“Mau beli apa ke Tanah Abang?” tanya Puji ketika
Dila mengajaknya secara mendadak. Mereka baru selesai mengikuti kajian di
bilangan Tebet siang ini.
“Mungkin mau beli jilbab
dan beberapa lembar pakaian. Lo gak ada acara lagi `kan abis ini, anterin ya!”
pinta Dila dengan penuh harap. Sejenak Puji berpikir apakah dirinya bisa pergi.
“Okelah, ayo..,” Puji kemudian setuju.
Mereka pun pergi dengan
menaiki bajaj di siang hari yang cerah. Dalam perjalanan Puji bertanya pada
Dila mengenai apa yang ingin dia beli di pusat perbelanjaan terbesar se-Asia
Tenggara itu ?
Dila menjawab, “Sewaktu di
kajian tadi gue liat ada perempuan yang pakai jilbab lebar dengan belahan
samping gitu, bagus deh. Ya, siapa tahu nemu model kaya gitu di sana. Gue juga
pikir kayanya model jilbab gue gini-gini aja dan kebetulan ada kesempatan lo
mau ngaterin sekalian aja kita maen ke Tanah Abang, siapa tahu bisa dapat harga
murah supaya kebeli beberapa stel pakaian baru,” kata Puji menjelaskan.
“Kalau gue sih lebih
nyaman pakai model jilbab segi empat kaya gini dibandingkan bergo atau
jilbab-jilbab langsung yang walaupun besar-besar kadang malah terlihat ndak
syar’i.”
“Pinter-pinternya kita
milih Ji, kaya dari bahannya sama warna juga kan penting.”
“Iya sih,”
“Kalau
ngeliat perempuan berjilbab sekarang itu syar’i-syar’i ya, udah gak tabu lagi
ngeliat akhwat berjilbab lebar, bercadar juga sekarang bisa tampil lebih
modern. ”
“Iya tapi jangan sampai
kita termasuk akhwat yang lebih mementingkan penampilan fisik dan sibuk membeli
model jilbab dan gamis terbaru tapi lupa memberi pada yang membutuhkan, bahkan
jauh dari nilai takwa.” Sergah Puji. Dan perkataannya itu tanpa sadar membuat
Dila merenung akan dirinya. Sesaat Dila terdiam dalam lamunan.
***
Seringkali kita mengira telah berjalan di jalan yang benar, padahal mungkin saja yang kita lalui hanyalah jalan panjang yang mengelabui. Meminjam istilah al-Qur`an, merasa sudah melakuan perbuatan baik, nyatanya malah merugikan diri, bahkan tersesat (QS. Al-Kahfi [18] : 103, 104). Tanpa kita sadari ada waktu di mana kita merasa lebih baik dari yang lain dalam satu atau lain hal. Contoh sederhananya dalam hal berpakaian yang dikatakan syar’i.
Kita -akhwat saat ini- hanya
menilai berpakaian syar’i itu di antaranya berjilbab lebar –bahkan lebih lebar
lebih syar’i-, warna-warna gelap, atau bahkan bercadar. Tidak ada yang salah, hal
itu benar adanya sebagaimana yang telah kita ketahui bersama tentang cara berpakaian
yang sesuai untuk muslimah. Hanya saja, bila apa yang melekat di tubuh kita ini
telah membuat kita merasa lebih baik, lebih salehah, lebih sempurna dalam
berpenampilan, lebih syar’i dari yang belum melakukan hal yang sama, bukankah
kita telah “tersesat pada jalan lurus” yang tengah kita lalui saat ini.
Janganlah sampai apa yang kita lalui saat ini yang
sesungguhnya merupakan kebaikan, tetapi menjadi penyebab keburukan karena kita
telah lalai dengan yang lain. Penampilan secara fisik itu penting, bagaimana
cara kita berpakaian yang sesuai dengan tuntutan agama. Meski demikian, bila
ukuran-ukurannya hanya sebatas padangan mata (fisik) tanpa kesadaran penuh
bahwa takwa adalah sebenar-benarnya pakaian terbaik maka kita akan terjebak
selamanya pada jalan yang tak berujung.
Kalau sekadar fisik yang dijadikan ukuran, ingat
sabda nabi berikut:
لَيُؤْتَيَنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِالْعَظِيمِ الطَّوِيلِ الْأَكُولِ الشَّرُوبِ،
فَلَا يَزِنُ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ جُنَاحَ بَعُوضَةٍ
“Sungguh akan didatangkan pada hari kiamat orang yang tinggi, gemuk, banyak
makan dan minum. Tapi, bobotnya masih lebih ringan di sisi Allah daripada
seekor nyamuk.” (HR. Baihaqi). Bagi orang yang pikirannya melulu fisik, pasti
beranggapan orang yang demikian bobotnya meyakinkan. Sayang, bagi Allah, dia
tidak lebih berat dari seekor nyamuk. Bisa jadi, karena yang dipedulikan hanya
masalah fisik, sedangkan hatinya tak pernah dibidik. Lebih suka menonjolkan raga,
sedang hatinya telanjang dari takwa.
Bukankah Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاساً يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشاً
وَلِبَاسُ التَّقْوَىَ ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah
yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raf [7] : 26).
Jika ayat ini ditarik ke
ranah jilbab, maka letak berjilbab bukan sekadar simbolnya, tapi juga subtansi takwanya.
Ketika nabi ditanya letak takwa beliau menjawab, “di sini,” sembari menunjuk
dadanya (HR. Tirmidzi). Dengan demikian, jilbab lahiriah semestinya berjalin
kelindan dengan jilbab batiniah.
Karena itulah, yang lebih utama bahwa dari semua usaha yang kita lakukan untuk ‘tampil’ lebih baik, kita wajib memberi kesadaran penuh pada diri sendiri tentang kekokohan iman dan takwa yang perlu kita jaga, agar tak runtuh di tempa prasangka karena diri ini acapkali terpaku pada penampilan semata. Biarlah kita lebih baik merasa bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam diri kita hanya akan mendekatkan diri pada Allah subhanahu wata’ala, tanpa memikirkan anggapan mata manusia yang lebih sering membuat kita tertipu.
Pepatah Jawa yang berbunyi aja rumangsa bisa,
ning bisa rumangsa (jangan sok tahu, tapi tahu dirilah) sangat tepat untuk
diteladani. Artinya, jangan merasa paling baik, kemudian meremehkan orang lain
yang belum melakukan kebaikan seperti kita, sehingga menyakiti perasaannya.
Bisa jadi, orang yang kita anggap jelek, sejatinya lebih baik dari kita. Wallahu
a’lam.
(Bay: Mesti & Mahmud)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !