Home » , » Akhok Vs Ahok

Akhok Vs Ahok

Written By Amoe Hirata on Kamis, 16 Februari 2017 | 10.48

           
“Pentas Pilgup DKI makin seru saja,” tiba-tiba Badar nyeletuk di tengah-tengah cangkrukan pendopo Al-Ikhlas. “Seru apanya Dar, yang benar itu saru (kotor),” Tarmudzi ikut-ikutan menimpali. “Saru piye (kotor gimana) ?” “Saru karena masih ada saja yang culas, curang, ga sportif dalam pemilihannya. Berbagai cara dilakukan untuk memenangkan calonnya,” lanjut Badar.

            “Wah itu terlalu jauh menurutku Dar. Paling tidak ada beberapa hal yang mesti disadari: Pertama, bukan kapasitasmu ngurusi Pilgub DKI. Kita-kita ini kan warga desa Jumeneng yang sangat jauh dari hiruk pikuk Jakarta. Kedua, menuduh curang, culas dan seterusnya, menuntut adanya bukti. Lha buktimu apa melontarkan tuduhan tersebut? Jangan bilang dari facebook atau media online lain yang masih berlum jelas kebenarannya.”
            Badar menanggapi, “Pada satu sisi, kritikanmu memang benar. Tapi di sisi lain, sangatlah naif jika obrolan mengenai Pilgub DKI dilarang lantaran lokasinya jauh bagi kita. Apakah sesuatu itu baru bisa diobrolkan secara realistis jika kita jauh darinya? Ga juga menurutku. Saranku tetap lanjut diskusi Pilgub DKI saja. Kan seru, masih ada putaran kedua.”
            “Yang masuk putaran kedua memangnya siapa Dar?” tanya Untung. “Sampean kurang update ya Cak?” “Lha wajat toh aku sudah mentalak bain media-media mainstream. Kalau media online apa lagi. Wong HP-ku hanya bisa buat SMS dan nelpon tok (saja). Cuma, kalau aku butuh update berita A-1 biasanya langsung ke Cak Sarikhuluk.”
            “Yang masuk putaran dua itu Akhok dan Ahok,” jawab Badar. “Lho apa bedanya, kok kedengarannya sama-sama diawali A dan diakhiri K?” tanya Masruri. “Yang satu adalah AKHOK. Akhok itu berasal dari bahasa Arab yang artinya saudaramu. Kalau melihat Surah Al-Hujurat [49] ayat 10, yang dimaksud saudara ya sesama orang beriman. Kalau kafir, bukan saudara namanya.”
            Setelah menghela nafas barang sebentar, ia melanjutkan, “Sedangkan Ahok ya si Basuki Tjahya Purnama itu. Sudah jelas kan bukan saudara seiman. Lucunya, masih saja ada yang mendukung di kalangan orang Islam. Yang lebih menggelikan, sebagai justifikasi, sampai ada yang menggunakan hadits, unsur akhoka dhaliman au madzluman (tolonglah saudaramu, baik yang mendzalimi atau yang terdzalimi). Saudara dari Hongkong apa ya. Jelas-jelas bedalah. Yang satu pakai huruf “kha” dan yang satu pakai hurf “ha”.”
            “Dar, awas nanti dituduh SARA lo atau bahkan dianggap menyalahi undang-undang,” komentar Rasikin. “Sara gimana, umat Islam memilih calon sesama umat Islam itu dilindungi undang-undang. Paling tidak sila pertama, dan undang-undang dasar pasal 29 ayat 2. Nah, kita sebagai orang Islam, misalnya menurut Al-Ma`idah [5] ayat 51, kan dilarang memilih pemimpin yang beragama Nashrani dan Yahudi. Maka kalau kita tak memilih calon yang bukan muslim, maka itu bukan Sara.”
            “Jadi menututmu Paslon ketiga, itu saudara sedangkan Paslon kedua itu bukan saudara?” tanya Mursyidi. “Ya jelas lah, masak gitu saja ndak mudeng (tidak mengerti),” timpal Badar. “Bukan gitu Dar, menurutku, saudara atau bukan itu bukan terletak pada urusan kuantitatif simbolik. Saudara menurutku lebih kualitatif dan subtantif. Ahok bisa saja disebut saudara jika: jujur, adil, amanah dan bisa mensejahterakan rakyat. Kalau begitu menurutku sah-sah saja dipilih.”
            “Wah, kalau pemahamannya seperti itu maka akan rawan tidak tepat. Mengapa? Antara kuantitas-kualitas atau simbolik-subtantif adalah dua hal yang tidak bisa dicerai beraikan. Orang yang secara simbolik dan kuantitatif itu kafir, bagaimana mungkin bisa disebut adil, jujur dan amanah jika dia mengingkari kebenaran Islam, Tuhan orang Islam, bahkan menistakan al-Qur`an?”
            “Kalau kesuksesan materil kuantitatif kamu jadikan landasan untuk memilih Ahok, maka apa bedanya dengan Fir’aun, Namrud dan kaum Saba yang mempu membangun bangunan-bangunan canggih, desain tata kota yang megah dan sejahtera secara ekonomi? Padahal jelas mereka pada akhirnya mendapat adzab gara-gara keingkaran mereka terhadap tauhid dan nikmat Allah subhanahu wata’ala ?” pungkas Badar.
            Sangidu menyela sedikit, “Kalau aku menganggap, mayoritas penduduk Muslim Jakarta sebenarnya menginginkan calon gubernur muslim dan baru. Dari hasil sementara, meski Paslon kedua didukung partai kelas kakap dan pemodal-pemodal besar, mereka paling pol mendapat suara 40 % lebih, itu menurutku kekalahan. Sedangkan Paslon pertama sudah lumayanlah sebagai pemula, sedangkan Paslon ketigalah yang menang sebenarnya, cukup didukung dua partai saja tapi sudah meraup 40 % atau kurang sedikitlah.”
            Salamudin kupingnya gatal dan ingin urun komentar, “Bukannya aku menafikan simbol atau kuantitatif, oke itu penting. Tapi subtansi dan kualitas memang lebih penting. Bukan bermaksud memisahkannya lo ya? Kalau tidak salah, aku pernah dengar Cak Sarikhuluk berkomentar, ‘Untuk kasus Ahok, tidak cukup dipandang hanya dari sisi agama saja (karena kalau itu senjata yang digunakan untuk menilai, akan sangat rapuh), jauh lebih besar dari itu, dia adalah korlap penjajah yang bergerak dibalik layar.’ Karenanya, menurutku sih ya, pada putaran kedua nanti, masyarakat lebih kita pahamkan kepada bahaya penjajahan kelas kakap ini. Sekian.”
            Suasana diskusi yang renyah tersebut seketika disudahi ketika Mbok Ngatiyem meminta tolong mereka untuk mengangkat kayu bakar ke rumahnya. Mereka pun bahu membahu membantu bibi Sarikhuluk itu. Mereka pun masih menunggu bagaimana respon Sarikhuluk mengenai Akhok dan Ahok.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan