Pemimpin besar selalu memiliki ide-ide
brilian, visi progresif, dan kadang banyak tidak bisa dipahami bahkan dicerna
oleh anak zamannya. Ia hadir dalam situasi-kondisi ruang dan waktu yang kritis
dan dialektis yang tidak terpikirkan oleh orang-orang sekitarnya. Cara dia
melihat realitas jauh berbeda dengan kebanyakan orang. Tidak mengherankan jika
mereka selalu selangkah bahkan berlangkah-langkah lebih maju daripada orang
pada umumnya. Ide besar itu lahir karena kemampuan internal pemimpin yang
inheren dengan dirinya, yaitu: kemampuan memfirasati zaman(dengan berbagai
fakta ilmu dan sejarah yang dikantongi).
Berangkat
dari kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu`alaihi wasallam(selaku
Pemimpin Agung), didapati contoh-contoh menarik yang menggambarkan ide-ide
besar yang beliau canangkan sebagai pemimpin. Pada tahun kelima saat menjadi
nabi, ketika kaum Muslim mengalami penindasan dari orang-orang kafir, beliau mempunyai
ide cemerlang, yaitu : hijrah(pindah) ke negeri Habasyah(Ethiopia).
Bagi sementara orang mungkin ide ini
dianggap aneh dan tidak lazim karena: Pertama, lokasinya yang jauh di
Afrika. Kedua, membutuhkan kesiapan bekal yang mumpuni untuk berangkat
ke sana. Ketiga, negeri yang didatangi adalah negeri non-Muslim. Keempat,
tidak begitu strategis untuk mengembangkan dakwah. Kelima, sarat rintangan.
Terlepas
dari anggapan aneh sementara orang, coba simak baik-baik pernyataan singkat
Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam mengenai lokasi hijrah,
Habasyah:
لَوْ خَرَجْتُمْ إلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ فَإِنَّ بِهَا مَلِكًا
لَا يُظْلَمُ عِنْدَهُ أَحَدٌ، وَهِيَ أَرْضُ صِدْقٍ، حَتَّى يَجْعَلَ اللَّهُ لَكُمْ
فَرَجًا
“Sekiranya kalian keluar ke negeri Habasyah.
Sungguh di sana ada seorang raja yang tak seorangpun dizalimi jika berada di
sisinya. Habasyah juga negeri yang (memegang erat) kejujuran. Sampai Allah
menjadikan kelapangan untuk kalian.”(Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam,
1/321). Ide brilian ini dipilih karena alasan yang jelas. Pertama,
adanya proteksi dari raja yang adil. Sehingga tidak akan didzalimi. Sewaktu-waktu
jika dakwah di Makkah lenyap, maka ada cadangan untuk mengembangkan sayap
dakwah. Kedua, negeri yang memegang erat kejujuran –meski jauh- lebih
ramah, relevan, dan akomodatif terhadap Islam daripada negeri dekat yang zalim.
Anda
tau, berapa jarak ide hijrah dari sekadar ide, usaha hingga terealisasi? Ia
baru terealisasi utuh delapan tahun kemudian ketika diizinkan hijrah ke
Madinah. Saat di Madinah inilah mereka –dengan segenap perjuangannya atas izin
Allah ta`ala- mampu menjadi kekuatan baru yang bisa menjaga eksistensi
dakwah dan menegakkan pilar-pilar keadilan, bahkan sebagai embrio peradaban.
Kita tentu juga tak asing dengan ide fathu
Makkah(pembebasan kota Makkah). Pada tahun keenam Hijriah, para sahabat
besar seperti Umar, ‘kecewa berat’ dengan keputusan nabi yang memilih shulhu
Hudaibiyah(Perjanjian Hudaibiah), padahal ada janji yang mereka dengar
dengan istilah fathan mubina. Mereka akhirnya baru sadar bahwa justru
perjanjian Hudaibiah adalah kemenangan besar, yang pada akhirnya dua tahun
berikutnya diiringi dengan pembebasan kota Makkah.
Ide
tentang pembebasan dua imperium besar mungkin juga tak lazim didengar di saat
kekuatan Islam masih sangat sedikit. Tapi dengar bagaimana pertanyaan nabi
kepada Suraqah bin Malik waktu perjalanan hijrah, “Bagaimana jika kelak engkau
memakai dua gelang tangan Kisra(Raja Persia)?”(Abdul Malik al-Kharkusyi,
Syarfu al-Mushthafa, 3/347). Anda
tahu, jarak antara pertanyaan nabi dengan realisasi peristiwa, ialah sampai
pada masa kekhilafaan Umar bin Khattab(sekitar sepuluh sampai lima belas
tahunan) di mana Umar langsung yang memakaikan gelang tangan Raja Persia pada
Suraqah bin Mali.
Demikian juga saat nabi memecahkan batu
besar saat menggali parit(yang dikenal untuk persiapan perang Khandak), di situ
nabi mengabarkan bahwa imperium besar seperti Persia dan Romawi akan tumbang di
tangan Islam. Bagi orang pada umumnya mungkin aneh, tapi itu nyata terjadi
ketika pada zama khulafa rasyidun.
Addi
bin Hatim pun diberitahu nabi, “Jika umurmu panjang, maka kamu akan menjumpa
dibukanya pembendaharaan Kisra”(Hr. Bukhari). Lebih dahsyat dari itu suatu saat
nabi bersabda:
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ
أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ
“Konstantinopel (pasti) akan dibebaskan. Maka
sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya. Dan sebaik-baik tentara adalah
tentaranya”(Hr. Ahmad). Anda tau, berapa jarak realisasi antara omongan
Rasulullah dengan terwujudnya pembebasan Kontantinopel? Delapan abad kemudian di masa Mahmud
Al-Fatih(855-886 H) Konstantinopel sebagai Ibu Kota Romawi Timur baru bisa ditaklukkan(al-Mausu`ah
al-Muyassarah fi al-Tarikh al-Islami, 2/148).
Teodhore
Herzl(1860-1904) sebagai Bapak Zionisme, merencanakan berdirinya negara Israel.
Ia gagas pendirian negara Israel pada 1896 melalu pamflet berjudul “Der Judenstaat”(Jewish
State). Anda tau kapan terealisasi gagasan itu? Pada 14 Mei 1948/ selama 50
tahun lebih 3 bulan, pendirian Israel baru terealisir(Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat, 65). Kisah Herzl ini diambil untuk menunjukkan bahwa
pemimpin manapun baik Muslim maupun non-Muslim selalu visioner. Mempunyai
rencana-rencana brilian dan progresif yang sering dianggap aneh dan kurang
dimengerti rasio kebanyakan orang.
Suatu saat, pada bulan Oktober 1937, Buya
Hamka berkunjung ke rumah H. Agus Salim. Setelah beliau menyampaikan beberapa
pemikirannya, Hamka pun dengan tersenyum berkata, “Ah, engku terlalu lekas
datang ke dunia, sehingga apa yang engkau katakan dan pikirkan, belum dapat
diterima oleh orang sekarang entah kalau 50 tahun lagi.” Dengan senyum pula, H.
Agus Salim berkomentar, “Perkataan yang demikian telah pernah diucapkan orang
lain padaku. Prof Schrieke pernah berkata padaku: ‘Pikiran ini bukan buat 50
tahun lagi, tapi buat 100 tahun lagi’. Apakah sebab itu saya akan berhenti
menyatakan pikiran? Apa yang akan dipikirkan orang 50 tahun kedepan jika tidak
aku katakan sekaang? Apalah arti saya dibanding dengan Nabi Muhammad yang sudah
lama saja masih banyak orang yang belum menerima pelajarannya.”(Hamka, Falsafah
Hidup, 281-282).
Kisah-kisah
tadi dipaparkan tidak lain untuk menunjukkan bahwa di antara pemimpin yang kita
perlukan –di samping kecerdasan, integritas, kharisma, keadilan, amanah dll-
ialah pemimpin yang visioner. Yaitu pemimpin yang mampu memfirasati zaman dan
membaca gelagat masa depan(memprediksi masa depan). Dengan hubungan yang erat
dengan Tuhan, ilmu yang mumpuni, wawasan luas, dan bekal sejarah yang dimiliki
ia mampu membuat visi-visi terbaik yang diperlukan oleh orang yang dipimpinnya.
Boleh jadi mereka sekarang merasa aneh
dengan keputusannya yang visioner, namun dengan kesabaran, sejarah akan
membuktikan visinya adalah maha karya kebaikan yang didedikasikan untuk yang
dipimpinnya. Pemimpin Visioner hadir mendahului zamannya, untuk mempersembahkan
karya terbaik yang dinikmati oleh orang-orang sesudahnya. Pertanyaannya: “Sudahkan
kita memiliki pemimpin yang visioner?”.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !