“ANA siap menikah!” kata Hafiz mantap. Salim mengamini dan menimpali alhamdulillah.
“Antum sudah punya calonnya akhi?” ditanya demikian Hafiz malah
cengar-cengir, membuat Salim penasaran dan mencoba menebak arah pembicaraan
ini.
“Ya siapa tahu akh. Salim punya rekomendasi calon yang cocok untuk ana?” Tanpa
malu-malu Hafiz semakin menunjukkan niat dalam hatinya. Salim mengerti! Sudah
kesekian kalinya Salim sebagai seseorang yang di’tua’kan perihal pernikahan
dimintai tolong untuk menjadi pak comblang kalau perempuankan mak
comblang.
“Oh jadi Hafiz berniat ber-ta’aruf. Bagus itu, ana dukung 1000%. Tapi
sebelumnya ana mau tanya tipe atau kriteria antum dalam memilih calon istri itu
seperti apa?”
“Mmmhh... seperti apa ya? Gak neko-neko kok.” ucap Hafiz menggantung sambil
berpikir.
“Ya gak neko-nekonya antum seperti apa ? apa asal perempuan aja gitu?”
“hehe ya enggaklah,”
“Maka dari itu harus jelas supaya memudahkan ana dalam mencoba menemukan
jodoh antum, insyaallah.”
“Istri antum kan dokter akhi, kalau bisa ana juga mau jadi suami seorang
dokter.”
“Ooo..” Salim membulat bibir kemudian mengambil ancang-ancang untuk kembali
mulai berujar
“Kalau ana boleh tahu apa alasan Hafiz ingin istri dokter?”
Ditanya
demikian Hafiz terlihat malu-malu. Sejenak ia terdiam seperti tengah mengatur
kata-kata yang akan keluar dari mulutnya.
“Ana merasa kalau istri seorang
dokter selain mandiri dia juga matang dalam hal kedewasaan, ini akan memudahkan
ana dalam membimbingnya sebagai suami kelak. Ana yakin dan sudah dapat
dipastikan tentunya bahwa dia adalah wanita yang cerdas karena berhasil dalam
bidang kedokteran yang tidak mudah, ana kira ini akan menjadi tolak ukur kecerdasannya
kelak dalam hidup berumah tangga, seperti mengatur rumah dan anak-anak kita nanti. Dan kalau boleh saya
tambahkan selama hidup saya juga hampir tidak pernah saya dapati dokter yang
tidak cantik. Hehehe ”
“Mmmmhh.... cukup berat juga ya?”
“Apanya yang berat akh?” tanya
Hafiz. Kening Salim berkerut layaknya orang yang tengah berpikir keras.
“Ana jadi ingat dulu waktu ana
memulai proses taaruf dengan istri, ana sama sekali tidak tahu kalau dia
seorang dokter. Ana baru tahu malah pas bertemu orangtuanya untuk melamar. Yang
lebih membuat ana kaget lagi dalam usia yang bisa dibilang sangat muda istri
ana itu sudah jadi dokter spesialis. Mimpi menjadi suaminya saja tidak pernah apalagi
bermimpi menjadi seorang suami dari istri seorang dokter spesialis. Ah,
siapalah saya waktu itu hanya seorang karyawan swasta yang ijasah S1-nya saja
masih ditahan pihak kampus untuk minta ditebus. Ana sebenarnya tidak begitu
terpengaruh menerima kenyataan itu, ana tetap melanjutkan proses taaruf sampai
akhirnya menikah.” kemudian berhenti sejenak untuk menghela nafas.
Lanjutnya, “ Dari awal ana niat menikah memang tidak ada kriteria khusus,
yang umum-umum sajalah, tapi 1 hal yang ana tekankan dia haruslah seorang
wanita shalehah tapi ana juga tidak menafikan kriteria lainnya seperti yang
diajarkan oleh Rasulullah saw bahwa kita harus melihat keturunannya,
kecantikannya, kekayaannya dan terakhir barulah keshalehannya dan sebaik-baiknya
itu ya yang terakhir dan ana memilih yang terakhir. Itu semua karena ana sadar
diri! Dengan Allah mudahkan ana dalam proses taaruf untuk sebuah pernikahannya
ana sudah benar-benar bersyukur karena disaat orang-orang memilih berzina ana
masih dijaga Allah untuk terhindar dari itu semua.”
“Masyaallah akh. Ana jadi
malu,”
“Kenapa malu Fiz, ana hanya
bermaksud berbagi pengalaman aja gak ada maksud apa-apa loh,” Salim menepuk
bahu Hafiz yang terlihat membungkuk. Hening sesaat. Salim memecah kebisuan
dengan mengatakan
“Insyaallah ana bantu, antum
silakan berikhitiar dengan usaha yang lain sesuai syariat ya. Tetap menjaga
diri terus berdoa, kalau antum benar-benar semakin mantap dengan niat menikah
karena Allah, insyaallah akan ada
jalannya nanti.”
Malam itu, Hafiz kembali merenungi dirinya. Menelisik kembali kedalam hati
yang terdalam akan kesiapannya dalam sebuah pernikahan. Bukan sekadar
memikirkan romantika pernikahan dengan wanita impian tapi juga memperbaiki
dirinya, memantaskan diri untuk menjadi pasangan ideal yang mampu mereguk
manisnya cinta karena Allah SWT.
***
Dalam salah satu ceramahnya ustad Muhammad Nurul Dzukri, Lc bercerita
“Pak Ustad
saya mah cantik no.3”
“No. 1 dan
2 nya?”
“Kosong
pak ustad”
Lain waktu
beliau bercerita.
“Kalau ana
yang penting cantik ustad”
“Kenapa demikian?”
“Kalau
akhlak, agama bisa ana ajarin dan ana ubah, kalau muka gak bisa dirubah ustad”
Tentu bukan ustad M. Nurul saja yang geleng-geleng oleh percakapan singkat
yang apa adanya tersebut tapi juga mungkin kita. Wajar saja bila kita
menginginkan pasangan yang seideal mungkin seperti cantik atau tampan secara
fisik bahkan dalam Islam kecantikan masuk dalam kriteria perempuan yang ingin
dinikahi tapi dia tidak berdiri sendiri yang perlu diperhatikan
lainnya adalah misalnya ketururnannya, hartanya tapi yang paling penting adalah
agamanya.
Persoalan cantik atau tampan
sekarang ini pun telah terpropaganda oleh media seperti kesempurnaan rupa
dinilai dari warna kulit, berat badan, tinggi dan lain sebagainya. Kita mesti
hati-hati dalam memspesifisikan kriteria tersebut, karena saat ini yang lebih
dari itu sesungguhnya adalah rasa malu.
Begitu banyaknya saat ini wanita maupun laki-laki yang telah kehilangan
malunya sehingga dengan sesukanya melakukan tindakan-tindakan diluar dari
norma-norma yang ada termasuk syariat agama. Mereka tidak malu berzina secara
terang-terangan dengan mengatasnamakan ‘pacaran sya’ri’ ataupun ‘taaruf’ bertahun-tahun
dengan dalil bisa lebih saling mengenal bila cocok langsung ke pelaminan.
Bagi kita yang belum menikah dan ingin menikah coba kita telisik kembali kriteria
yang kita syaratkan pada pasangan impian, ada baiknya kita renungi dahulu
‘kepantasan diri’ kita dalam meraihnya. Misalnya sebelum mencari pasangan jangan
belum apa-apa sudah ingin yang begini atau yang begitu pokoknya
sempurna! dan terlalu sibuk pada pencarian bukan perbaikan diri, sampai
akhirnya lupa pada usia. Kita harus menjadi penerima yang baik sebelum meminta
pasangan yang mampu menerima kita apa adanya.
‘Cinta,’ katanya, banyak dari kita yang mengatasnamakannya bahkan tanpa
sadar menyombongkan diri merasa bahwa bisa dan dengan mudahnya merubah akhlak
atau agama seseorang. Mengingat kembali ceramah yang disampaikan Ustad M. Nurul
di situs berbagi youtube. Sebagaimana yang beliau katakan “Anda tidak lebih
hebat dari Nabi Muhammad saw. Nabi saja tidak bisa memberikan hidayah taufik
kepada Abu Thawalib, Nabi mendakwahkan Abu Thalib siang dan malam, Abu Thalib
tidak masuk Islam dan nabi pun diingatkan:
{إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ} [القصص:
56]
“Sesungguhnya engkau tidak akan bisa
memberikan hidayah taufik kepada orang yang engkau cintai, namun Allah lah yang
memberikan hidayah kepada orang yang Ia kehendaki. Sedang dia lebih mengerti
dengan orang yang diberi hidayah.” (QS. Al-Qashash [28]: 56).
Banyak diantara kita yang telah
terjerumus pada hubungan-hubungan yang diikat oleh hawa nafsu dan pada akhirnya
memilih pasangan tanpa mempertimbangkan bagaimana keadaan agamanya. Seharusnya
paling tidak minimal harus terdapat satu syarat penting untuk memilih pasangan yaitu
sebagaimana firman Allah SWT ;
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling
bertaqwa.” (Q.S.
Al-Hujarat:13).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !