"Kuncinya Ikhlas Mas!"
Written By Amoe Hirata on Jumat, 17 Maret 2017 | 20.13
MENJELANG senja, di sepanjang jalan KH. Abdullah Syafi’i, kendaraan masih terlihat padat
merayap. Bunyi klakson bersahutan laksana katak di musim penghujan. Dalam
koondisi demikian, aku tetap berjalan seperti biasa dengan santai dari kantor
menuju depan Alfa Mart untuk menunggu mikrolet no 44 menuju terminal Kampung
Melayu.
HIMAS IN MEMORIAM
PADA satu dasawarsa lebih yang lalu, saat masih di pesantren, ada
perkumpulan kecil-kecilan yang diisi oleh santri-santri (lulusan 2006) Ma’had
Al-Ittihad Al-Islami Camplong, Sampang, Madura. Kumpulan ini diberi nama Himas
yang merupakan akronim dari himayatul islam. Sosok seperti Muhammad
Iqbal Mukhlis, Ihya Ulumuddin, Ihsan Farid, Suwandi, Luthfi Ramdhan Andri
Permana, dan aku sendiri adalah inisiator gerakan ini.
Mbah Kasiah in Memoriam

“AKU tidak tahu akan mati kapan. Yang jelas aku minta kepada Allah subhanahu wata'ala agar dimatikan dalam kondisi sembahyang, bukan dalam kondisi sakit. Aku tidak
mau merepotkan anak-anakku. Aku berharap anak dan cucuku hidup aman, tentram
dan rukun,” demikian memori yang pernah aku dengar sendiri pada tahun 2011
saat beliau masih sugeng dan seger waras.
Jilbab Berbalut Takwa
Written By Amoe Hirata on Senin, 06 Maret 2017 | 13.42
“Mau beli apa ke Tanah Abang?” tanya Puji ketika
Dila mengajaknya secara mendadak. Mereka baru selesai mengikuti kajian di
bilangan Tebet siang ini.
“Mungkin mau beli jilbab
dan beberapa lembar pakaian. Lo gak ada acara lagi `kan abis ini, anterin ya!”
pinta Dila dengan penuh harap. Sejenak Puji berpikir apakah dirinya bisa pergi.
“Okelah, ayo..,” Puji kemudian setuju.
Ibu Karir & Ibu Rumah Tangga
Written By Amoe Hirata on Jumat, 03 Maret 2017 | 19.42
AKU berlari seperti orang gila. Tak peduli orang-orang memandangiku dengan pandangan heran atau mungkin risih karena melihat ibu-ibu sepertiku dengan pakaian kerja rapi, dengan membawa banyak tentengan di tangannya, dan berlarian di jalan malam-malam begini. Aku tetap bergegas sambil terus saja kupandangi jam di tanganku. Waktu menunjukan pukul 20.30. Aku terlambat. Tidak! Aku sangat terlambat. Untuk kesekian kalinya aku membiarkan anakku menunggu terlalu lama. Seharusnya dari jam lima sore aku menjemputnya di tempat penitipan anak tapi karena pekerjaan kantor menuntutku untuk lembur, aku harus siap dengan ini semua.
Tokoh Muslim "Bayaran"
Written By Amoe Hirata on Kamis, 02 Maret 2017 | 19.07
PADA tonggak perjuangan
umat Islam, dalam kondisi kuat, kaum munafik tidak pernah absen menginfiltrasi.
Salah satu bukti riilnya, termanivestasi pada tokoh-tokoh muslim yang dengan
kepentingan pragmatisnya bisa membela siapa saja dan menjual harga diri asal
ada honornya. Sikap demikian tentu menjadi ciri khas orang munafik. Al-Ma`idah
[5] ayat 52, secara clear (terang) menggambarkan fenomena ini. Mereka
rela bergabung dengan orang kafir, asal kepentingan pribadi tidak terganggu dan
bisa terpenuhi.