Home » » HIMAS IN MEMORIAM

HIMAS IN MEMORIAM

Written By Amoe Hirata on Jumat, 17 Maret 2017 | 13.37

PADA satu dasawarsa lebih yang lalu, saat masih di pesantren, ada perkumpulan kecil-kecilan yang diisi oleh santri-santri (lulusan 2006) Ma’had Al-Ittihad Al-Islami Camplong, Sampang, Madura. Kumpulan ini diberi nama Himas yang merupakan akronim dari himayatul islam. Sosok seperti Muhammad Iqbal Mukhlis, Ihya Ulumuddin, Ihsan Farid, Suwandi, Luthfi Ramdhan Andri Permana, dan aku sendiri adalah inisiator gerakan ini.
            Kelompok alit ini diinisiasi atas keprihatinan internal anggota melihat tradisi keilmuan yang geliatnya tidak begitu kencang. Padahal, kebesaran nama Persis yang menjadi latar ma’had, pada zamannya adalah gerakan yang sangat aktif di garda depan dalam bidang keilmuan, khususnya dalam masalah fikih dan perlawanan terhadap pehaman-pemahaman menyimpang.
            Melalui corong majalah Pembela Islam di era tahun 1920-an sampai 1930-an Persis aktif membela Islam (dalam pengertian melawan pemikiran menyimpang) melalui jalur jurnalistik. Sosok seperti Ahmad Hassan (Guru Utama Persis) dan Muhammad Natsir (selaku murid A. Hassan) adalah figur-figur  yang sangat aktif membela Islam.
            Saat itu, yang dihadapi bukan saja masalah bid’ah, khurafat , dan tahayyul, tapi juga ancaman para zending, pendiskreditan Islam oleh tokoh nasionalis sekular, aliran menyimpang seperti Ahmadiyah, bahkan pernah berpolemik dengan Soekarno tentang Islam dan kebangsaan.
            Menurut Federspiel, Pembela Islam pertama kali muncul pada tahun 1929. Merupakan majalah yang terbit dua-bulanan yang berupaya menjunjung tinggi Islam dengan menanggapi serangan-serangan yang dilancarkan  terhadap Islam. Waktu itu oplahnya mencapai sekitar 2.000. Sampai akhirnya tidak mendapat izin terbit karena sangat keras mengkritik tulisan penulis Kristen yang menyerang Islam (2001 :  92-93).
            Menurut Thahir Luth dalam buku: M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya (1999:37), majalah ini bukan saja ditujukan kepada dunia Barat yang terpelajar, tetapi juga pada pengertian-pengertian atau kebiasaan-kebiasaan yang salah menurut Pembela Islam. Majalah ini dikenal dengan kritik yang sangat tajam dan tak pernah kompromi.
            Artawijaya dalam buku Belajar dari Partai Masjumi (2014 : 5-6) menyebutkan, lahirnya majalah Pembela Islam karena kekecewaan Natsir dan kawan-kawan dalam Komite Pembela Islam terhadap Surat kabar Belanda yang tidak adil dalam memuat polemik antara Natsir dan Pendeta Christoffels yang mngkritik Muhammad melalui pidatonya yang kemudian disebarkan dalam surat kabar Algemeen Indisch Dagblad (AID). Bantahan Natsir pertama masih dimuat, namun untuk yang kedua kalinya tidak dimuat. Kekecewaan inilah yang membidani lahirnya majalah Pembela Islam.
            Singkat cerita, gerakan Himas terinspirasi dari majalah Pembela Islam. Mengapa himayatul islam ? karena waktu itu, berdasarkan majalah Pembela Islam yang ada di perpustakaan ma’had, pembela Islam diarabkan menjadi himayatul islam. Walaupun menurut aku pribadi lebih pas diartikan pembelaan Islam.
            Iintinya, Himas adalah klub studi kecil-kecilan yang diisi dengan semangat penelitian dan pengkajian. Waktu itu, seingatku sudah dibagi penelitian sesuai dengan kecendrungan dan posisi masing-masing. Ada yang mengampu fikih, sejarah, hadits, al-Qur`an, bahkan kaderisasi dakwah.
            Menariknya, yang masih segar dalam ingatanku, kelompok ini bukan saja bergelut pada wilayah akademis, tapi juga bergabung dalam grup makan. Kala itu, kami berenam beli nampan besar untuk dijadikan makan bersama. Saat-saat yang paling menyenangkan adalah ketika makan, karena pas makan bukan sekadar makan. Kadang-kadang diskusi-diskusi kecil, dan ide-ide segar juga keluar sketika.

            Suasana guyub, kolektifitas dan kebersamaan sangat kental dengan grup ini. Lebih jauh dari itu, kelompok studi ini juga pernah berkomitmen untuk secara intensif menimba langsung ilmu dari Ustadz. Anam, seorang ustadz yang kami anggap berkompeten dalam ranah pemikiran Islam dan al-Qur`an.
            Uniknya, dari keenam anggota, semuanya berasal dari wilayah yang berbeda. Ada yang dari Bandung, Gresik, Talango, Sapeken, Jember dan tegal. Dengan asal dan budaya yang berbeda, mereka bisa harmoni menjadi satu. Sekat-sekat primordial sudah dilampaui mereka dengan perkumpulan ini, di saat santri-santri lain masih suka membanggakan atau paling tidak senang berkumpul hanya dengan sesama daerahnya.
            Ada kelebihan, tapi juga ada kekurangan tentunya. Ada dua hal yang paling tidak menjadi kekurangan, yaitu: internal dan eksternal. Kekurangan dari sisi internal di antaranya: Pertama, tidak ada sosok dominan yang mampu mengorganisir kelompok sehingga pada perjalanannya kurang efektif. Kedua, konsistensi dan semangat yang cendrung fluktuatif. Ketiga, ulah salah satu anggota yang tidak mau (bisa juga disebut agak malas) “ngantri nasi” adalah faktor internal yang berpengaruh dalam kehormonisan kelompok.
            Secara eksternal, ada beberapa sebab: Pertama, terjadi kecemburuan sosial di antara teman kelas, kelompok ini dianggap sebagai kalangan elitis, bahasa kasarannya negara dalam negara dan kurang membaur. Kedua, proses kaderisasi yang sebelumnya sudah dibagi tugasnya melalui liqo-liqo kecil, mandek di tengah jalan. Pada akhirnya, memang walau masih seumur jagung, dengan suka rela kelompok ini hanya tinggal kenangan. Ketiga, kurangnya dukungan, baik dari santri maupun para ustadz.
            Setelah keluar dari pesantren 2006, tentunya sudah hampir sebelas tahun kita tidak bertemu, tapi mudah-mudahan spirit Himas masih tetap menyala. Sebuah kelompok studi yang menjunjung nilai penguatan tradisi keilmuan Islam serta menjadi yang terdepan dalam membela Islam. Semoga pada waktunya nanti, kita bisa kembali bersua. Tentunya, bukan sekadar reuni, tapi melanjutkan, dan mencanangkan ide-ide besar dalam payung Himas. Mudah-mudahan terjadi. Kapan? Wallahu a’lam.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan