Home » , , » Dua Generasi Pembebas Palestina II

Dua Generasi Pembebas Palestina II

Written By Amoe Hirata on Senin, 17 Oktober 2016 | 15.00

SETELAH menjelaskan secara singkat tentang judul, tibalah saatnya kepada permasalahan inti. Ada dua generasi yang tercatat dalam gelanggang sejarah umat Islam sebagai pejuang pembebasan Palestina: Pertama: Generasi sahabat. Kedua: Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.
            Masing-masing dari generasi memiliki titik perbedaan dan persamaan. Dari sisi perbedaan, generasi awal yang diinisiatori oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  hingga direalisasikan oleh para sahabat bekerja pada sekup al-Fātihūn, pembuka atau pembebas Palestina dari cengkraman hegemoni peradaban Romawi. Sedangkan generasi kedua berkontribusi dalam wilayah pembebasan untuk kedua kalinya dari kekuasaan Romawi. Karena itulah, generasi kedua membutuhkan tools (sarana atau alat) sangat banyak untuk mewujudkan visi-misinya.
            Dari sisi alasan pembebasan, kedua generasi memiliki persamaan. Pertama, alasan pembebasan Generasi pertama: realisasi visi misi risalah Islam sebagai model terakhir peradaban dunia. Alasan ini juga yang menjadi mobilisator generasi kedua. Kedua, kesatuan visi Masjid al-Haram dan Aqsha sesuai dengan Surah Al-Isra [17], ayat: 1.
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
            Pada ayat ini terlihat dengan jelas bagaimana Masjid al-Haram dikaitkan dengan Masjid al-Aqsha. Peristiwa Isra dari Haram ke Aqsha, sedangkan Mi’raj, dari Aqsha hingga Sidratul Muntaha.
            Ketiga, sejak awal Rasulullah membuat strategi pertahanan geografis peradaban  dg menghubungkan Palestina/Syam sebagai kawasan tsughur & ribath (benteng pertahanan dan medan tempur)  dan Hijaz sebagai kawasan hawadhir (kota untuk menyemai peradaban Islam).
            Aqsha ini menjadi ukuran. Jika ia bermasalah, maka peradaban umat Islam juga bermasalah. Hal itu terbukti sampai hari ini, ketika Aqsha dikuasai Israel dan sekutunya, maka bisa dilihat bagaimana kondisi internal umat Islam yang kacau balau.
            Kisah-kisah yang terekam dalam sirah nabawiyah seperti: pengurusan prajurit ke Dumatul Jandal; ekspedisi perang Tabuk, adalah bukti konkret bahwa Rasulullah sangat fokus pada upaya pembebasan Palestina sejak dini. Bahkan, pada tahun kesepuluh hijriah menjelang wafatnya, beliau mengirim Utsāmah bin Haritsah untuk mem-follow up ide brilian ini,  tapi sayangnya beliau meninggal sebelum cita-cita itu terealisir, sehingga baru bisa direalisasikan di zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
Dikirim lah Yazid bin Abu Sufyan dan lain sebagainya untuk pembebasan  Palestina. Sedemikian pentingnya visi ini, Abu Bakar sampai menjadikannya prioritas mengalahkan permasalahan-permasalahan lain yang juga sangat pelik di masanya seperti kasus: merebaknya nabi palsu, kemurtadan, dan pembangkangkangan terhadap zakat.
Sepeninggal Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu ide pembebasan dan perluasan wilayah diteruskan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Pada waktu itu (16 H), strategi Umar ialah dengan mengepung Palestina. Sebagai penakluk di lapangan pada waktu itu adalah Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu, tapi komando besar kepemimpinannya berada di tangan Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu.
Dari rangakain peristiwa tersebut, menunjukkan bahwa sejak zaman Rasul memang Palestina sudah jadi bidikan atau fokus.
Mengapa Romawi (sebagai peradaban) sedemikian penting untuk diperhatikan, karena Rasulullah pernah bersabda:
عَنِ ابْنِ مُحَيْرِيزٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَارِسُ نَطْحَةٌ أَوْ نَطْحَتَانِ ثُمَّ لَا فَارِسَ بَعْدَهَا أَبَدًا وَالرُّومُ ذَاتُ الْقُرُونِ أَصْحَابُ بَحْرٍ وَصَخْرٍ كُلَّمَا ذَهَبَ قَرْنٌ خَلَفَ قَرْنٌ مَكَانَهُ , هَيْهَاتَ إِلَى آخَرِ الدَّهْرِ هُمْ أَصْحَابُكُمْ مَا كَانَ فِي الْعَيْشِ خَيْرٌ
Persia hanya satu atau dua cakupan, kemudian Allah membuka negeri itu. Maka tidak ada Persia lagi sesudahnya. Sedangkan Romawi akan berlalu beberapa kurun. Ada penguasa laut dan dan darat.  Setiap kali satu kurun hancur, maka digantikan oleh kurun berikutnya, demikianlah sampai akhit kiamat. Mereka adalah sehabatmu selama dalam kehidupan ada kebaikan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Pertarungan dengan Barat bukan sekadar agama tapi Peradaban. Dan itu sudah dimulai sejak nabi ketika berkonfrontasi dengan Romawi. Romawi di sini lebih kepada istilah peradaban Barat kala itu. Konflik itu terus berlangsung hingga sekarang. Maka tidak mengherankan di Barat ada tokoh yang membuat istilah clash of civilization (benturan peradaban) yang dimaksud di sini ialah antara Islam dan Barat.
Hal inilah yang sekarang ini kurang diperhatikan oleh kebanyakan umat Islam. Mereka memandang Barat hanya sebagai Barat yang maju dengan capai teknologinya, tapi tidak memperhitungkannya sebagai peradaban yang masih berkonflik dengan Islam hingga sekarang. Padahal, orang-orang Barat selalu perhatian dalam masalah ini. Adanya orientalis Belanda semacam Snouck Horgronge, adalah upaya strategis yang diupayakan mereka untuk menaklukan negeri Islam.
Di sisi lain, bila kita mau bercermin pada Amru bin Ash, ternyata sejak awal persinggungannya dengan Romawi, ia sangat perhatian dengan masalah ini. Buktinya beliau menguasai hal-hal yang berkaitan dengan Romawi kala itu. Bahasa sekarang kira-kira, ahli di bidang oksidentalisme.
Riwayat Muslim berikut ini, menjadi bukti bahwa Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu sangat menguasai oksidentalisme:
قَالَ الْمُسْتَوْرِدُ الْقُرَشِيُّ، عِنْدَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «تَقُومُ السَّاعَةُ وَالرُّومُ أَكْثَرُ النَّاسِ» فَقَالَ لَهُ عَمْرٌو: أَبْصِرْ مَا تَقُولُ، قَالَ: أَقُولُ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لَئِنْ قُلْتَ ذَلِكَ، إِنَّ فِيهِمْ لَخِصَالًا أَرْبَعًا: إِنَّهُمْ لَأَحْلَمُ النَّاسِ عِنْدَ فِتْنَةٍ، وَأَسْرَعُهُمْ إِفَاقَةً بَعْدَ مُصِيبَةٍ، وَأَوْشَكُهُمْ كَرَّةً بَعْدَ فَرَّةٍ وَخَيْرُهُمْ لِمِسْكِينٍ وَيَتِيمٍ وَضَعِيفٍ، وَخَامِسَةٌ حَسَنَةٌ جَمِيلَةٌ: وَأَمْنَعُهُمْ مِنْ ظُلْمِ الْمُلُوكِ
Al-Mustaurid al-Qurasyi berkata di sisi Amru bin ‘Ash, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kiamat terjadi dan Romawi adalah manusia yang paling banyak.’ Amru berkata, “Perhatikan ucapanmu. “ Ia mengatakan, “Aku mengatakan apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Amru berkomentar, “Bila kau katakan demikian, pada diri mereka terdapat empat hal: mereka adalah orang –orang yang paling sabar  saat terjadi fitnah, paling cepat miskin saat terjadi mushibah, paling cepat menyerang setelah mundur, dan yang terbaik dari mereka terhadap orang miskin, anak yatim dan orang lemah. Yang kelima adalah menawan dan cantik serta paling tahan terhadap kelaliman para raja.” (HR. Muslim).
Dari riwayat itu paling tidak ada beberapa hal yang diketahui oleh Amru bin Ash mengenai orang Romawi, di antarany: mereka tidak pernah bertahan lama didzalimi, mereka cenderung memiliki simpati orang lemah, dan kalau jatuh mereka cepat bangkit.
Mereka mengerti nilai Islam: Islam bukan sekadar doktrin, tapi Islam juga peradaban. Mereka juga menjalankan isti'mar. Memakmurkan negeri. Ini adalaha kerja-kerja berskala peradaban.

Yang dilakukan oleh Amru bin Ash adalah oksedantalisme (mengetahui titik lemah). Sebagaimana para penjajah Barat menguasai orientalisme. Kebanyakan yang diketahui oleh umat Islam hanya masalah konspirasi. Padahal hal itu hanya membantu kita mengetahui apa yang dilakukan musuh tapi bukan untuk menghadapi musuh. [bersambung]
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan