Ketika itu masyarakat ramai membahas sebuah kasus anggota polisi
yang dengan sadis membunuh 2 anak kandungnya di daerah Melawi, Kalimantan
Barat. Sebuah perbuatan keji yang dilakukan seorang ayah kepada anak kandungnya
yang berusia 4 dan 5 tahun dengan alasan mendapatkan bisikan dari Tuhan. Lebih
lanjut berdasarkan berbagai informasi dan lain-lain disinyalir anggota polisi
tersebut mengalami gangguan mental SKIZOFRENIA.
Nia menahan tangis yang nyaris tumpah,
bahunya membungkuk seakan tengah memangku beban berat di pundaknya. Di hadapan
sepupunya Nia bercerita, “SKIZOFRENIA
. Dokter bilang suami aku menderita penyakit itu Ar,” Nia tetap tegar dan Ara tak mampu menyembunyikan kekagetannya.
. Dokter bilang suami aku menderita penyakit itu Ar,” Nia tetap tegar dan Ara tak mampu menyembunyikan kekagetannya.
“Kamu yakin itu yang disampaikan
dokter?” Tanya Ara lalu dijawab dengan anggukan oleh Nia.
“Di usia pernikahan kami yang
menginjak usia 5 tahun ini Mas Slamet sudah kali ketiga dirawat intens di Rumah
Sakit Jiwa di daerah Bandung.” Sejenak Nia menghentikan ceritanya. Seolah
mengambil nafas panjang untuk mengungkapkan segala gundah-gulana hatinya.
“Pada mulanya aku
kira Mas Slamet hanya stress karena tumpukan pekerajaan di kantornya dan
mungkin dia saat itu kaget menghadapi kehidupan baru. Dia merupakan anak semata wayang yang segala
kehidupannya terpenuhi, tapi semenjak menikah, dia dituntut untuk mampu menjadi
kepala rumah tangga demi memenuhi segala kebutuhan keluarga kecil kami. Saat
itu kami baru menikah 3 bulan Ar, ditambah lagi aku baru saja keguguran. Mas
Slamet bersikap sangat aneh, tiba-tiba dia menjadi orang yang sangat diam,
tingkah lakunya juga tidak jelas sering berdiri di pojok pintu, kalau aku ajak
ngomong juga enggak nyambung kadang
malah tidak merespon sama sekali, pernah suatu kali aku mendapati Mas Slamet
ngobrol sendiri dan seperti orang ketakutan sendiri. Tapi di lain waktu mas
Slemet bersikap layaknya orang normal.” Nia bertutur namun tak setetes pun air
mata keluar dari matanya, kekuatan terpancar dari dalam dirinya. Ara melihat
ketegaran itu. Nia pun melanjutkan ceritanya,
“Mas Slamet masuk ke rumah sakit dan tiga minggu kemudian
keluar. Aku kira semuanya akan menjadi lebih indah, sampai masa-masa
kehamilanku kali kedua berjalan normal semuanya masih baik-baik saja. Mas
Slamet sehat dan bekerja seperti biasanya. Namun saat usia kehamilanku memasuki
9 bulan Mas Slamet menunjukan kembali gerak-gerik yang tidak biasa malah lebih
parah dari sebelumnya, mas Slamet ngamuk-ngamuk. Dan aku terpaksa melalui
kehamilan, kelahiran putriku sampai ia memasuki usia 3 bulan seorang diri tanpa
kehadiran suami. Dalam masa penantian itu seorang perempuan datang kepadaku
meminta pertanggunjawaban suamiku yang telah berjanji untuk menikahinya. Saat
itu yang aku rasakan seolah bumi terbalik, dalam hati aku bertanya, ‘Kenapa
semua ini terjadi? Apa salahku pada suamiku?’ dan segenap pertanyaan lainnya. Sungguh
saat itu aku merasa tidak sanggup untuk melanjutkan pernikahan ini bahkan untuk
melanjutkan kehidupanku. Akan tetapi aku melihat putri kecilku Nasya dan dari
situlah kekuatanku muncul kembali.”
“Maafin aku saat itu nggak ada di samping kamu, nggak bisa
kasih dukungan, nggak bisa bantu kamu, maafin aku” Ara sesegukan menangisi
penyesalannya. Hatinya amat bersedih terhadap apa yang menimpa kakak sepupunya
itu. Nia berusaha menghentikan tangis Ara dengan mengatakan;
“Aku sudah tidak apa-apa kok Ra. Saat ini aku sudah dapat
menerima keadaan dan seharusnya sekarang kamu juga jangan bersedih, kalau aku
jadi sedih lagi gimana?”
“Ok, aku nggak akan sedih lagi.” Ara buru-buru menghapus
sisa-sisa air matanya.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
“Silakan!”
“Kenapa kamu memutuskan untuk bertahan?” Tanya Ara,
peratanyaan yang sebenarnya berat ditanyakannya. Lagi-lagi Nia menghela nafas.
“Seperti yang aku bilang tadi sebenarnya aku pun tidak
merasa kuat menjalani semua ini. Tapi aku yakin sama Tuhan, Allah nggak akan
meninggalkan aku dengan beban sebarat ini tanpa jalan keluar. Kedua aku punya
Nasya putriku yang tawanya menjadi pelipur hati setiap kali aku bersedih. Dan
ketiga kalau boleh jujur untuk urusan cinta aku merasa kehilangan itu, aku ragu
masih ada perasaan semacam itu untuk suamiku tapi aku berani jamin satu hal
bahwa dalam hati ini masih ada rasa kasih dan sayang untuk suamiku, mas Slamet.”
“Tapi beberapa waktu yang lalu aku melihat berita tentang
seorang anggota polisi yang membunuh anak-anaknya dan setelah diselidiki
ternyata polisinya itu kena gangguan jiwa ya semacam Skizofrenia. Kamu tidak
takut hal semacam itu terjadi dengan Mas Slamet. Maaf ya, mungkin aku salah
ngomong seperti ini tapi aku juga khawatir sama kamu dan Nasya”
“Aku juga mendengar berita itu, bahkan aku mengikuti
berita-beritanya di youtube dan beberapa media online lainnya. Bisa dibilang
apa yang menimpa polisi itu hampir sama dengan yang dialami Mas Slamet. Dilihat
dari gejala dan hasil wawancara Brigadir Petrus kalau tidak salah nama polisinya,
dia mengatakan ada bisikan-bisakan yang memerintahkannya, dia melihat sosok
orang kekar hitam selama beberapa hari dan sebagainya. Jika diteliti dengan
seksama seperti emosi yang tidak stabil, kemungkinan halusinasi, paranoya dan
lain-lain itu juga yang dialami oleh suamiku. Aku juga sempat mengalami
ketakutan setiap kali mas Slamet menggendong Nasya tetapi di sisi lain aku juga
tidak dapat begitu saja memisahkan ayah dengan anaknya. Oleh karena itu aku
memutuskan merawat suamiku di rumah, “
“Setahu aku bukannya berbahaya ya? kalau sewaktu-waktu bisa
saja terjadi yang tentu kita semua tidak menginginkan hal buruk terjadi tapi
bukannya seseorang yang terkena Skizofrenia sewaktu-waktu bisa saja menyakiti
orang lain, menyakti diri sendiri atau bahkan sampai membunuh dirinya sendiri?,
karena emosinya yang tidak stabil jadi dia bisa saja melakukan apa pun”
“Iya, apa yang disampaikan kamu benar adanya dan aku tahu
itu dengan pasti. Ada satu pertanyaan yang menarik begini, kenapa kalau orang
yang terkena penyakit kanker, tumor, meningitis, dan penyakit fisik lainnya
ramai orang menjenguk dan menyemangati si pasien yang sakit ini untuk sembuh,
tapi sebaliknya ketika seseorang terkena penyakit ‘kejiwaan’ maka hampir semua orang
meninggalkannya satu persatu bahkan kalau perlu dijauhi sejauh-jauhnya dari
masyarakat? Padahal sesungguhnya keduanya sama-sama sakit akan tetapi bedanya satu menyerang raga dan
yang satunya lagi menyerang jiwa. Bukankah seharusnya bersikap adil? Pasien
dengan gangguan kejiwaan pun memerlukan perhatian yang sama, memerlukan
dukungan, dan memerlukan seseorang, keluarga, bahkan masyarakat untuk dapat
menyembuhkan mereka, bukankah setiap penyakit ada obatnya. Dan aku yakin
suamiku Mas Slamet insyaallah juga akan sembuh pada waktunya oleh karena itu
aku akan setia merawat dan menemaninya.”
**
Nia sosok yang inspiratif setidaknya
itu bagiku, saat ini ibu beranak satu itu dengan setia dan penuh kasih merawat
suaminya mas Slamet di rumah. Berbagai empati dan simpati pun berdatangan mulai
dari dukungan keluarga sampai tetangga dan masyarakat. Mungkin memang benar
Skizofrenia menjadi salah satu penyakit yang menakutkan bagi banyak orang tapi
melihat keyakinan Nia aku yakin penyakit itu dapat disembuhkan tentunya dengan
pengobatan yang menyeluruh dengan
menggunakan obat-obatan maupun pendekatan secara psikologis, sosial, spiritual dan
yang paling terpenting seperti yang Nia katakan bahwa dukungan keluarga dan semua
pihak menjadi salah satu faktor pendukung yang penting bagi kesembuhan pasien.
Di sisi lain aku merasa miris pada
banyak pasangan suami istri yang dengan mudahnya mengajukan cerai pada
pengadilan dengan asalan yang sepele seperti sudah tidak tercipta kembali
keharmonisan keluarga, tidak adanya komunikasi yang baik antar pasangan, sampai persoalan ekonomi. Bisa di lihat pada
data kementerian agama di mana kasus perceraian di Indonesia dalam kurang waktu
tahun 2009-2014 mengalami peningkatan, 70% gugatan perceraian diajukan oleh
pihak istri dan diperkirakan data percerian semakin meningkat setiap tahunnya.
“Kalau
boleh jujur untuk urusan cinta, aku sudah merasa kehilangan itu, aku ragu masih
ada perasaan semacam itu untuk suamiku tapi aku berani jamin satu hal bahwa
dalam hati ini masih ada rasa kasih dan sayang untuk suamiku.” sangat
menarik apa yang telah diungkapkan Nia tentang perasaannya itu di mana kasih
sayang untuk suaminyalah yang membuatnya untuk bertahan dan setia. Cinta
mungkin saja berubah menjadi benci atau perlahan menghilang tetapi perasaan
kasih dan sayang terus bersemayam di dalam hatinya yang suci.
Semoga ini menjadi pelajaran yang
menarik untuk dapat kita teladani bersama karena cerita ini adalah NYATA dan
mungkin masih banyak sosok wanita tangguh lainnya di sekeliling kita yang dapat
menjadi teladan yang baik bagi kita dan untuk kelanggengan rumah tangga kita.
[By: Mesti Farah].
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !