PADA tonggak perjuangan
umat Islam, dalam kondisi kuat, kaum munafik tidak pernah absen menginfiltrasi.
Salah satu bukti riilnya, termanivestasi pada tokoh-tokoh muslim yang dengan
kepentingan pragmatisnya bisa membela siapa saja dan menjual harga diri asal
ada honornya. Sikap demikian tentu menjadi ciri khas orang munafik. Al-Ma`idah
[5] ayat 52, secara clear (terang) menggambarkan fenomena ini. Mereka
rela bergabung dengan orang kafir, asal kepentingan pribadi tidak terganggu dan
bisa terpenuhi.
Tipikal orang seperti ini sebenarnya banyak dijumpai sepanjang sejarah umat Islam. Abdullah bin Ubay, Abdullah bin Saba, Nasiruddin Ath-Thusi, Ibnu ‘Alqami, dan Snouck Hurgronje adalah di antara sederet contoh yang bertalian erat dengan tokoh Islam “bayaran” kasaran-nya munafik ini. Mereka secara lahir Islam, tapi aksi-aksinya sebenarnya menggerus Islam dari dalam.
Di Indonesia sendiri,
pasca mencuatnya kasus penistaan Al-Ma’idah 51 yang dilakukan Basuki Tjahja
Poernama di Kepulauan Seribu, umat terbagi menjadi tiga golongan. Ada yang
mendukung, menolak, bahkan cuek. Bila diamati, tokoh-tokoh bayaran yang
mendukung Ahok, ternyata tidak sedikit. Ironisnya, dukungan itu sebagian lahir
dari tokoh-tokoh yang notabene beragama Islam.
Kisah demikian juga pernah
mewarnai dinamika pergerakan umat Islam pra kemerdekaan. Saat Sarekat Islam
pimpinan H.O.S. Cokro Aminoto semakin massif pergerakannya, ada banyak muncul
penggembosan, baik dari Belanda maupun tokoh-tokoh internal yang berhaluan kiri
(seperti: Muso, Sema’un dan Alimin). Di luar itu, ada juga tokoh Islam yang
sengaja dibayar oleh Belanda untuk melemahkan pergerakannya.
Aji Dedi Mulawarman dalam buku Jang Oetama Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokro Aminoto (2015: 102, 103), menyebutkan contoh konkret. Sosok bayaran itu bernama Usman Husaini, seorang penasihat honorer alias bayaran Belanda untuk urusan masyarakat Arab. Tokoh keturunan Arab ini sebenarnya adalah mufti Betawi, namun pernyataan-pernyataannya kerap merugikan kegiatan pergerakan Sarekan Islam.
Dalam tulisan yang
berjudil “Minhaj Al-Istiqamah fi Al-Din bi Al-Salamah” misalnya, mengatakan
bahwa Islam bukanlah gerakan perlawanan tapi kedamaian. Sehingga, tidak
selayaknya umat Islam melakukan gerakan perlawanan seperti Sarekat Islam.
Pendapatnya ini tentu sangat menguntungkan Belanda yang sedang menggunakan
strategi Devide et Impera untuk menghancurkan Sarekat Islam dari dalam.
Gerakan Usman Husaini ini
ternyata tak hanya cukup pada rana interpretasi saja, dia juga menyebarkan
pamflet di seluruh lapisan masyarakat yang menyudutkan SI (Sarekat Islam). SI
dan Pak Tjokro dituduh tidak islami sama sekali dalam menjalankan aktivitasnya.
Sehuubungan dengan hal ini, lebih lengkapnya, bisa dibaca dalam buku karya
Sjafrizal Rambe yang berjudul Sarekat Islam: Pelopor Bangkitnya Nasionalisme
Indonesia 1905-1942, halaman: 70, 71.
Para aktivis dakwah memang
harus berhati-hati dari golongan pragmatis seperti ini. Jalan dakwah adalah
jalan sunyi keikhlasan, orang yang mengambil kepentingan pragmatis di jalan
dakwah, hanya akan mengacaukannya. Karena itulah, seluruh Rasul ketika
mendakwahkan risalahnya, sebagaimana Nabi Nuh ‘alahissalam misalnya, salah satu
prinsipnya ialah in ajriya illa ‘allallah (QS. Yunus [10] : 72) mereka
orang-orang suci yang tidak mencari bayaran, melainkan dari Allah semata.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !