SETELAH menjelaskan secara singkat tentang judul, tibalah saatnya kepada
permasalahan inti. Ada dua generasi yang tercatat dalam gelanggang sejarah umat
Islam sebagai pejuang pembebasan Palestina: Pertama: Generasi sahabat. Kedua:
Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Masing-masing dari
generasi memiliki titik perbedaan dan persamaan. Dari sisi perbedaan, generasi
awal yang diinisiatori oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga direalisasikan oleh para sahabat
bekerja pada sekup al-Fātihūn, pembuka atau
pembebas Palestina dari cengkraman hegemoni peradaban Romawi. Sedangkan generasi
kedua berkontribusi dalam wilayah pembebasan untuk kedua kalinya dari kekuasaan
Romawi. Karena itulah, generasi kedua membutuhkan tools (sarana atau
alat) sangat banyak untuk mewujudkan visi-misinya.
Dari sisi alasan
pembebasan, kedua generasi memiliki persamaan. Pertama, alasan
pembebasan Generasi pertama: realisasi visi misi risalah Islam sebagai model
terakhir peradaban dunia. Alasan ini juga yang menjadi mobilisator generasi
kedua. Kedua, kesatuan visi Masjid al-Haram dan Aqsha sesuai dengan
Surah Al-Isra [17], ayat: 1.
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ
أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا
ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ
ٱلۡبَصِيرُ ١
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Pada ayat ini terlihat
dengan jelas bagaimana Masjid al-Haram dikaitkan dengan Masjid al-Aqsha.
Peristiwa Isra dari Haram ke Aqsha, sedangkan Mi’raj, dari Aqsha hingga
Sidratul Muntaha.
Ketiga, sejak awal Rasulullah
membuat strategi pertahanan
geografis peradaban dg menghubungkan
Palestina/Syam sebagai kawasan tsughur & ribath (benteng
pertahanan dan medan tempur) dan Hijaz
sebagai kawasan hawadhir (kota untuk menyemai peradaban Islam).
Aqsha ini menjadi ukuran.
Jika ia bermasalah, maka peradaban umat Islam juga bermasalah. Hal itu terbukti
sampai hari ini, ketika Aqsha dikuasai Israel dan sekutunya, maka bisa dilihat
bagaimana kondisi internal umat Islam yang kacau balau.
Kisah-kisah yang terekam
dalam sirah nabawiyah seperti: pengurusan prajurit ke Dumatul Jandal; ekspedisi perang Tabuk, adalah bukti konkret bahwa
Rasulullah sangat fokus pada upaya pembebasan Palestina sejak dini. Bahkan, pada tahun kesepuluh hijriah menjelang wafatnya,
beliau mengirim Utsāmah
bin Haritsah untuk mem-follow up ide brilian ini, tapi sayangnya beliau meninggal sebelum
cita-cita itu terealisir, sehingga baru bisa direalisasikan di zaman Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu.
Dikirim lah Yazid bin Abu Sufyan dan lain
sebagainya untuk pembebasan Palestina.
Sedemikian pentingnya visi ini, Abu Bakar sampai menjadikannya prioritas
mengalahkan permasalahan-permasalahan lain yang juga sangat pelik di masanya
seperti kasus: merebaknya nabi palsu, kemurtadan, dan pembangkangkangan
terhadap zakat.
Sepeninggal Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu ide pembebasan dan perluasan wilayah diteruskan oleh Umar bin Khattab
radhiyallahu ‘anhu. Pada waktu itu (16 H), strategi Umar ialah dengan mengepung
Palestina. Sebagai penakluk di lapangan pada waktu itu adalah Amru bin Ash
radhiyallahu ‘anhu, tapi komando besar kepemimpinannya berada di tangan Abu
Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu.
Dari rangakain peristiwa tersebut, menunjukkan
bahwa sejak zaman Rasul memang Palestina sudah jadi bidikan atau fokus.
Mengapa Romawi (sebagai peradaban) sedemikian
penting untuk diperhatikan, karena Rasulullah pernah bersabda:
عَنِ ابْنِ مُحَيْرِيزٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
فَارِسُ نَطْحَةٌ أَوْ نَطْحَتَانِ ثُمَّ لَا فَارِسَ بَعْدَهَا أَبَدًا وَالرُّومُ
ذَاتُ الْقُرُونِ أَصْحَابُ بَحْرٍ وَصَخْرٍ كُلَّمَا ذَهَبَ قَرْنٌ خَلَفَ قَرْنٌ
مَكَانَهُ , هَيْهَاتَ إِلَى آخَرِ الدَّهْرِ هُمْ أَصْحَابُكُمْ مَا كَانَ فِي الْعَيْشِ
خَيْرٌ
“Persia hanya satu atau dua cakupan, kemudian Allah membuka negeri itu.
Maka tidak ada Persia lagi sesudahnya. Sedangkan Romawi akan berlalu beberapa
kurun. Ada penguasa laut dan dan darat.
Setiap kali satu kurun hancur, maka digantikan oleh kurun berikutnya,
demikianlah sampai akhit kiamat. Mereka adalah sehabatmu selama dalam kehidupan
ada kebaikan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Pertarungan dengan Barat bukan sekadar agama tapi
Peradaban. Dan itu sudah dimulai sejak nabi ketika berkonfrontasi dengan
Romawi. Romawi di sini lebih kepada istilah peradaban Barat kala itu. Konflik
itu terus berlangsung hingga sekarang. Maka tidak mengherankan di Barat ada
tokoh yang membuat istilah clash of civilization (benturan peradaban)
yang dimaksud di sini ialah antara Islam dan Barat.
Hal inilah yang sekarang ini kurang diperhatikan
oleh kebanyakan umat Islam. Mereka memandang Barat hanya sebagai Barat yang
maju dengan capai teknologinya, tapi tidak memperhitungkannya sebagai peradaban
yang masih berkonflik dengan Islam hingga sekarang. Padahal, orang-orang Barat
selalu perhatian dalam masalah ini. Adanya orientalis Belanda semacam Snouck
Horgronge, adalah upaya strategis yang diupayakan mereka untuk menaklukan
negeri Islam.
Di sisi lain, bila kita mau bercermin pada Amru
bin Ash, ternyata sejak awal persinggungannya dengan Romawi, ia sangat
perhatian dengan masalah ini. Buktinya beliau menguasai hal-hal yang berkaitan
dengan Romawi kala itu. Bahasa sekarang kira-kira, ahli di bidang
oksidentalisme.
Riwayat Muslim berikut ini, menjadi bukti bahwa
Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu sangat menguasai oksidentalisme:
قَالَ الْمُسْتَوْرِدُ الْقُرَشِيُّ، عِنْدَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ: سَمِعْتُ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «تَقُومُ السَّاعَةُ وَالرُّومُ أَكْثَرُ
النَّاسِ» فَقَالَ لَهُ عَمْرٌو: أَبْصِرْ مَا تَقُولُ، قَالَ: أَقُولُ مَا سَمِعْتُ
مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ،
إِنَّ فِيهِمْ لَخِصَالًا أَرْبَعًا: إِنَّهُمْ لَأَحْلَمُ النَّاسِ عِنْدَ فِتْنَةٍ،
وَأَسْرَعُهُمْ إِفَاقَةً بَعْدَ مُصِيبَةٍ، وَأَوْشَكُهُمْ كَرَّةً بَعْدَ فَرَّةٍ
وَخَيْرُهُمْ لِمِسْكِينٍ وَيَتِيمٍ وَضَعِيفٍ، وَخَامِسَةٌ حَسَنَةٌ جَمِيلَةٌ: وَأَمْنَعُهُمْ
مِنْ ظُلْمِ الْمُلُوكِ
Al-Mustaurid al-Qurasyi berkata di sisi Amru bin ‘Ash, “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kiamat terjadi dan
Romawi adalah manusia yang paling banyak.’ Amru berkata, “Perhatikan ucapanmu.
“ Ia mengatakan, “Aku mengatakan apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Amru berkomentar, “Bila kau katakan demikian, pada diri
mereka terdapat empat hal: mereka adalah orang –orang yang paling sabar saat terjadi fitnah, paling cepat miskin saat
terjadi mushibah, paling cepat menyerang setelah mundur, dan yang terbaik dari
mereka terhadap orang miskin, anak yatim dan orang lemah. Yang kelima adalah
menawan dan cantik serta paling tahan terhadap kelaliman para raja.” (HR.
Muslim).
Dari riwayat itu paling tidak ada beberapa hal
yang diketahui oleh Amru bin Ash mengenai orang Romawi, di antarany: mereka
tidak pernah bertahan lama didzalimi, mereka cenderung memiliki simpati orang
lemah, dan kalau jatuh mereka cepat bangkit.
Mereka mengerti nilai Islam: Islam bukan sekadar
doktrin, tapi Islam juga peradaban. Mereka juga menjalankan isti'mar. Memakmurkan
negeri. Ini adalaha kerja-kerja berskala peradaban.
Yang dilakukan oleh Amru bin Ash adalah
oksedantalisme (mengetahui titik lemah). Sebagaimana para penjajah Barat menguasai
orientalisme. Kebanyakan yang diketahui oleh umat Islam hanya masalah
konspirasi. Padahal hal itu hanya membantu kita mengetahui apa yang dilakukan
musuh tapi bukan untuk menghadapi musuh. [bersambung]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !