Home » » Bila Korupsi Dianggap Kerjasama Sosial

Bila Korupsi Dianggap Kerjasama Sosial

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 04 September 2010 | 10.40

“.Dasar ga tau di untung. Dasar sialan. Dasar kurang ajar”. Berbagai cacian dan makian bertubi-tubi disematkan pada si mamat. “Mimpi apa ya semalam?”(ujar mamat)kok tiba-tiba masyarakat marah-marah ke aku, padahal aku bukan teroris, bukan perampok, bukan pembuat rusuh. Lagi kumat paling. Maklum masyarakat sini terkadang suka berlaku aneh-aneh. Kadang-kadang marah tiba-tiba tanpa sebab. Ngamuk-ngamuk sesuka hati. Apa mereka kenak kelaianan jiwa ya?. Tapi terlihat normal-normal aja tuh.

Tapi tunggu dulu, oh iya aku baru ingat seminggu yang lalu, aku sedang ngadain penelitian tentang korupsi di desaku dari tingkat lurah sampai Rt dan Rw. Sebanyak tiga ribu angket ku sebar kepada jajaran pengurus dan warga dan hasil akhir nya menyatakan bahwa mereka terbebas dari korupsi. Melihat hasil itu Mamat tertegun heran. Masalahnya selama ini praktik koropsi sudah menyebar luas baik pada jajaran pengurus desa hingga masyarakat luas. Lah kok hasil angket menyatakan warga dan pengurus bersih dari korupsi

Setelah diselidiki secara sakasama dan cermat, rupanya masyarakat mempunyai pengertian tersendiri mengenai korupsi. Korupsi bagi mereka itu teranggap jika hanya di lakukan oleh pengurus atau pejabat saja tanpa melibatkan masyarakat. Jika masing-masing saling dapat dan manfaat maka itu tak di angga korupsi. Jadi praktik-praktik korupsi yang selama ini tersebar luas dianggap sebagai kerja sama sosial. Tak ada warga yang memberontak, tak ada yang menuntut, semua diam-diam saja karena pada realitanya mereka juga menikmati.

Nah si mamat ini orangnya reaktif dan revolusioner. Dia ga mau ada praktik korupsi di desanya. Baginya korupsi membuat mental warga semakin bebal dan merusak tatanan masyarakat. Bila korupsi di biarkan maka tak lama lagi desanya akan rusak.

Sebagai luapan sikap reaktifnya, si Mamat menyewa pertunjukan wayang yang di satting sebagai kritik terhadap praktik korupsi dalam desanya. Pertunjukan itu sengaja di adakan bertepatan dengan acara memperingati HUT Republik Indonesia. Mamat mengundang kepala desa beserta pengurusnya dan warga desanya. Seperti di rencanakan, acara itu di hadiri oleh kepala desa beserta warganya. Tempat penuh dan sesak sampai-sampai ada yang berdiri.

Di mulailah pertunjukan wayang. Dalam menyikapi pertunjukan itu ada yang geram, marah, muak dan merasa tersindir. Ada juga yang sadar dan mengapresiasi. Namun sembilan puluh persen warga naik pitam, sampai-sampai ada yang langsung pulang sebelum acara selesai, ada yang melempar sandal kearah pertunjukan. Puncaknya, kepala desa dan masyarakat mencari si mamat dan mau menghakiminya. Setelah di cari-cari ternyata ga ketemu-ketemu. Akhirnya hanya umapatan dan luapan rasa marah. Mamat bersembunyi di atas pohon beringin sambil mengamati mereka marah-marah.

Dalam hati mamat bergumam:” Ya semoga masyarakat segera sadar, bahwa mereka berada pada tatanan korup”. “Aku sadar usahaku ini kurang efektif. Paling tidak cukup manjur untuk menyadarkan mereka. Karena untuk mengubah secara drastis dirasa sangat sulit”. “Sistem dan tatanan sudah sedemikian korup, jangan-jangan aku, kamu, dia, mereka, kalian dan kita secara sadar atau tidak sedang membantu praktik korupsi”. “Yo mboh lah”( tukas Mamat).
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan