Home » » SABDA CINTA [II]

SABDA CINTA [II]

Written By Amoe Hirata on Rabu, 11 Mei 2016 | 07.45

Teman, Enyahlah kau rasa bosan!

Aku tidak tahu jam berapa sekarang, tapi aku rasa ini waktu yang sama seperti waktu kemarin saat lelaki itu datang ke kamarku. Dan benar saja, aku mendengar pintu diketuk, 3 kali ketukan. Itu pasti dia!
            “Kamu lagi?” tanyaku padanya,
            “Ya, kenapa? Kamu sudah menungguku dari tadi ya?” Hah? Aku tersenyum kecut.
            “Aku senang kamu tersenyum, walau pun senyum seperti itu membuat wajahmu sangat aneh. Kamu harusnya senyum selebar mungkin,”  Aku diam.
            “Ok. Lain kali aku berharap dapat melihat senyum lima jarimu, tersenyum dengan sempurna.”
Senyum? Aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya? dan yang lebih menyedihkan aku tidak bisa melihat senyumku sendiri.
            “Oya, kemarin kamu bilang tentang jendela? Apa yang istimewa? Apa jendela itu terbuat dari emas?”
            “Kamu bercanda? Emas? Mana mungkin?”
            “Ini istimewa karena dari jendela ini, kamu bisa melihat pemandangan yang sangat indah!”
            “Dan aku tahu, bagiku ini adalah hal terkonyol dalam hidupku. Dan sepertinya kamu membuang-buang waktuku.”
Aku ingin menangis, tapi tidak! dan aku sadar ini bukan mimpi, kenyataannya aku adalah seorang wanita buta yang tidak bisa melihat apa pun kecuali kegelapan dan wanita lumpuh yang tak mampu hanya sekedar bergerak. Apa ini kehidupan?
            “Kamu marah?” Tanyaanya, aku memilih diam!
            “Aku berharap kamu tidak marah, aku di sini karena ingin menunjukanmu pemandangan yang indah dari jendela kamarmu, aku tahu keadaanmu. Oleh karena itu aku disini, aku akan benar-benar menunjukkannya kepadamu. Aku akan menjadi matamu, dan sebagai imbalannya aku berharap kita bisa menjadi teman. Dan karena kamu diam saja, aku anggap kamu menyetujuinya.”
Laki – laki ini aneh sekali, dia yang bertanya dan dia juga yang menjawabnya. Aku bisa apa? dan aku rasa ide ini tidak terlalu buruk, aku tidak tahu sampai kapan aku akan berada di rumah sakit ini. Aku rasa aku memang membutuhkan teman agar hidupku tidak terlalu membosankan.

***

Mata ini buta namun hatiku mulai terbuka

“Suster bisa tolong merapikan kamarku, tidakkah masih berantakan?”
“Baik Mba, tapi ini sudah tampak seperti biasanya.”
“Tidak suster, coba lebih teliti bahkan kalau perlu kau bisa menambahkan bunga atau apalah agar kamar ini benar-benar baik bagi siapa pun yang masuk ke dalamnya.”
“Baik Mba, saya akan memastikannya kembali dan melengkapinya seperti apa yang Mba inginkan.”
“Terima kasih suster, ”
Adakah yang berbeda dari diriku saat ini? Menurut dokter kesehatanku stabil dan keluargaku masih terus meminta dokter memberikan pengobatan terbaik untukku. Mungkin setiap hal di dunia ini hanya perlu penerimaan yang baik dan perlahan aku mulai bisa menerima diriku dengan mengikhlaskan apa pun yang terjadi dalam hidupku. Seperti kata Sabda mungkin saat ini penglihatanku sedang dijernihkan oleh Tuhan agar aku dapat melihat dengan mata batinku, dan kakiku yang lumpuh ini mungkin Tuhan hanya ingin membuatku berhenti dari pelarianku selama ini mejauh dariNya. Sabda
            “Hay Cinta…”
Kali ini aku benar-benar tersenyum seperti kuncup bunga saat mekar. Suara Sabda terdengar merdu bagaikan petikan melodi yang dibawakan oleh Dewa Gitar, Brian May. Aku tak sabar menantikan cerita-ceritanya di balik jendela itu.
            “Apa aku terlamabat? Sepertinya tidak.”

            “Seperti biasa, kau orang yang paling sering bertanya dan menjawab pertanyaanmu sendiri.” Aku merasa semakin hari senyumku tak terkendali?
            “Seperti itulah aku, banyak bertanya dan dari pertanyaan-pertanyaan itulah aku yakini satu hal bahwa ada pertanyaan yang terkadang tidak memerlukan jawaban.”
            “ Sudah-sudah tak usahlah kau banyak bergurau tentang dirimu sendiri. Segeralah kau ceritakan apa yang saat ini terjadi di luar sana?”
            “Baik-baik, rupanya selain kau ini perempuan yang judes kau juga orang yang tidak sabaran.”
Suasana hening sejenak, atau saat ini aku merasakan waktu berhenti sesaat. Dengar-dengar Sabda mulai berbicara,
            “Ya ampun!”
            “Kenapa?” tanyaku sangat penasaran.
            “Sabda? Kenapa kamu diam saja?” Aku rasa aku dapat merasakan sekujur tubuhku berkeringat.
            “Kamu tahu apa yang aku lihat?”
            “Tentu saja tidak!”
            “Cepat ceritakan padaku apa yang kau lihat di balik jendela itu!” desakku
            “Aku melihat, seorang anak kecil jatuh dari gendongan ibunya. Ya ampun..ya ampun!”
“Benarkah? Kenapa bisa sampai seperti itu? Betapa cerobahnya si ibu itu, kasihan sekali anak kecil itu”
“Iya, anak itu hanya bisa terus menangis. Apakah aku harus turun untuk membantunya?”
“Bagaimana dengan ibunya? Apa yang ia lakukan terhadap anaknya? Kalau kau merasa dapat membantunya kenapa kau masih diam di sini Sabda.”
            “Tidak, aku tidak akan ke mana-mana karena anak itu sudah dipelukan ibunya dan sudah ada banyak orang yang menolong mereka.”
            “Lalu apa yang terjadi kemudian?” Aku menggigit bibirku karena ikut merasa gusur dengan keadaan anak itu.
            “Lah kok?”
            “Kenapa lagi?” tanyaku masih dalam resah
            “Sekarang gantian ibunya yang menangis, bahkan tangisnya mengalahi tangisan anaknya.”
Aku semakin penasaran apa yang terjadi sebenarnya?
            “Bukankah tadi kau bilang anaknya yang terjatuh dari pangkuan ibunya. Tidak ada yang terjadi pada ibunya kan? Ibu itu tidak mengalami luka sesuatu kan?”
            “Cinta, kau tahu?”
            “Apa lagi Sabda aku tidak dapat melihat seperti yang kau lihat aku hanya bisa mendengar apa yang kau ceritakan padaku, jangan malah membuat aku kebingungan seperti ini atau Kau telah mempermainkanku?”
            “Tentu tidak Cinta, aku mengatakan apa yang aku lihat. Kau tahu Cinta, ibu itu mungkin tidak mengalami luka fisik seperti pada anaknya tapi Ibu itu merasakan sakit yang jauh lebih besar dari apa yang bisa kita lihat pada anaknya. Karena apa? Karena cinta dan kasih sayang yang tulus dari seorang ibu.”
            “Selalu ada pesan Tuhan dari setiap apa yang kita lihat Cin, tapi bukan dari mata kita ini tapi melihat dari hati dan sayangnya banyak orang yang matanya terbuka tapi hatinya tertutup. Kau tenang saja, ibu dan anak itu sudah pergi dengan keadaan baik-baik saja.”
            “Syukurlah,”
            “Cinta, Ada yang menarik dari apa yang tadi aku saksikan.”
            “Menarik kau bilang?” Aneh si Sabda ini bukannya prihatin malah dia bilang menarik kejadian anak yang terjatuh dari pangkuan ibunya?
            “Aku merasa kasihan dengan anak itu pun dengan ibunya juga yang terlihat sangat merasa bersalah. Tapi aku jadi semakin menyakini satu hal dalam hidup ini.”
            “Apa?”
            “Bahwa Sesungguhnya Tuhan lebih sayang kepada hamba-Nya, melebihi sayangnya ibu tadi kepada anaknya.”
Aku terdiam, seperti ada sesuatu yang menusuk hatiku. Perasaan yang teramat menyesakkan karena aku lebih sering lalai mengingatNya apalagi setelah kecelakaan yang menimpaku, aku tidak merasakan keberadaanNya.
            “Tidak ada seorang pun yang lebih sayang melebihi Tuhan. Jika kita saja menghargai kasih sayang orang lain dengan membalasnya pula dengan kasih sayang termasuk orang tua kita, tapi mengapa kita  lalai dengan tidak menghargai kasih sayang Allah kepada kita? Paling tidak kita syukuri segala nikmat yang telah Ia berikan apa pun keadaan kita pada hari ini.”


Mata Cinta
Keberartian. Dalam hidup ini harus ada penerimaan yang baik, rasa syukur dan sikap penuh semangat. Aku tahu di mana sekarang letaknya kebahagiaan, kebahagiaan yang dulu sering kali aku cari-cari, baru aku sadari saat ini bahwa kebahagiaan itu letaknya ada di hati. Aku tidak akan menyalahi takdirku (lagi) aku hanya akan menerima dan menjalaninya dengan sebaik-baiknya seperti berpindah dari takdir baik menuju takdir yang lebih baik.
            Dokter akan membuka perban di mataku setelah operasi kemarin. Sungguh aku tak sabar membuka mataku. Kebahagiaan seperti bercucuran di hari-hariku saat ini. Semua orang yang menyayangiku hadir dan sekarang aku siap mengabsen mereka semua satu persatu. Orang tuaku tercinta yang aku sangat rindukan papa dan mama, kemudian mereka memelukku erat. Adikku yang tampan Dony, Kakakku Sella, sahabatku Ratih dan teman-teman lainnya, semuanya datang. Tapi dimana dia? Mataku berpendar mencarinya tapi aku tidak menemukan seseorang yang  kucari. Kenapa dia tidak datang? bahkan ia tidak menemuiku kemarin sebelum operasi. Sabda di mana kamu? Aku ingin membagi kebahagiaan ini kepadamu.

Penantian dalam Kehilangan

Sudah tiga hari tidak ada kabar dari Sabda, hari ini aku akan pindah ke kamarku sebelumnya, semoga kau sudah menungguku di sana. Aku menuju kamar rawatku saat ini setelah sebelumnya beberapa hari lalu aku dirawat di kamar lain pasca operasi mata kemarin, aku memang belum bisa berjalan tapi kata dokter aku masih punya harapan untuk kembali berdiri tegak dengan kakiku. Di depan pintu tertulis kamar Mawar 102 aku memasukinya, begini ya ternyata kamarku seperti layaknya kamar di rumah sakit memang tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda seperti perasaan nyaman ketika memasuki kamar ini yang tidak aku temukan di kamar pasien mana pun.
            “Ada lagi yang saya bisa bantu mba? atau mba ingin tiduran saja di atas kasur?”
            “Tidak suster Anna,” kali ini aku memanggil namanya dan tentu saja tersenyum ramah padanya yang telah merawatku selama ini.
Aku tidak sabar melihat pemandangan di balik jendela itu. Aku menjalankan kursi rodaku ke arah jendela dan perlahan membuka gordennya. Dan betapa aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini.
            “Baik kalau begitu, kalau mba ingin berbaring ke atas tempat tidur bisa panggil saja seperti biasa, kalau tidak ada yang mba inginkan lagi saya izin keluar sebentar,” kata suster Anna.
            “Mba, Mba Cinta!”
Apa yang aku lihat ini? Kenapa berbeda?
            “Sus, apa ini kamarku yang sebelumnya?  Aku tidak mau kamar ini! Aku ingin ditempatkan di kamar sebelum aku di operasi. Tolong pindahkan aku sekarang juga!”
            “Tidak mba, ini kamar mba Cinta.”
            “Tapi kenapa? Ada apa dengan jendela ini?”
            “Kenapa mba jendelanya?”
            “Tidak ada yang aneh dengan jendelanya Mba Cinta, hanya jendela yang berhadapan dengan tembok”
            “Tidak suster. Sabda bilang di balik jendela ini ada pemandangan yang indah seperti taman, kolam ikan, dan lain sebagainya. Sabda sendiri yang menceritakannya padaku.” Ada apa dengan ini? Apa Sabda membohongiku? Oh tidak! Entah mengapa hatiku sesak namun air mata tak keluar dari mataku saat ini. Tidak bisa.
            “Oh kata Mas Sabda. Dia itu salah satu pasien rumah sakit ini, dan yang saya denger dia sudah meninggal.”
            “Apa?”
Lelaki itu meninggal? Apa yang terjadi? Aku baru saja mau memulai hidupku yang baru saat ini dan aku berharap bisa bertemu dengannya kembali dan melihatnya, tidak ada yang aku ketahui tentangnya tapi kenapa cepat sekali dia meninggalkanku? Hatiku perih, teramat perih hatiku saat ini.
            “Mba Cinta baik-baik saja kan? Aku tahu mba Cinta pasti sedih kehilangan teman sebaik Mas Sabda tapi itulah kematian tidak ada yang tahu. Mas Sabda itu pasien penyakit jantung. Mungkin kematiannya memang mendadak tapi saya tidak tahu pasti.”
            “Iya sus, dia teman yang baik selalu menceritakan hal-hal yang menarik yang dia lihat dari balik jendela ini.  Saat ini aku tidak mengerti apa yang kulihat di depanku hanyalah sebuah jendela yang di luarnya ternyata hanyalah dinding bercat putih. Kenapa dia berbohong kepadaku?”
            “Maaf kalau saya lancang mba, kalau saya boleh berpendapat. Kelihatnya Mas Sabda itu orang yang sangat baik, yang saya lihat setiap dia memasuki kamar mba senyumnya merekah sekali dan bertambah lebar senyumnya ketika keluar dari kamar Mba Cinta. Saya tidak tahu persis kenapa Mas Sabda berbohong, tapi kalau saya rasa..” Suster Anna menggantung ucapannya. Aku memintanya melanjutkan perkataannya tanpa merasa tidak enak.
            “Semenjak mas Sabda rutin berkunjung ke kamar ini, saya lihat keadaan Mba Cinta semakin membaik, mba lebih bersemangat dan yang lebih penting Mba Cinta tidak seperti yang dulu, seperti orang yang hidup tak mau mati pun enggan. Jadi menurut saya mas Sabda mungkin tidak bermaksud berbohong, benar kalau di balik jendela ini hanyalah sebuah tembok tapi mungkin mas Sabda hanya ingin menyampaikan bahwa di luar sana di balik jendela ini, di balik rumah sakit ini banyak hal indah yang bisa Mba Cinta lihat. ”

Aneh sekali, aku merasa sangat bersedih tapi air mata tidak mampu keluar setetes pun dari kedua mataku ini. Memang benar apa yang disampaikan Suster Anna, betapa pun aku tidak mengerti keadaan ini, di mana Sabda sekarang dan apa yang dia lakukan saat ini, aku merasa dia selalu hadir. Aku dapat merasakan kehadirannya dalam setiap kedipan mataku.

By: Mesti Farah
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan