PADA satu dasawarsa lebih yang lalu, saat masih di pesantren, ada
perkumpulan kecil-kecilan yang diisi oleh santri-santri (lulusan 2006) Ma’had
Al-Ittihad Al-Islami Camplong, Sampang, Madura. Kumpulan ini diberi nama Himas
yang merupakan akronim dari himayatul islam. Sosok seperti Muhammad
Iqbal Mukhlis, Ihya Ulumuddin, Ihsan Farid, Suwandi, Luthfi Ramdhan Andri
Permana, dan aku sendiri adalah inisiator gerakan ini.
Kelompok alit ini diinisiasi atas keprihatinan internal anggota melihat tradisi keilmuan yang geliatnya tidak begitu kencang. Padahal, kebesaran nama Persis yang menjadi latar ma’had, pada zamannya adalah gerakan yang sangat aktif di garda depan dalam bidang keilmuan, khususnya dalam masalah fikih dan perlawanan terhadap pehaman-pemahaman menyimpang.
Melalui corong majalah
Pembela Islam di era tahun 1920-an sampai 1930-an Persis aktif membela Islam (dalam
pengertian melawan pemikiran menyimpang) melalui jalur jurnalistik. Sosok
seperti Ahmad Hassan (Guru Utama Persis) dan Muhammad Natsir (selaku murid A.
Hassan) adalah figur-figur yang sangat
aktif membela Islam.
Saat itu, yang dihadapi bukan
saja masalah bid’ah, khurafat , dan tahayyul, tapi juga ancaman para zending,
pendiskreditan Islam oleh tokoh nasionalis sekular, aliran menyimpang seperti
Ahmadiyah, bahkan pernah berpolemik dengan Soekarno tentang Islam dan
kebangsaan.
Menurut Federspiel, Pembela
Islam pertama kali muncul pada tahun 1929. Merupakan majalah yang terbit
dua-bulanan yang berupaya menjunjung tinggi Islam dengan menanggapi serangan-serangan
yang dilancarkan terhadap Islam. Waktu
itu oplahnya mencapai sekitar 2.000. Sampai akhirnya tidak mendapat izin terbit
karena sangat keras mengkritik tulisan penulis Kristen yang menyerang Islam (2001
: 92-93).
Menurut Thahir Luth dalam
buku: M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya (1999:37), majalah ini bukan
saja ditujukan kepada dunia Barat yang terpelajar, tetapi juga pada
pengertian-pengertian atau kebiasaan-kebiasaan yang salah menurut Pembela
Islam. Majalah ini dikenal dengan kritik yang sangat tajam dan tak pernah
kompromi.
Artawijaya dalam buku Belajar
dari Partai Masjumi (2014 : 5-6) menyebutkan, lahirnya majalah Pembela
Islam karena kekecewaan Natsir dan kawan-kawan dalam Komite Pembela Islam
terhadap Surat kabar Belanda yang tidak adil dalam memuat polemik antara Natsir
dan Pendeta Christoffels yang mngkritik Muhammad melalui pidatonya yang
kemudian disebarkan dalam surat kabar Algemeen Indisch Dagblad (AID).
Bantahan Natsir pertama masih dimuat, namun untuk yang kedua kalinya tidak
dimuat. Kekecewaan inilah yang membidani lahirnya majalah Pembela Islam.
Singkat cerita, gerakan
Himas terinspirasi dari majalah Pembela Islam. Mengapa himayatul islam ?
karena waktu itu, berdasarkan majalah Pembela Islam yang ada di perpustakaan ma’had,
pembela Islam diarabkan menjadi himayatul islam. Walaupun menurut aku pribadi
lebih pas diartikan pembelaan Islam.
Iintinya, Himas adalah klub studi kecil-kecilan yang diisi dengan semangat penelitian dan pengkajian. Waktu itu, seingatku sudah dibagi penelitian sesuai dengan kecendrungan dan posisi masing-masing. Ada yang mengampu fikih, sejarah, hadits, al-Qur`an, bahkan kaderisasi dakwah.
Menariknya, yang masih
segar dalam ingatanku, kelompok ini bukan saja bergelut pada wilayah akademis,
tapi juga bergabung dalam grup makan. Kala itu, kami berenam beli nampan besar
untuk dijadikan makan bersama. Saat-saat yang paling menyenangkan adalah ketika
makan, karena pas makan bukan sekadar makan. Kadang-kadang diskusi-diskusi
kecil, dan ide-ide segar juga keluar sketika.
Suasana guyub,
kolektifitas dan kebersamaan sangat kental dengan grup ini. Lebih jauh dari
itu, kelompok studi ini juga pernah berkomitmen untuk secara intensif menimba
langsung ilmu dari Ustadz. Anam, seorang ustadz yang kami anggap berkompeten
dalam ranah pemikiran Islam dan al-Qur`an.
Uniknya, dari keenam
anggota, semuanya berasal dari wilayah yang berbeda. Ada yang dari Bandung,
Gresik, Talango, Sapeken, Jember dan tegal. Dengan asal dan budaya yang
berbeda, mereka bisa harmoni menjadi satu. Sekat-sekat primordial sudah
dilampaui mereka dengan perkumpulan ini, di saat santri-santri lain masih suka
membanggakan atau paling tidak senang berkumpul hanya dengan sesama daerahnya.
Ada kelebihan, tapi juga
ada kekurangan tentunya. Ada dua hal yang paling tidak menjadi kekurangan,
yaitu: internal dan eksternal. Kekurangan dari sisi internal di antaranya: Pertama,
tidak ada sosok dominan yang mampu mengorganisir kelompok sehingga pada
perjalanannya kurang efektif. Kedua, konsistensi dan semangat yang cendrung
fluktuatif. Ketiga, ulah salah satu anggota yang tidak mau (bisa juga
disebut agak malas) “ngantri nasi” adalah faktor internal yang berpengaruh
dalam kehormonisan kelompok.
Secara eksternal, ada beberapa sebab: Pertama,
terjadi kecemburuan sosial di antara teman kelas, kelompok ini dianggap
sebagai kalangan elitis, bahasa kasarannya negara dalam negara dan kurang
membaur. Kedua, proses kaderisasi yang sebelumnya sudah dibagi tugasnya
melalui liqo-liqo kecil, mandek di tengah jalan. Pada akhirnya, memang
walau masih seumur jagung, dengan suka rela kelompok ini hanya tinggal
kenangan. Ketiga, kurangnya dukungan, baik dari santri maupun para
ustadz.
Setelah keluar dari
pesantren 2006, tentunya sudah hampir sebelas tahun kita tidak bertemu, tapi
mudah-mudahan spirit Himas masih tetap menyala. Sebuah kelompok studi yang
menjunjung nilai penguatan tradisi keilmuan Islam serta menjadi yang terdepan
dalam membela Islam. Semoga pada waktunya nanti, kita bisa kembali bersua.
Tentunya, bukan sekadar reuni, tapi melanjutkan, dan mencanangkan ide-ide besar
dalam payung Himas. Mudah-mudahan terjadi. Kapan? Wallahu a’lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !