Home » » Nusran Wahid; Gagal Paham Hadits [Bagian: II]

Nusran Wahid; Gagal Paham Hadits [Bagian: II]

Written By Amoe Hirata on Kamis, 13 Oktober 2016 | 14.10

Ketiga, secara pemahaman, ini sangat tidak tepat jika digunakan untuk menafikan keputusan MUI mengenai penistaan agama. Pasalnya, generasi terbaik memang ada tiga generasi secara kolektif yaitu pada masa nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Meski demikian, tidak menafikan kebenaran ulama setelahnya sebagai pewaris para nabi. Dalam hadits diriwayatkan:
إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, yang diwariskan mereka adalah ilmu.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi). Kalau sekiranya al-Qur`an hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui makna al-Qur’an, maka akan sia-sia hadits ini yang menyatakan bahwa ulama pewaris para nabi. Justru hadits ini menunjukkan bahwa ulama juga bisa memahami ayat-ayat al-Qur`an, karena mereka adalah pewaris ilmu para nabi.
            Lebih dari itu, dalam masalah kepemimpinan orang kafir atas Muslim Imam Nawawi misalnya menukil perkataan al-Qadhi al-Iyadh:
قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْإِمَامَةَ لَا تَنْعَقِدُ لِكَافِرٍ
“al-Qadhi al-‘Iyadh berkata bahwa: ‘Ulama telah bersepakat bahwa kepemimpinan tidak teranggap untuk orang kafir.” (Syarhu al-Nawawi ‘Ala Muslim, XII/229). Ini menunjukkan bahwa ulama sepakat tentang masalah kepemimpinan kafir atas muslim tidak sah.
            Di samping itu, generasi terbaik di sini bukan bermakna sempurna bahkan ma’shum sehingga diartikan tidak ada sama sekali yang berbuat salah. Dikatakan generasi terbaik karena kebaikannya lebih dominan daripada keburukannya. Karena itulah, jika terjadi peristiwa yang buruk di zaman Abbasiyah (secara individual) misalnya dalam hal pengangkatan gubernur non-muslim (kalau memang benar ada datanya) sebagai pemimpin, maka itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melegetimasi kebaikan di masa itu.
            Keempat, ada kerancuan analogi dari Nusran Wahid ketika menyatakan, “Apakah pada zaman itu tidak ada ulama-ulama yang menafsirkan al-Ma`idah? Mohon maaf, apakah ulama-ulama pada masa itu kalah saleh, kalah alim dengan ulama-ulama hari ini?” yang diajadikan acuan oleh Nusran ialah peristiwa anomali bukan yang sama sekali merupakan ijma’.
            Justru pertanyaannya ini menjadi blunder bagi dirinya karena, kalau mengacu pada generasi terbaik di masa Rasulullah dan sahabat, maka tidak didapati pemimpin kafir yang memimpin komunitas Muslim. Mengapa Nusran tidak menjadikan masa emas ini sebagai pijakan argumentasi. Ini menunjukkan, apa yang dilakukan Nusran adalah pembenaran untuk menguatkan argumentasi, bukan menunjukkan kebenaran.
            Sebagai contoh, Umar pernah menolak skretaris Abu Musa al-Asy’ari karena Nashrani, sembari menunjukkan Surah Al-Ma`idah ayat: 51, sebagaimana riwayat Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَمَرَهُ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ مَا أَخَذَ وَمَا أَعْطَى فِي أَدِيمٍ وَاحِدٍ , وَكَانَ لِأَبِي مُوسَى كَاتِبٌ نَصْرَانِيٌّ , يَرْفَعُ إِلَيْهِ ذَلِكَ , فَعَجِبَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , وَقَالَ: " إِنَّ هَذَا لَحَافِظٌ " وَقَالَ: " إِنَّ لَنَا كِتَابًا فِي الْمَسْجِدِ , وَكَانَ جَاءَ مِنَ الشَّامِ فَادْعُهُ فَلْيَقْرَأْ " , قَالَ: أَبُو مُوسَى: إِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ , فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: " أَجُنُبٌ هُوَ؟ " , قَالَ: لَا , بَلْ نَصْرَانِيٌّ قَالَ: فَانْتَهَرَنِي , وَضَرَبَ فَخِذِي , وَقَالَ: " أَخْرِجْهُ " , وَقَرَأَ {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ} [المائدة: 51] " قَالَ أَبُو مُوسَى: وَاللهِ مَا تَوَلِّيتُهُ , إِنَّمَا كَانَ يَكْتُبُ قَالَ: أَمَا وَجَدْتَ  فِي أَهْلِ الْإِسْلَامِ مَنْ يَكْتُبُ لَكَ؟ لَا تُدْنِهِمْ إِذْ أَقْصَاهُمُ اللهُ , وَلَا تَأْمَنْهُمْ إِذْ خَوَّنَهُمُ اللهُ , وَلَا تُعِزَّهُمْ بَعْدَ إِذْ أَذَلَّهُمُ اللهُ , فَأَخْرِجْهُ "
Bersumber dari Abu Musa radhiyallahu anhu, bahwasanya Umar memerintahkannya untuk melaporkan catatan-catatan yang sudah diterima dan yang sudah diberi dalam satu catatan. Dan Abu Musa memiliki sekretaris yang beragama Nashrani. Dan dia memberikan laporannya. Maka Umar takjub dan berkata: ‘Sesungguhnya dia adalah orang yang bagus dalam mencatat’. Dan Umar berkata pula: ‘Sesungguhnya kami memiliki sebuah surat di dalam masjid yang datang dari Syam. Maka panggillah dia untuk membacakannya. Maka Abu Musa mengatakan: Sesungguhnya dia tidak bisa masuk masjid. Maka Umar bertanya: ‘Apa dia lagi junub?’ Maka Abu Musa mengatakan: ‘Tidak,akan tetapi dia adalah seorang nashrani’. Maka Umar membentak dan memukul pahaku seraya berkata: ‘Pecat dia!’. Kemudian Umar membaca ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yahudi dan nashrani sebagai pemimpin. Sebagian mereka adalah pemimpin untuk sebagian lainnya. Dan barang siapa dari kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin maka sesungguhnya dia termasuk bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang dzalim” QS. Al-Maidah: 51” (HR. Baihaqi).
Kalau Nushran konsekuen dengan dalil haditsnya, tentunya lebih mencontoh Umar bin Khattab dibanding zaman al-Mu’tadhid Billah.
            Mirisnya, sumber data mengenai sejarah al-Mu’tadhid Billah, Khalifah keenambelas yang dianggap pernah mengangkat gubernur Nashrani bernama Umar bin Yusuf, tidak disertai sumber rujukan. Kalaupun misalkan benar-benar terjadi, tidak dijelaskan konteksnya seperti apa. Ini semakin menunjukkan apa yang disampaikan hanya sebagai pembenaran presepsi pribadi.
            Kelima,  Nusran Wahid juga melakukan blunder ketika mengatakan yang mengetahui kebenaran hadits hanyalah nabi. Maka, pernyataan Nusran sendiri ketika menyitir hadits nabi untuk menguatkan argumentasinya, maka seketika tertolak, karena yang mengetahui maksud nabi adalah nabi sendiri, bukan Nusran Wahid.

            Dari kelima poin tersebut menunjukkan bahwa Nusran salah kaprah dalam memahami hadits sekaligus salah arah dalam penguatan argumentasi sejarahnya. Karenanya, tidak bisa dijadikan rujukan.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan