Home » , , » Relativisme dan Relatipis-tipisme Kebenaran Agama

Relativisme dan Relatipis-tipisme Kebenaran Agama

Written By Amoe Hirata on Jumat, 06 Januari 2017 | 11.29

DI sebuah pengajian, ada orang yang dengan mantap mengatakan, "Kita tidak boleh merasa benar sendiri. Kebenaran itu relatif. Masing-masing mengandung kebenaran. Bedakan antara tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an. Yang berhak menilai adalah Tuhan. Jangan merasa paling benar. Sesama murid jangan saling mengisi rapot," dan masih banyak lagi yang lainnya.


Mendengar pernyataan tersebut, Sarikhuluk tidak langsung menyalahkannya, tetapi dipecahkan dalam diskusi yang hangat. Pada waktu itu yang hadir adalah 5S (Sarijan, Sabrini, Salikin, Sirojudin, dan Salamudin).

Aku mau mengkritisi statemen yang pertama, "Kita tidak boleh merasa benar sendiri," lha kenapa tidak boleh? Mestinya di-clear-kan terlebih dahulu, kebenaran macam apa yang tidak boleh merasa benar sendiri. Dalam agama kan ada yang namanya al-haq, al-shawab, al-shahih, as-Shadiq. Masing-masing adalah kebenaran tapi tidak bisa digeneralisir statusnya. Kalau al-haq (kebenaran mutlak) seperti Islam disenggol, ditarik-tarik ke wilayah tidak boleh merasa benar sendiri, maka saya sangat tidak setuju," tukas Sarijan.

Sabrini tak kalah analisis, "Bagiku," tuturnya dengan logat Madura, "agak konyol juga pernyataan kebenaran itu relatif. Ya tidak semua toh yang relatif. Aku ini diciptakan sebagai laki-laki Allah, masak relatif, sehingga orang bisa menyebutku laki-laki tapi wanita, wanita tapi laki-laki dan lain sebagainya. Mungkin kalau masalah masakan, selera, pendapat dalam bidang ikhtilaf furu'iyyah (perbedaan dalam ranah fikih yang bersifat dinamis dan nisbi) itu masih bisa ditolerir, jadi tidak bisa di-gebyah uyah dong."

"Emang kalau masing-masing mengandung kebenaran terus kita tidak boleh merasa benar sendiri? Kalau itu di-ta'mim (dipukul rata) maka sungguh kejahatan intelektual tingkita wahid. Lha gimana kalau aku orang Islam, ya aku bilang paling benar Islam, meski dalam Kristen masih ada kebenaran juga. Tapi dalam masalah akidah sangat dan harus jelas posisiku. Tapi kalau masalah selera milih cewek ya boleh sajalah ga boleh merasa paling benar. Itupun ada standar kecantikan juga donk. Misalnya, ada ga yang bilang Cinta Laura jelek misalnya?" sambung Salikin.

Sirojudin mencoba urun (nyumbang) pendapat, "Ya kita husnuddan dulu barangkali orang itu tidak berniat mengeneralisir, meng-gebyah uyah, men-ta'mim, alias memukul rata. Tapi kalau ungakapan, "Bedakan antara tafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an sendiri yang berkonsekuensi kebenaran nisbi dan mutlak maka akau jelas tidak setuju. Piye, ungkapan ini sangat dimuati oleh aliran subyektifisme, relativisme, agnotisisme, dan isme yang menisbikan kebenaran. Lha kalau misalnya tafsir yang merupakaian domain ulama dinisbikan, pasti nanti akan berdampak kepada produk-produk hukum yang sudah ada. Lalu apa fungsinya ulama sebagai waratsatul anbiya (pewaris para Nabi) kalau tidak ada kebenaran mutlak. Malah aku pernah denger tokoh politik yang ngomong lebih parah dari itu: Tuhan lebih tau makna al-Qur`an. Ini sangat indah, tapi jelas retorikanya bikin celaka orang dan tentu membingungkan. Dalam al-Qur`an kan ada wilayah muhkamat, mutasyabihat, 'aam, khas, dan idiomatik lainnya. Kalau doktrin relativisme ini menjadi sandaran, maka hancur lebur pemahaman agama."

"Oke, aku akan mborong" Salamudin berseloroh, "tiga setatemen terakhir: Yang berhak menilai adalah Tuhan. Jangan merasa paling benar. Sesama murid jangan saling mengisi rapot. Akan aku runtuhkan dengan satu pertanyaan, "Benar ga statemen yang Anda bicarakan?" Kalau ketiga statemen itu benar, berarti ia telah merasa benar sendiri dan itu bertentangan dengan statemennya sendiri. Tapi kalau dia bilang relatif dan nisbi, maka jatuh juga argumentasinya. Buat apa coba mengikuti sesuat yang tidak jelas jluntungan-nya dan kebenarannya."

"Its oke, yang berhak menilai adalah Tuhan. Tapi tunggu dulu, dalam ranah apa? Tidak semua Tuhan harus turun langsung. Kalau indikator kekafiran, kemunafikan, kefasikan, kefajiran itu sudah benar-benar nyata, ya bolehlah ulama menilainya. Buat apa dong Tuhan memberikan indikator itu kalau hanya dijadikan aksesoris? Dalam khazanah fikih ada istilah nahnu nahkum bid dhawahir (yang kita hukumi adalah yang lahiriahnya) sedangkan urusan batin ya domain Allah. Kalau pendapat itu digeneralisir dalam semua lini, ya lucu toh. Misalnya, "Ada orang yang menerobos rambu-rambu lalu lintas terkena tilang, kemudian polisi menanyakan: 'mana surat-surat motormu?' 'Tidak punya pak' 'Anda saya tilang karena tidak punya surat dan tidak tertib lalu lintas. Jadilah contoh yang baik.' Bayangin, jika si pelanggar lalu lintas bilang, "Yang tahu saya tertib dan baik hanya Tuhan pak, Anda tidak punya hak untuk itu," gubraaaaak, pasti si polisi bukan saja menilang tapi juga bisa jadi me-menempeleng.

"Merasa paling benar, boleh kalau dalam masalah ushul (inti pokok agama yang ga berubah-ubah) istilah lainnya adalah tsawabit. Kalau yang mutaghayyirat (dinamis) yang masuk dalam lingkup ijtihadi fiqhiy (ijtihad fikih) maka kita tidak boleh merasa benar sendiri kecuali dalam level mujtahid. Para imam mujtahid merasa benar pendapatnya dan kadang menyalahkan yang lainnya karena levelnya adalah mujtahid. Tapi ingat, mereka tetap menjaga akhlak dengan mengatakan, 'Pendapat saya benar tapi ada kemungkinan salah. Pendapat yang lain salah tapi ada kemungkinan benar.' Mereka mencontohkan akhlak ikhtilaf yang terpuji. Itu kalau dalam ranah fiqih ijtihadi lho ya."

"Sesama murid dilarang mengisi rapot. Tunggu dulu, ada yang tidak sinkron antara yang dianalogikan dengan analoginya. Allah dianalogikan sebagai guru; seadangkan murid di analogikan sebagai murid. Okelah kalau Allah dikatakan sebagai guru dalam pengertian mu'allim, murabbi, tapi kan ga layak disepadankan seperti manusia dan di persempit pada wilayah sekolahan. Kemudian, yang dikatakan murid (yaitu manusia) itu kan beragam: ada ulama, intelektual, orang biasa dan lain sebagainya. Ga bisa dong di sama ratakan bahwa masing-masing tidak bisa mengklaim kebenaran sepihak dan tidak boleh merasa benar. Ini sama saja menafikan spesialisasi. Kalau analogi ini diteruskan, maka bisa bahaya nanti," tutup Salamudin.

Sarikhluk senyum-senyum saja mendengar pendapat 5S. Merekapun serempak bertanya, "Kenapa Cak kok ketawa?" "Lha, kalian belum apa-apa sudah mbahas isi. Dalam khazanah ilmu hadits kita diajarkan tabayyun, tatsabbut, klarifikasi terlebih dahulu: siapa pembicaranya? benarkah dia mengatakan demikian? Kalau benar apa benar maksudnya seperti yang kalian bicarakan? Makanya perlu ada shilaturrahim dan klarifikasi kepada pembicaranya. Jangan sampai kita menjadi orang yang bersumbu pendek. Kritis boleh, tapi juga jangan sekadar bombastis dan tidak adil dalam menilai seseorang."

"Tunggu dulu Cak tak potong sebentar," sahut Sarijan, "pernyataan sampean barusan itu kebenaran mutlak atau relatif?" gubraaaaaak "Capek deh, bukan relativisme Jan, tapi rela tipis-tipis, hehehe," reaksi Sarikhuluk sambil menepuk jidat dengan tangan kanannya. Tanpa terasa mentari sudah terbenam di ufuk barat. Semburat cahaya merah telah nampak, shalat Maghrib pun sudah tiba sehingga diskusi harus ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan. Sekian.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan