“Pentas
Pilgup DKI makin seru saja,” tiba-tiba Badar nyeletuk di tengah-tengah cangkrukan
pendopo Al-Ikhlas. “Seru apanya Dar, yang benar itu saru (kotor),”
Tarmudzi ikut-ikutan menimpali. “Saru piye (kotor gimana) ?” “Saru
karena masih ada saja yang culas, curang, ga sportif dalam pemilihannya.
Berbagai cara dilakukan untuk memenangkan calonnya,” lanjut Badar.
“Wah
itu terlalu jauh menurutku Dar. Paling tidak ada beberapa hal yang mesti
disadari: Pertama, bukan kapasitasmu ngurusi Pilgub DKI.
Kita-kita ini kan warga desa Jumeneng yang sangat jauh dari hiruk pikuk
Jakarta. Kedua, menuduh curang, culas dan seterusnya, menuntut adanya
bukti. Lha buktimu apa melontarkan tuduhan tersebut? Jangan bilang dari facebook
atau media online lain yang masih berlum jelas kebenarannya.”
Badar
menanggapi, “Pada satu sisi, kritikanmu memang benar. Tapi di sisi lain, sangatlah
naif jika obrolan mengenai Pilgub DKI dilarang lantaran lokasinya jauh bagi
kita. Apakah sesuatu itu baru bisa diobrolkan secara realistis jika kita jauh
darinya? Ga juga menurutku. Saranku tetap lanjut diskusi Pilgub DKI saja. Kan
seru, masih ada putaran kedua.”
“Yang
masuk putaran kedua memangnya siapa Dar?” tanya Untung. “Sampean kurang update
ya Cak?” “Lha wajat toh aku sudah mentalak bain media-media mainstream.
Kalau media online apa lagi. Wong HP-ku hanya bisa buat SMS dan nelpon tok
(saja). Cuma, kalau aku butuh update berita A-1 biasanya langsung ke Cak
Sarikhuluk.”
“Yang
masuk putaran dua itu Akhok dan Ahok,” jawab Badar. “Lho apa bedanya, kok
kedengarannya sama-sama diawali A dan diakhiri K?” tanya Masruri. “Yang satu
adalah AKHOK. Akhok itu berasal dari bahasa Arab yang artinya saudaramu. Kalau
melihat Surah Al-Hujurat [49] ayat 10, yang dimaksud saudara ya sesama orang
beriman. Kalau kafir, bukan saudara namanya.”
Setelah
menghela nafas barang sebentar, ia melanjutkan, “Sedangkan Ahok ya si Basuki
Tjahya Purnama itu. Sudah jelas kan bukan saudara seiman. Lucunya, masih saja
ada yang mendukung di kalangan orang Islam. Yang lebih menggelikan, sebagai
justifikasi, sampai ada yang menggunakan hadits, unsur akhoka dhaliman au
madzluman (tolonglah saudaramu, baik yang mendzalimi atau yang terdzalimi).
Saudara dari Hongkong apa ya. Jelas-jelas bedalah. Yang satu pakai huruf “kha”
dan yang satu pakai hurf “ha”.”
“Dar,
awas nanti dituduh SARA lo atau bahkan dianggap menyalahi undang-undang,”
komentar Rasikin. “Sara gimana, umat Islam memilih calon sesama umat Islam itu
dilindungi undang-undang. Paling tidak sila pertama, dan undang-undang dasar
pasal 29 ayat 2. Nah, kita sebagai orang Islam, misalnya menurut Al-Ma`idah [5]
ayat 51, kan dilarang memilih pemimpin yang beragama Nashrani dan Yahudi. Maka
kalau kita tak memilih calon yang bukan muslim, maka itu bukan Sara.”
“Jadi
menututmu Paslon ketiga, itu saudara sedangkan Paslon kedua itu bukan saudara?”
tanya Mursyidi. “Ya jelas lah, masak gitu saja ndak mudeng (tidak
mengerti),” timpal Badar. “Bukan gitu Dar, menurutku, saudara atau bukan itu
bukan terletak pada urusan kuantitatif simbolik. Saudara menurutku lebih
kualitatif dan subtantif. Ahok bisa saja disebut saudara jika: jujur, adil,
amanah dan bisa mensejahterakan rakyat. Kalau begitu menurutku sah-sah saja
dipilih.”
“Wah,
kalau pemahamannya seperti itu maka akan rawan tidak tepat. Mengapa? Antara
kuantitas-kualitas atau simbolik-subtantif adalah dua hal yang tidak bisa dicerai
beraikan. Orang yang secara simbolik dan kuantitatif itu kafir, bagaimana
mungkin bisa disebut adil, jujur dan amanah jika dia mengingkari kebenaran
Islam, Tuhan orang Islam, bahkan menistakan al-Qur`an?”
“Kalau
kesuksesan materil kuantitatif kamu jadikan landasan untuk memilih Ahok, maka
apa bedanya dengan Fir’aun, Namrud dan kaum Saba yang mempu membangun
bangunan-bangunan canggih, desain tata kota yang megah dan sejahtera secara
ekonomi? Padahal jelas mereka pada akhirnya mendapat adzab gara-gara keingkaran
mereka terhadap tauhid dan nikmat Allah subhanahu wata’ala ?” pungkas
Badar.
Sangidu
menyela sedikit, “Kalau aku menganggap, mayoritas penduduk Muslim Jakarta
sebenarnya menginginkan calon gubernur muslim dan baru. Dari hasil sementara,
meski Paslon kedua didukung partai kelas kakap dan pemodal-pemodal besar,
mereka paling pol mendapat suara 40 % lebih, itu menurutku kekalahan. Sedangkan
Paslon pertama sudah lumayanlah sebagai pemula, sedangkan Paslon ketigalah yang
menang sebenarnya, cukup didukung dua partai saja tapi sudah meraup 40 % atau
kurang sedikitlah.”
Salamudin
kupingnya gatal dan ingin urun komentar, “Bukannya aku menafikan simbol atau
kuantitatif, oke itu penting. Tapi subtansi dan kualitas memang lebih penting. Bukan
bermaksud memisahkannya lo ya? Kalau tidak salah, aku pernah dengar Cak
Sarikhuluk berkomentar, ‘Untuk kasus Ahok, tidak cukup dipandang hanya dari
sisi agama saja (karena kalau itu senjata yang digunakan untuk menilai, akan
sangat rapuh), jauh lebih besar dari itu, dia adalah korlap penjajah yang
bergerak dibalik layar.’ Karenanya, menurutku sih ya, pada putaran kedua nanti,
masyarakat lebih kita pahamkan kepada bahaya penjajahan kelas kakap ini.
Sekian.”
Suasana
diskusi yang renyah tersebut seketika disudahi ketika Mbok Ngatiyem meminta
tolong mereka untuk mengangkat kayu bakar ke rumahnya. Mereka pun bahu membahu
membantu bibi Sarikhuluk itu. Mereka pun masih menunggu bagaimana respon
Sarikhuluk mengenai Akhok dan Ahok.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !