Fajar menyingsing halus.
Sepoi angin pagi mulai berhembus. Hati terasa sejuk, laksana embun di ujung pelupuk.
Mata terpejam mulai terjaga. Bergegas bangun menuju Sang Pencipta. Menyambut kumandang
adzan merdu. Bergaung di atas menara bambu. Kokok ayam saling bersahutan.
Bertasbih kepada Tuhan. “Nikmat apa lagi yang hendak engkau dustakan?” demikian
suara lirih mengetuk jiwa Kumalahati. Seperti biasa, sebelum pergi ke masjid
Manarul Ilmi, ia sempatkan untuk berpikir dan berdzikir dengan ayat-ayat yang
terbentang di alam semesta. Baginya hidup akan terasa indah, jika hati dipenuhi
Allah.
Selepas melaksanakan
shalat Shubuh, Kumalahati menyiapkan segenap peralatan sekolahnya. Maklum saja,
sekolahnya lumayan jauh. Hari ini adalah hari pertama ia pindah sekolah. Untuk
pergi kesana, ia harus menempuh perjalanan sepuluh kilo meter dengan jalan
kaki. Kalau tidak, sudah dipastikan dia akan telat sekolah. Ia hidup hanya
bersama seorang ibu. Ayahnya meninggal sejak ia berusia tujuh tahun. Ibunyalah
selama ini yang membesarkan dan mendidiknya. Setiap kali berangkat sekolah, ia
selalu mendapat dorongan moril dari ibunya, “Nak! Meski hidup kita miskin, yang
penting kaya hati. Berpegangtegulah dengan nilai agama. Dengannya kau akan
menjadi terhormat dan bermartabat.”
“Bismillah.
Assalamu`alaikum bu,” ucap Kumala berpamitan sambil mencium tangan ibunya. “Nak,
jangan lupa nanti kalau sudah sampai sekolah, jangan lupa shalat Dhuha. Di sini
ibu akan selalu mendoakanmu.” Demikian ucap ibu melepas keberangkatan anaknya.
Sesampainya di sekolah, ia langsung menuju masjid menunaikan shalat Dhuha.
Selesai shalat ia berdoa, “Ya Allah, anugerahkanlah pada keluarga kami
ketegaran untuk menjalani segenap ujian dan cobaan yang sedang menimpa. Jadikan
hamba selalu istiqamah di jalan-Mu. Karuniakan pada keluarga hamba kemuliaan
sampai kami bertemu dengan-Mu. Jadikan hamba orang sukses yang berpegang teguh
dengan syari`atmu. Aku ingin membahagiakan ibu, dan menggapai ridha-Mu.”
*******
Ada pemandangan kontras di
sudut kota, tepatnya di kediaman Mutiara Angelina. Meski beragama Islam, ia
jarang melaksanakan shalat Shubuh(apalagi shalat yang lain). Ia hidup dalam
keluarga kaya-raya. Ayah ibunya masih hidup dan selalu memanjakannya. Setiap
hari ia bangun kesiangan. Segenap keperluan sekolah selalu disiapkan pembantu.
Ke sekolah selalu diantar dengan mobil, padahal jarak rumah dengan sekolahnya
hanya lima ratus meter. Di sekolah ia dikenal cantik, cerdas, gaul, dan
menjabat sebagai ketua OSIS. Akibat selalu dimanja, ia merasa menjadi seorang
ratu di sekolah. Ia merasa bisa berbuat semaunya. Banyak sekali yang dijadikan
anak buah olehnya. Pakaiannya ketat dan seksi. Seolah ingin menunjukkan
keindahan yang dimiliki pada orang lain. Sanjungan pun selalu didapatkannya.
Bel sekolah sudah dibunyikan.
Hampir saja Mutiara telat jika satu menit tidak segera sampai sekolah.
Teman-temannya segera berdatangan menyambut kedatangannya. Di sekolah ia
dipanggil teman-temannya dengan sebutan ‘ratu’. “Eh, ratu ada aku ada kabar nih.”
Ucap Santi bersemangat. “Emang ada berita apaan San. Kenapa ga ngasih tau dari
tadi lewat BBM atau WA gitu?” tanya Mutiara agak jengkel. “Wah kalau di BBM kan
jadinya ga seru.” Sahut Niken. “Ada apa Ken?”. “Ada sisiwi baru ratu.” Jawab Niken.
“Terus kenapa kalau ada siswi baru? Biasa aja keles.... `Kan ini sekolah
favorit jadi wajar donk banyak yang berusaha sekolah sini”. “Gini Ratu,
kayaknya siswi baru itu bakalan jadi saingan kamu deh. Menurut Bu Rara sih
anaknya sangat cerdas. Dia mendapat beasiswa di sekolah sini. Anaknya kalem,
manis, dan berpakain norak.”
“Norak gimana maksudmu?”
Tanya Mutiara penasaran. “Sejauh aku punya teman berkerudung, ga lebay seperti
dia Ratu. Kerudungnya lebar, bajunya juga longgar. Pokoknya kaya dandanan
ustadzah gitu deh.” Jelas Ratna. “Gimana kalau kita bully aja Ratu, ketika
masuk kelas. Dengar-dengar dia masuk di kelas kita. Nanti kita bisa bekerja
sama dengan Pacarmu(Hengky Fernando) untuk ngerkain dia. Sudah biasa `kan anak
baru dikerjain?” usul Niken. “Boleh juga tuh Ken. Kita lihat, sejauh mana dia
bisa bertahan di sekolah favorit ini. Menurutku sih kok ga pantes yah siswi sok
alim kaya` dia masuk di sekola sini. Bikin kelilipan mata aja. Heheh.”dukung
Santi.
********
Saat masuk kelas, Kumala
terkejut. Para siswa-siswi baris berjejer seolah sedang menyambutnya. Niken, dengan
nada mencibir mempersilahkan Kumala, “Silahkan duduk di depan Ustadzah untuk
memperkenalkan diri. Kami ingin mengenal lebih dalam mengenai profil ustadzah.”
“Huuuuuuuuuuuuuu......” siswa satu kelas berteriak merendahkan. Tanpa berpikir
buruk, Kumala turuti saja kemauan mereka. Ia segera duduk di kursi guru, lalu
mengucap “Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh..”. Seisi kelas tertawa
sambil serentak berbicara, “Mama Dedeh lagi ngasih taushiah. Hahahha”. Kumala
berusaha menenangkan diri. Dalam hati ia berdoa, “Ya Allah, lapangkanlah
dadaku. Permudah urusanku. Jangan jadikan lisanku kikuk di depan mereka, supaya
mereka bisa mengerti.”
Kumala memperkenalkan diri
sambil berdiri. Tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Duduk Ustadzah, biar nyantai dan
tenang. Ia pun duduk. Namun betapa kagetnya ia, ketika sudah duduk, ia merasa
ada yang basah. Rupanya, tempat duduk itu diolesi lem kertas oleh Niken.
Melihat kejadian itu sontak sesisi kelas tertawa terbahak-bahak. Tidak kuat
melihat Kumala dikerjain, Ratih(sisiwi yang dikenal cupu) akhirnya menghampiri
dan menarik Kumala untuk segera duduk di sampingnya. “Ayo duduk dengan saya
saja Kumala, Mereka lo sedang ngerjain kamu” ajak Ratih. “Huuuuuuuuuu...... Si
Cupu lagi nolong saudarinya............hahaha” mereka serentak berkomentar.
Melihat kejadian ini, sebenarnya membuat batin Mutiara bertanya-tanya, “Kenapa
ya kok aku tidak melihat kemarahan sedikit pun darinya. Ia selalu senyum. Aku
menemukan keteduhan di baling balutan jilbab yang dikenakannya.”
“Kumala! Perkenalkan aku
Ratih. Jangan pedulikan mereka. Kerjaan mereka tuh memang selalu ngebully anak
baru. Kamu lihat tuh sisiwi yang cantik, tinggi dan berbaju ketat dialah
bersama teman-temannya yang biasa ngerjain. Meskipun ia jadi Ketua OSIS, namun
kepemimpinannya sama sekali tidak mengayomi.” Kata Ratih memperkenalkan diri. “Tenang
saja Ratih. Aki senang dengan sikapmu yang baik hati. Hanya saja kita jangan
sampai suudzan pada mereka. Barangkali mereka ingin lebih akrab denganku.
Kalaupun mereka murni ingin ngerjain aku, ya biarkan saja. Mereka `kan dalam
kondisi tau. Jangan sampai, dengan perilaku kita yang ingin balas dendam
kepadanya, justru menghalangi petunjuk Allah sampai padanya.” Gumam Kumala.
Mendengar ucapan Kumala, hati Ratih terasa sejuk. Belum pernah ia berjumpa dengan
teman sepertinya.
********
Hari-hari di sekolah
berjalan seperti biasa. Ratu beserta teman-temannya tak hentinya menggoda,
membully Kumala. Kumalahati tidak reaktif dalam menghadapi perilaku mereka.
Dengan kesantunan dan keindahan perangainya, meski tanpa kata-kata bijak lambat
laun banyak siswi-siswi yang belajar padanya. Ia pegang betul nasihat ayahnya, “Berdakwah
dengan lisan mungkin membuat orang terkesan. Tapi Nak, berdakwah dengan teladan
bukan hanya membuat orang terkesan. Mereka akan meneladanimu dengan perbuatan.
Karena dakwah dengan keteladanan adalah sebaik-baik bahasa yang mampu menghujam
dalam hati, yang kemudian menarik orang untuk melakukan perbuatan yang sama.”
Dengan berpegang teguh dengan nasihat ayahnya, ia mampu menebarkan energi
positif di sekelilingnya. Mutiara pun semakin penasaran dengan sosok Kumala. Ia jadi
ingin semakin mengenalnya lebih dalam. Tapi hatinya masih gengsi, “Aku kan
Ketua OSIS. Mestinya dia yang datang padaku. Bukan sebaliknya.” Hatinya berada
di antara penasaran dan gengsi.
Masya Allah,,karya tulisan yang penuh dengan hiasan hikmah, setiap membacanya selalu menggetarkan hati.
BalasHapusUstadz Ozi.....mohon bimbingannya :)
BalasHapusTulisan tulisan antum penuh inspirasi, motivasi maupun solusi.
BalasHapus