Home » » SKIZOFRENIA & CINTA YANG HILANG

SKIZOFRENIA & CINTA YANG HILANG

Written By Amoe Hirata on Minggu, 08 Mei 2016 | 16.13

Ketika itu masyarakat ramai membahas sebuah kasus anggota polisi yang dengan sadis membunuh 2 anak kandungnya di daerah Melawi, Kalimantan Barat. Sebuah perbuatan keji yang dilakukan seorang ayah kepada anak kandungnya yang berusia 4 dan 5 tahun dengan alasan mendapatkan bisikan dari Tuhan. Lebih lanjut berdasarkan berbagai informasi dan lain-lain disinyalir anggota polisi tersebut mengalami gangguan mental SKIZOFRENIA.
            Nia menahan tangis yang nyaris tumpah, bahunya membungkuk seakan tengah memangku beban berat di pundaknya. Di hadapan sepupunya Nia bercerita, “SKIZOFRENIA
. Dokter bilang suami aku menderita penyakit itu Ar,” Nia tetap tegar dan Ara tak mampu menyembunyikan kekagetannya.
            “Kamu yakin itu yang disampaikan dokter?” Tanya Ara lalu dijawab dengan anggukan oleh Nia.
            “Di usia pernikahan kami yang menginjak usia 5 tahun ini Mas Slamet sudah kali ketiga dirawat intens di Rumah Sakit Jiwa di daerah Bandung.” Sejenak Nia menghentikan ceritanya. Seolah mengambil nafas panjang untuk mengungkapkan segala gundah-gulana hatinya.
 “Pada mulanya aku kira Mas Slamet hanya stress karena tumpukan pekerajaan di kantornya dan mungkin dia saat itu kaget menghadapi kehidupan baru.  Dia merupakan anak semata wayang yang segala kehidupannya terpenuhi, tapi semenjak menikah, dia dituntut untuk mampu menjadi kepala rumah tangga demi memenuhi segala kebutuhan keluarga kecil kami. Saat itu kami baru menikah 3 bulan Ar, ditambah lagi aku baru saja keguguran. Mas Slamet bersikap sangat aneh, tiba-tiba dia menjadi orang yang sangat diam, tingkah lakunya juga tidak jelas sering berdiri di pojok pintu, kalau aku ajak ngomong juga enggak nyambung kadang malah tidak merespon sama sekali, pernah suatu kali aku mendapati Mas Slamet ngobrol sendiri dan seperti orang ketakutan sendiri. Tapi di lain waktu mas Slemet bersikap layaknya orang normal.” Nia bertutur namun tak setetes pun air mata keluar dari matanya, kekuatan terpancar dari dalam dirinya. Ara melihat ketegaran itu. Nia pun melanjutkan ceritanya,
“Mas Slamet masuk ke rumah sakit dan tiga minggu kemudian keluar. Aku kira semuanya akan menjadi lebih indah, sampai masa-masa kehamilanku kali kedua berjalan normal semuanya masih baik-baik saja. Mas Slamet sehat dan bekerja seperti biasanya. Namun saat usia kehamilanku memasuki 9 bulan Mas Slamet menunjukan kembali gerak-gerik yang tidak biasa malah lebih parah dari sebelumnya, mas Slamet ngamuk-ngamuk. Dan aku terpaksa melalui kehamilan, kelahiran putriku sampai ia memasuki usia 3 bulan seorang diri tanpa kehadiran suami. Dalam masa penantian itu seorang perempuan datang kepadaku meminta pertanggunjawaban suamiku yang telah berjanji untuk menikahinya. Saat itu yang aku rasakan seolah bumi terbalik, dalam hati aku bertanya, ‘Kenapa semua ini terjadi? Apa salahku pada suamiku?’ dan segenap pertanyaan lainnya. Sungguh saat itu aku merasa tidak sanggup untuk melanjutkan pernikahan ini bahkan untuk melanjutkan kehidupanku. Akan tetapi aku melihat putri kecilku Nasya dan dari situlah kekuatanku muncul kembali.”
“Maafin aku saat itu nggak ada di samping kamu, nggak bisa kasih dukungan, nggak bisa bantu kamu, maafin aku” Ara sesegukan menangisi penyesalannya. Hatinya amat bersedih terhadap apa yang menimpa kakak sepupunya itu. Nia berusaha menghentikan tangis Ara dengan mengatakan;
“Aku sudah tidak apa-apa kok Ra. Saat ini aku sudah dapat menerima keadaan dan seharusnya sekarang kamu juga jangan bersedih, kalau aku jadi sedih lagi gimana?”
“Ok, aku nggak akan sedih lagi.” Ara buru-buru menghapus sisa-sisa air matanya.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
“Silakan!”
“Kenapa kamu memutuskan untuk bertahan?” Tanya Ara, peratanyaan yang sebenarnya berat ditanyakannya. Lagi-lagi Nia menghela nafas.
“Seperti yang aku bilang tadi sebenarnya aku pun tidak merasa kuat menjalani semua ini. Tapi aku yakin sama Tuhan, Allah nggak akan meninggalkan aku dengan beban sebarat ini tanpa jalan keluar. Kedua aku punya Nasya putriku yang tawanya menjadi pelipur hati setiap kali aku bersedih. Dan ketiga kalau boleh jujur untuk urusan cinta aku merasa kehilangan itu, aku ragu masih ada perasaan semacam itu untuk suamiku tapi aku berani jamin satu hal bahwa dalam hati ini masih ada rasa kasih dan sayang untuk suamiku, mas Slamet.”
“Tapi beberapa waktu yang lalu aku melihat berita tentang seorang anggota polisi yang membunuh anak-anaknya dan setelah diselidiki ternyata polisinya itu kena gangguan jiwa ya semacam Skizofrenia. Kamu tidak takut hal semacam itu terjadi dengan Mas Slamet. Maaf ya, mungkin aku salah ngomong seperti ini tapi aku juga khawatir sama kamu dan Nasya”
“Aku juga mendengar berita itu, bahkan aku mengikuti berita-beritanya di youtube dan beberapa media online lainnya. Bisa dibilang apa yang menimpa polisi itu hampir sama dengan yang dialami Mas Slamet. Dilihat dari gejala dan hasil wawancara Brigadir Petrus kalau tidak salah nama polisinya, dia mengatakan ada bisikan-bisakan yang memerintahkannya, dia melihat sosok orang kekar hitam selama beberapa hari dan sebagainya. Jika diteliti dengan seksama seperti emosi yang tidak stabil, kemungkinan halusinasi, paranoya dan lain-lain itu juga yang dialami oleh suamiku. Aku juga sempat mengalami ketakutan setiap kali mas Slamet menggendong Nasya tetapi di sisi lain aku juga tidak dapat begitu saja memisahkan ayah dengan anaknya. Oleh karena itu aku memutuskan merawat suamiku di rumah, “
“Setahu aku bukannya berbahaya ya? kalau sewaktu-waktu bisa saja terjadi yang tentu kita semua tidak menginginkan hal buruk terjadi tapi bukannya seseorang yang terkena Skizofrenia sewaktu-waktu bisa saja menyakiti orang lain, menyakti diri sendiri atau bahkan sampai membunuh dirinya sendiri?, karena emosinya yang tidak stabil jadi dia bisa saja melakukan apa pun”
“Iya, apa yang disampaikan kamu benar adanya dan aku tahu itu dengan pasti. Ada satu pertanyaan yang menarik begini, kenapa kalau orang yang terkena penyakit kanker, tumor, meningitis, dan penyakit fisik lainnya ramai orang menjenguk dan menyemangati si pasien yang sakit ini untuk sembuh, tapi sebaliknya ketika seseorang terkena penyakit ‘kejiwaan’ maka hampir semua orang meninggalkannya satu persatu bahkan kalau perlu dijauhi sejauh-jauhnya dari masyarakat? Padahal sesungguhnya keduanya sama-sama sakit  akan tetapi bedanya satu menyerang raga dan yang satunya lagi menyerang jiwa. Bukankah seharusnya bersikap adil? Pasien dengan gangguan kejiwaan pun memerlukan perhatian yang sama, memerlukan dukungan, dan memerlukan seseorang, keluarga, bahkan masyarakat untuk dapat menyembuhkan mereka, bukankah setiap penyakit ada obatnya. Dan aku yakin suamiku Mas Slamet insyaallah juga akan sembuh pada waktunya oleh karena itu aku akan setia merawat dan menemaninya.”

**

            Nia sosok yang inspiratif setidaknya itu bagiku, saat ini ibu beranak satu itu dengan setia dan penuh kasih merawat suaminya mas Slamet di rumah. Berbagai empati dan simpati pun berdatangan mulai dari dukungan keluarga sampai tetangga dan masyarakat. Mungkin memang benar Skizofrenia menjadi salah satu penyakit yang menakutkan bagi banyak orang tapi melihat keyakinan Nia aku yakin penyakit itu dapat disembuhkan tentunya dengan pengobatan yang menyeluruh  dengan menggunakan obat-obatan maupun pendekatan secara psikologis, sosial, spiritual dan yang paling terpenting seperti yang Nia katakan bahwa dukungan keluarga dan semua pihak menjadi salah satu faktor pendukung yang penting bagi kesembuhan pasien.
            Di sisi lain aku merasa miris pada banyak pasangan suami istri yang dengan mudahnya mengajukan cerai pada pengadilan dengan asalan yang sepele seperti sudah tidak tercipta kembali keharmonisan keluarga, tidak adanya komunikasi yang baik antar pasangan,  sampai persoalan ekonomi. Bisa di lihat pada data kementerian agama di mana kasus perceraian di Indonesia dalam kurang waktu tahun 2009-2014 mengalami peningkatan, 70% gugatan perceraian diajukan oleh pihak istri dan diperkirakan data percerian semakin meningkat setiap tahunnya.
            “Kalau boleh jujur untuk urusan cinta, aku sudah merasa kehilangan itu, aku ragu masih ada perasaan semacam itu untuk suamiku tapi aku berani jamin satu hal bahwa dalam hati ini masih ada rasa kasih dan sayang untuk suamiku.” sangat menarik apa yang telah diungkapkan Nia tentang perasaannya itu di mana kasih sayang untuk suaminyalah yang membuatnya untuk bertahan dan setia. Cinta mungkin saja berubah menjadi benci atau perlahan menghilang tetapi perasaan kasih dan sayang terus bersemayam di dalam hatinya yang suci.
            Semoga ini menjadi pelajaran yang menarik untuk dapat kita teladani bersama karena cerita ini adalah NYATA dan mungkin masih banyak sosok wanita tangguh lainnya di sekeliling kita yang dapat menjadi teladan yang baik bagi kita dan untuk kelanggengan rumah tangga kita.

[By: Mesti Farah].
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan