Di
saat orang pada sibuk menyiapkan
jajan untuk malam hari raya `Idul Fitri, Sarikhuluk malah terlihat tepekur seorang diri di belakang rumah,
tepatnya di samping kolam
ikan lele. Dari aura wajahnya terlihat rasa cemas, khawatir, was-was, bahkan panik berkepanjangan. Tak biasanya ia
begitu.
Markoden dari kejauhan nyeletuk pada teman-teman yang berada di pendopo Al-Ikhlash, “Ah, jangan ketipu kalian dengan gaya Sarikhuluk. Kadang-kadang Ia begitu hanya acting saja supaya bisa mendalami penghayatan sekaligus menimbulkan penasaran.” “Lho, acting gimana toh, wong tatapannya kosong gitu.” Sahut Paimen tak terima. “Biar ga penasaran, kita samperin aja sama-sama!” ajak Supi`i. Mereka pun akhirnya sepakat menuju Tokoh Ora Usum yang lagi menyendiri.
Markoden dari kejauhan nyeletuk pada teman-teman yang berada di pendopo Al-Ikhlash, “Ah, jangan ketipu kalian dengan gaya Sarikhuluk. Kadang-kadang Ia begitu hanya acting saja supaya bisa mendalami penghayatan sekaligus menimbulkan penasaran.” “Lho, acting gimana toh, wong tatapannya kosong gitu.” Sahut Paimen tak terima. “Biar ga penasaran, kita samperin aja sama-sama!” ajak Supi`i. Mereka pun akhirnya sepakat menuju Tokoh Ora Usum yang lagi menyendiri.
“Assalamu`alaikum
Cak!” sapa mereka serentak. “Wa`alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..,”
jawabnya datar. “Wonten nopo Cak(ada apa Cak) kok terlihat kusut
masai gitu?” tanya Pardi memecah kesunyian. “Jadi begini Rek, semalem
aku pas klesetan(tiduran) sambil mendengan radio, aku dengar satu hadits
dari penceramah yang baru aku ingat. Dulu aku pernah mendengarnya ketika masih
ngaji di langgar Al-Hikam, waktu umur tujuh tahun. Arti haditsnya seperti ini
kurang –lebih, ‘Setiap umatku akan diampuni, kecuali MUJAHIRIN. Yang dimaksud
dengan MUJAHIR ialah seorang mengamalkan (kemaksiatan) di malam hari, kemudian
ketika pagi ia berkata: ‘Hai si Fulan tadi malam aku mengamalkan ini dan
ini.(Hr. Bukhari Muslim).”
“Kata
kunci MUJAHIR ialah orang yang blak-blakan berbuat maksiat di depan orang
banyak, bahkan bangga dengan kemaksiatannya. Iblis yang dianggap dedengkot mbahe
pembangkang saja ga pernah nantang Allah lha orang MUJAHIR kesannya
nantang. Seolah-olah ngomong, ‘Yen aku nglakoni ngene, kowe kate lapo’(Kalau
aku melakukan ini kamu mau apa?)’”. “Emang ada tah orang kayak gitu Cak?” tanya
Parman. “Lho gimana, kamu ga update
berita tah? Jum`at 26 Juni 2015 dilegalkan perkawinan sesama jenis di Amerika.
Jauh sebelum itu Belanda dan Belgia sudah melegalkannya. Bahkan Gereja Anglikan(November:
2003) mengangkat Gene Robinson (seorang homoseks) sebagai Uskup. Sebenarnya
yang mengkhawatirkan bukan itu, tapi orang-orang Indonesia banyak terpengaruh.”
“Suara.com-Kamis
16 Juni 2015- misalnya, menyitir perkataan Aktivis hak-hak LGBT(Lesbian, Gay,
biseksual, dan Transgender) Dede Oetomo bahwa jumlah gay di Indonesia mencapai
ratusan ribu. Bahkan ada yang memperkirakan 3 persen penduduk Indonesia adalah
kaum LGBT. Nah jumlah ini sangat memprihatinkan di tengah-tengah penduduk
Indonesia yang mayoritas Muslim. Belum lagi pihak-pihak lain yang
mengatasnamakan pembaruan dan modernisasi, mengusung ide-ide khas Barat yang
merusak pikiran umat, seperti: liberalisme, relativisme, humanisme, pluralisme,
feminisme(yang berusaha diperujuangkan melalui RUU KKG), dan lain sebagainya.
Semua ide itu jika diterima untuk membaca Islam, maka apa yang dianggap saru,
tabu, maksiat oleh agama akan menjadi relativ. Akibatnya orang dengan leluasa
melakukan maksiat dengan terang-terangan tanpa merasa dosa.”
“Kita
tentu ingat, bukankah kaum Nabi Luth, dengan terang-terangan melakukan hubungan
sesama jenis, padahal sudah diingatkan olehnya. Akibatnya, mereka mendapat
adzab yang merata(kecuali Nabi Luth dan pengikutnya). Akhu khawatir kalau kita
tidak melakukan apa-apa, akan terjadi sabda nabi, ‘Tidaklah suatu kaum pun
yang di dalamnya dilakukan banyak kemaksiatan, padahal mereka sebenarnya kuat
dan mampu, tapi tidak mengubahnya, melainkan akan Allah ratakan adzab, sanksi, `iqab
bagi mereka’(Hr. Ibnu Majah).
Adalagi hadits, ‘Apabila orang-orang melihat orang yang bertindak dzalim
kemudian mereka tidak mencegahnya, maka kemungkinan besar Allah akan meratakan
siksaan kepada mereka, disebabkan perbuatan tersebut’ (Hr. Abu Daud,
Turmudzi). Intinya, kalau kita diam saja, kita akan kena getahnya.”
“Lalu
apa yang harus kita lakukan Cak?” tanya Paidin. “Simak betul-betul sabda nabi.
Ternyata ada kosakata yang ‘kebetulan’ mirip tapi hanya ada pembalikan kata
saja, yaitu kata MUHAJIR (ini bisa dijadikan tonggak kesadaran). Nabi bersabda: “Yang
dinamakan MUHAJIR adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang Allah,
termasuk kesalahan dan dosa” (Hr. Bukhari, Abu Daud, Nasa`i, dan Ibnu
Majah). Kata kunci MUHAJIR ialah, pindah dari keburukan menuju kebaikan, dari
kesalahan menuju pertaubatan. Lawan dari MUJAHIR, yang terang-terangan berbuat
salah. Langkah konkritnya. Pertama, penyadaran. Masyarakat harus
disadarkan akan bahayanya melalui media apapun.
Penyadaran utama terkait masalah makna kata. Sebab, banyak sekali
kata-kata yang diselundupkan ke dalam bahasa kita padahal maknanya sangat
destruktif.”
“Kedua,
cultur counter (perlawanan yang bersifat kebudayaan) dan pemikiran. Di
tengah derasnya arus globlalisasi, liberalisasi, westernisasi, kita harus
mempunyai kegiatan kebudayaan yang mampu mengarahkan animo masyarakat.
Kebudayaan dilawan dengan kebudayaan, pemikiran dilawan dengan pemikiran.
Memang ini pekerjaan sangat berat, tapi bisa kita upayakan, minimal di desa
Jumeneng ini. Apa yang dilakukan Nabi Nuh, misalnya –meskipun bagi kebanyakan
orang dianggap gila atau ora usum- karena membangun perahu di saat
kemarau, adalah bentuk counter budaya yang diilhami Tuhan. Ketika kita bekerja, mungkin banyak yang
mencibir atau menghina. Biarkan saja, kita tetap bekerja dalam diam dan sunyi.
Mari kita siapkan perahu-perahu kebudayaan, untuk menghadapi banjir besar yang
diakibatkan oleh budaya Barat yang merusak.”
“Terakhir,
pokoknya tetap bergerak dan terus bergerak. Mari kita selamatkan, keluarga,
masyarakat, bahkan bangsa kita dari penjajahan yang tidak kentara dan
supradahsyat ini. Fokus kita bukan pada hasil, tapi pada usaha yang
berkesinambungan. Kalian tentu tau, Allah tak melihat pada hasil usaha tapi
lihat pada usaha. Selama ini –tanpa harus pamer- di desa Jumeneng sudah
dilakukan upaya-upaya seperti itu. Apa yang disebut oleh Al-Attas mengenai
konsep ISLAMISASI ilmu pengetahuan kontemporer, misalnya, sudah dipraktikkan
dan dielaborasi oleh kawan-kawan desa Jumeneng sesuai dengan tingkat kebutuhan
mereka sebagai upaya untuk mendetoksifikasi segala pemahaman nyeleneh
dari Barat. Kita bukan anti Barat, tapi menyaring mana yang baik dan mana yang
buruk. Ada ungkapan menarik dari orang pedalaman di Jawa Tengah: Arab digarap,
Barat diruwat dan Jowo digowo. Semua diambil manfaatnya selama dalam koridor Islam
yang rahmatan lil `alamin.”
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !