Teman,
Enyahlah kau rasa bosan!
Aku tidak tahu jam berapa sekarang, tapi aku rasa ini waktu
yang sama seperti waktu kemarin saat lelaki itu datang ke kamarku. Dan benar
saja, aku mendengar pintu diketuk, 3 kali ketukan. Itu pasti dia!
“Kamu lagi?” tanyaku padanya,
“Ya, kenapa? Kamu sudah menungguku
dari tadi ya?” Hah? Aku tersenyum kecut.
“Aku senang kamu tersenyum, walau pun
senyum seperti itu membuat wajahmu sangat aneh. Kamu harusnya senyum selebar
mungkin,” Aku diam.
“Ok. Lain kali aku berharap dapat
melihat senyum lima jarimu, tersenyum dengan sempurna.”
Senyum?
Aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya? dan yang lebih menyedihkan aku tidak
bisa melihat senyumku sendiri.
“Oya, kemarin kamu bilang tentang
jendela? Apa yang istimewa? Apa jendela itu terbuat dari emas?”
“Kamu bercanda? Emas? Mana mungkin?”
“Ini istimewa karena dari jendela ini,
kamu bisa melihat pemandangan yang sangat indah!”
“Dan aku tahu, bagiku ini adalah hal
terkonyol dalam hidupku. Dan sepertinya kamu membuang-buang waktuku.”
Aku
ingin menangis, tapi tidak! dan aku sadar ini bukan mimpi, kenyataannya aku
adalah seorang wanita buta yang tidak bisa melihat apa pun kecuali kegelapan
dan wanita lumpuh yang tak mampu hanya sekedar bergerak. Apa ini kehidupan?
“Kamu marah?” Tanyaanya, aku memilih
diam!
“Aku berharap kamu tidak marah, aku
di sini karena ingin menunjukanmu pemandangan yang indah dari jendela kamarmu,
aku tahu keadaanmu. Oleh karena itu aku disini, aku akan benar-benar
menunjukkannya kepadamu. Aku akan menjadi matamu, dan sebagai imbalannya aku
berharap kita bisa menjadi teman. Dan karena kamu diam saja, aku anggap kamu
menyetujuinya.”
Laki
– laki ini aneh sekali, dia yang bertanya dan dia juga yang menjawabnya. Aku
bisa apa? dan aku rasa ide ini tidak terlalu buruk, aku tidak tahu sampai kapan
aku akan berada di rumah sakit ini. Aku rasa aku memang membutuhkan teman agar
hidupku tidak terlalu membosankan.
***
Mata
ini buta namun hatiku mulai terbuka
“Suster
bisa tolong merapikan kamarku, tidakkah masih berantakan?”
“Baik
Mba, tapi ini sudah tampak seperti biasanya.”
“Tidak
suster, coba lebih teliti bahkan kalau perlu kau bisa menambahkan bunga atau
apalah agar kamar ini benar-benar baik bagi siapa pun yang masuk ke dalamnya.”
“Baik
Mba, saya akan memastikannya kembali dan melengkapinya seperti apa yang Mba
inginkan.”
“Terima
kasih suster, ”
Adakah
yang berbeda dari diriku saat ini? Menurut dokter kesehatanku stabil dan
keluargaku masih terus meminta dokter memberikan pengobatan terbaik untukku. Mungkin
setiap hal di dunia ini hanya perlu penerimaan yang baik dan perlahan aku mulai
bisa menerima diriku dengan mengikhlaskan apa pun yang terjadi dalam hidupku.
Seperti kata Sabda mungkin saat ini penglihatanku sedang dijernihkan oleh Tuhan
agar aku dapat melihat dengan mata batinku, dan kakiku yang lumpuh ini mungkin
Tuhan hanya ingin membuatku berhenti dari pelarianku selama ini mejauh dariNya.
Sabda
“Hay Cinta…”
Kali
ini aku benar-benar tersenyum seperti kuncup bunga saat mekar. Suara Sabda
terdengar merdu bagaikan petikan melodi yang dibawakan oleh Dewa Gitar, Brian
May. Aku tak sabar menantikan cerita-ceritanya di balik jendela itu.
“Apa aku terlamabat? Sepertinya
tidak.”
“Seperti biasa, kau orang yang
paling sering bertanya dan menjawab pertanyaanmu sendiri.” Aku merasa semakin
hari senyumku tak terkendali?
“Seperti itulah aku, banyak bertanya
dan dari pertanyaan-pertanyaan itulah aku yakini satu hal bahwa ada pertanyaan
yang terkadang tidak memerlukan jawaban.”
“ Sudah-sudah tak usahlah kau banyak
bergurau tentang dirimu sendiri. Segeralah kau ceritakan apa yang saat ini
terjadi di luar sana?”
“Baik-baik, rupanya selain kau ini
perempuan yang judes kau juga orang yang tidak sabaran.”
Suasana
hening sejenak, atau saat ini aku merasakan waktu berhenti sesaat. Dengar-dengar
Sabda mulai berbicara,
“Ya ampun!”
“Kenapa?” tanyaku sangat penasaran.
“Sabda? Kenapa kamu diam saja?” Aku
rasa aku dapat merasakan sekujur tubuhku berkeringat.
“Kamu tahu apa yang aku lihat?”
“Tentu saja tidak!”
“Cepat ceritakan padaku apa yang kau
lihat di balik jendela itu!” desakku
“Aku melihat, seorang anak kecil jatuh
dari gendongan ibunya. Ya ampun..ya ampun!”
“Benarkah? Kenapa bisa sampai seperti itu? Betapa cerobahnya
si ibu itu, kasihan sekali anak kecil itu”
“Iya, anak itu hanya bisa terus menangis. Apakah aku harus
turun untuk membantunya?”
“Bagaimana dengan ibunya? Apa yang ia lakukan terhadap
anaknya? Kalau kau merasa dapat membantunya kenapa kau masih diam di sini
Sabda.”
“Tidak, aku tidak akan ke mana-mana
karena anak itu sudah dipelukan ibunya dan sudah ada banyak orang yang menolong
mereka.”
“Lalu apa yang terjadi kemudian?” Aku
menggigit bibirku karena ikut merasa gusur dengan keadaan anak itu.
“Lah kok?”
“Kenapa lagi?” tanyaku masih dalam
resah
“Sekarang gantian ibunya yang
menangis, bahkan tangisnya mengalahi tangisan anaknya.”
Aku
semakin penasaran apa yang terjadi sebenarnya?
“Bukankah tadi kau bilang anaknya
yang terjatuh dari pangkuan ibunya. Tidak ada yang terjadi pada ibunya kan? Ibu
itu tidak mengalami luka sesuatu kan?”
“Cinta, kau tahu?”
“Apa lagi Sabda aku tidak dapat
melihat seperti yang kau lihat aku hanya bisa mendengar apa yang kau ceritakan
padaku, jangan malah membuat aku kebingungan seperti ini atau Kau telah
mempermainkanku?”
“Tentu tidak Cinta, aku mengatakan apa
yang aku lihat. Kau tahu Cinta, ibu itu mungkin tidak mengalami luka fisik
seperti pada anaknya tapi Ibu itu merasakan sakit yang jauh lebih besar dari
apa yang bisa kita lihat pada anaknya. Karena apa? Karena cinta dan kasih
sayang yang tulus dari seorang ibu.”
“Selalu ada pesan Tuhan dari setiap
apa yang kita lihat Cin, tapi bukan dari mata kita ini tapi melihat dari hati
dan sayangnya banyak orang yang matanya terbuka tapi hatinya tertutup. Kau
tenang saja, ibu dan anak itu sudah pergi dengan keadaan baik-baik saja.”
“Syukurlah,”
“Cinta, Ada yang menarik dari apa
yang tadi aku saksikan.”
“Menarik kau bilang?” Aneh si Sabda
ini bukannya prihatin malah dia bilang menarik kejadian anak yang terjatuh dari
pangkuan ibunya?
“Aku merasa kasihan dengan anak itu
pun dengan ibunya juga yang terlihat sangat merasa bersalah. Tapi aku jadi semakin
menyakini satu hal dalam hidup ini.”
“Apa?”
“Bahwa Sesungguhnya Tuhan lebih
sayang kepada hamba-Nya, melebihi sayangnya ibu tadi kepada anaknya.”
Aku
terdiam, seperti ada sesuatu yang menusuk hatiku. Perasaan yang teramat menyesakkan
karena aku lebih sering lalai mengingatNya apalagi setelah kecelakaan yang
menimpaku, aku tidak merasakan keberadaanNya.
“Tidak ada seorang pun yang lebih
sayang melebihi Tuhan. Jika kita saja menghargai kasih sayang orang lain dengan
membalasnya pula dengan kasih sayang termasuk orang tua kita, tapi mengapa kita
lalai dengan tidak menghargai kasih
sayang Allah kepada kita? Paling tidak kita syukuri segala nikmat yang telah Ia
berikan apa pun keadaan kita pada hari ini.”
Mata
Cinta
Keberartian. Dalam hidup ini harus ada penerimaan yang baik,
rasa syukur dan sikap penuh semangat. Aku tahu di mana sekarang letaknya
kebahagiaan, kebahagiaan yang dulu sering kali aku cari-cari, baru aku sadari saat
ini bahwa kebahagiaan itu letaknya ada di hati. Aku tidak akan menyalahi
takdirku (lagi) aku hanya akan menerima dan menjalaninya dengan sebaik-baiknya
seperti berpindah dari takdir baik menuju takdir yang lebih baik.
Dokter akan membuka perban di mataku
setelah operasi kemarin. Sungguh aku tak sabar membuka mataku. Kebahagiaan
seperti bercucuran di hari-hariku saat ini. Semua orang yang menyayangiku hadir
dan sekarang aku siap mengabsen mereka semua satu persatu. Orang tuaku tercinta
yang aku sangat rindukan papa dan mama, kemudian mereka memelukku erat. Adikku
yang tampan Dony, Kakakku Sella, sahabatku Ratih dan teman-teman lainnya,
semuanya datang. Tapi dimana dia? Mataku berpendar mencarinya tapi aku tidak
menemukan seseorang yang kucari. Kenapa
dia tidak datang? bahkan ia tidak menemuiku kemarin sebelum operasi. Sabda di mana
kamu? Aku ingin membagi kebahagiaan ini kepadamu.
Penantian
dalam Kehilangan
Sudah tiga hari tidak ada kabar dari Sabda, hari ini aku
akan pindah ke kamarku sebelumnya, semoga kau sudah menungguku di sana. Aku menuju
kamar rawatku saat ini setelah sebelumnya beberapa hari lalu aku dirawat di
kamar lain pasca operasi mata kemarin, aku memang belum bisa berjalan tapi kata
dokter aku masih punya harapan untuk kembali berdiri tegak dengan kakiku. Di
depan pintu tertulis kamar Mawar 102 aku memasukinya, begini ya ternyata
kamarku seperti layaknya kamar di rumah sakit memang tapi aku merasakan sesuatu
yang berbeda seperti perasaan nyaman ketika memasuki kamar ini yang tidak aku
temukan di kamar pasien mana pun.
“Ada lagi yang saya bisa bantu mba?
atau mba ingin tiduran saja di atas kasur?”
“Tidak suster Anna,” kali ini aku
memanggil namanya dan tentu saja tersenyum ramah padanya yang telah merawatku
selama ini.
Aku
tidak sabar melihat pemandangan di balik jendela itu. Aku menjalankan kursi
rodaku ke arah jendela dan perlahan membuka gordennya. Dan betapa aku terkejut
dengan apa yang aku lihat saat ini.
“Baik kalau begitu, kalau mba ingin
berbaring ke atas tempat tidur bisa panggil saja seperti biasa, kalau tidak ada
yang mba inginkan lagi saya izin keluar sebentar,” kata suster Anna.
“Mba, Mba Cinta!”
Apa
yang aku lihat ini? Kenapa berbeda?
“Sus, apa ini kamarku yang
sebelumnya? Aku tidak mau kamar ini! Aku
ingin ditempatkan di kamar sebelum aku di operasi. Tolong pindahkan aku
sekarang juga!”
“Tidak mba, ini kamar mba Cinta.”
“Tapi kenapa? Ada apa dengan jendela
ini?”
“Kenapa mba jendelanya?”
“Tidak ada yang aneh dengan
jendelanya Mba Cinta, hanya jendela yang berhadapan dengan tembok”
“Tidak suster. Sabda bilang di balik
jendela ini ada pemandangan yang indah seperti taman, kolam ikan, dan lain
sebagainya. Sabda sendiri yang menceritakannya padaku.” Ada apa dengan ini? Apa
Sabda membohongiku? Oh tidak! Entah mengapa hatiku sesak namun air mata tak
keluar dari mataku saat ini. Tidak bisa.
“Oh kata Mas Sabda. Dia itu salah
satu pasien rumah sakit ini, dan yang saya denger dia sudah meninggal.”
“Apa?”
Lelaki
itu meninggal? Apa yang terjadi? Aku baru saja mau memulai hidupku yang baru
saat ini dan aku berharap bisa bertemu dengannya kembali dan melihatnya, tidak
ada yang aku ketahui tentangnya tapi kenapa cepat sekali dia meninggalkanku?
Hatiku perih, teramat perih hatiku saat ini.
“Mba Cinta baik-baik saja kan? Aku
tahu mba Cinta pasti sedih kehilangan teman sebaik Mas Sabda tapi itulah
kematian tidak ada yang tahu. Mas Sabda itu pasien penyakit jantung. Mungkin
kematiannya memang mendadak tapi saya tidak tahu pasti.”
“Iya sus, dia teman yang baik selalu
menceritakan hal-hal yang menarik yang dia lihat dari balik jendela ini. Saat ini aku tidak mengerti apa yang kulihat
di depanku hanyalah sebuah jendela yang di luarnya ternyata hanyalah dinding
bercat putih. Kenapa dia berbohong kepadaku?”
“Maaf kalau saya lancang mba, kalau saya
boleh berpendapat. Kelihatnya Mas Sabda itu orang yang sangat baik, yang saya lihat
setiap dia memasuki kamar mba senyumnya merekah sekali dan bertambah lebar senyumnya
ketika keluar dari kamar Mba Cinta. Saya tidak tahu persis kenapa Mas Sabda
berbohong, tapi kalau saya rasa..” Suster Anna menggantung ucapannya. Aku
memintanya melanjutkan perkataannya tanpa merasa tidak enak.
“Semenjak mas Sabda rutin berkunjung
ke kamar ini, saya lihat keadaan Mba Cinta semakin membaik, mba lebih bersemangat
dan yang lebih penting Mba Cinta tidak seperti yang dulu, seperti orang yang
hidup tak mau mati pun enggan. Jadi menurut saya mas Sabda mungkin tidak
bermaksud berbohong, benar kalau di balik jendela ini hanyalah sebuah tembok
tapi mungkin mas Sabda hanya ingin menyampaikan bahwa di luar sana di balik
jendela ini, di balik rumah sakit ini banyak hal indah yang bisa Mba Cinta lihat.
”
Aneh
sekali, aku merasa sangat bersedih tapi air mata tidak mampu keluar setetes pun
dari kedua mataku ini. Memang benar apa yang disampaikan Suster Anna, betapa pun
aku tidak mengerti keadaan ini, di mana Sabda sekarang dan apa yang dia lakukan
saat ini, aku merasa dia selalu hadir. Aku dapat merasakan kehadirannya dalam
setiap kedipan mataku.
By: Mesti Farah
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !