beragam: ada ulama, intelektual, orang biasa dan lain
sebagainya. Ga bisa dong di sama ratakan bahwa masing-masing tidak bisa
mengklaim kebenaran sepihak dan tidak boleh merasa benar. Ini sama saja
menafikan spesialisasi. Kalau analogi ini diteruskan, maka bisa bahaya
nanti," tutup Salamudin.
Sarikhluk
senyum-senyum saja mendengar pendapat 5S. Merekapun serempak bertanya,
"Kenapa Cak kok ketawa?" "Lha, kalian belum apa-apa
sudah mbahas isi. Dalam khazanah ilmu hadits kita diajarkan tabayyun, tatsabbut, klarifikasi
terlebih dahulu: siapa pembicaranya? benarkah dia mengatakan demikian? Kalau
benar apa benar maksudnya seperti yang kalian bicarakan? Makanya perlu ada shilaturrahim dan klarifikasi kepada
pembicaranya. Jangan sampai kita menjadi orang yang bersumbu pendek. Kritis
boleh, tapi juga jangan sekadar bombastis dan tidak adil dalam menilai
seseorang."
"Tunggu
dulu Cak tak potong sebentar," sahut Sarijan, "pernyataan sampean
barusan itu kebenaran mutlak atau relatif?" gubraaaaaak "Capek
deh, bukan relativisme Jan, tapi rela tipis-tipis, hehehe," reaksi Sarikhuluk sambil menepuk jidat dengan tangan kanannya. Tanpa
terasa mentari sudah terbenam di ufuk barat. Semburat cahaya merah telah nampak,
shalat Maghrib pun sudah tiba sehingga diskusi harus ditunda sampai batas waktu
yang belum ditentukan. Sekian.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !