Home » » Syahadat Kultural

Syahadat Kultural

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 04 September 2010 | 10.18

Banyak orang yang mengaku telah bersyahadat padahal dalam waktu yang bersamaan juga ia telah mengkhianati syahadatnya. Syahadat yang dilafalkan hanya sebatas ungkapan lisan yang tidak berbekas pada hati dan perbuatan. Ia lahir dari warisan orang tua yang memang terlahir dalam lingkungan syahadat. Dengan demikian kesan syahadat kurang mengena dalam konteks sosial. Ia hanya sebagai baju normatif yang digunakan untuk pemberitahuan identitas pribadi saja. Maka tidaklah mengherankan jika banyak terjadi sikap ambivalen pada diri orang yang bersyahadat.

Syahadat Kultural ialah syahadat yang lahir dari warisan budaya yang hanya sebatas lisan, tidak mengakar dalam hati dan tidak berpengaruh pada sikap dan tindakan. Bila kita melihat dunia nyata banyak sekali fenomena-fenomena yang tidak sedap dipandang. Ada pensyahadat yang koruptor, pensyahadat yang penipu, pensyahadat yang pencuri dan lain sebagainya. Ini sangat lumrah karena pengetahuan dan pengamalan syahadat tidak dipahami dengan begitu baik ditambah lagi syahadat dianggap formalitas saja.

Dalam Islam nilai syahadat sangatlah luhur. Bahkan ia merupakan tiang fundamental dalam bangunan Islam. Jika ia roboh maka Islam secara otomatis akan roboh. Kesalahpahaman dan penyepelean syahadat hanya akan membuat nama Islam tercoreng dan buruk di mata pemeluk agama lain. Salah satu penyebabnya ialah karena syahadatnya hanya sebatas kultur atau budaya saja. Ia tidak mampu diterjemahkan dan diaplikasikan pada kehidupan nyata.

Secara terminologi syahadat berarti pengakuan verbal yang diiringi dengan hati yang yakin dan di buktikan dengan amalan nyata. Bila orang bersyahadat(bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah utusanya) maka secara sadar ia mengetahui bahwa dia telah bersaksi dengan nama Allah dan Rasulullah. Kesaksian secara sadar ini kemudian menghunjam dalam hati dan selanjutnya aura yang ditebarkan dalam kehidupan nyata ialah kedamaian, kejujuran, kesejahteraan dan nilai-nilai positif lainya.

Kita wajib mempertanyakan pada diri kita masing-masing apakah kita benar-benar mengamalkan syahadat yang sesungguhnya? Apakah selama ini syahadat yang kita lafalkan merupakan warisan budaya belaka? Pertanyaan ini sangat penting karena dapat membebaskan syahadat kita dari formalitas dan kultural. Kalau kita mau mengamati dalam tahiyyat shalat wajib kita selalu membaca syahadat dan kalau dihitung semuanya berjumlah sembilan kali ini belum ditambah dengan shalat sunnah dan doa-doa yang mengandung kata syahadat.

Salah satu hikmah yang dapat dipetik ialah kita harus selalu menyadarkan diri dalam kehidupan nyata bahwa kita telah bersyahadat. Syahadat yang dilandasi dengan pemahaman yang bagus diiringin dengan keyakinan hati yang mendalam dan diaplikasikan dalam kenyataan. Syahadat demikianlah yang akan mampu menegakkan tiang Islam. Perlu kiranya kita merevitalisasi syahadat kita agar kita selalu sadar bahwa kita telah bersyahadat. Jangan sampai yang bersyahadat malah lebih buruk dari pada yang tidak. Syahadat bukan sekedar pengakuan, lebih dari itu ia membutuhkan pembuktian.

"Sudahkah kita bersyahadat?"
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan