Saat
masih mengenyam pendidikan di Al-Azhar, Kairo, Mesir, ada fenomena menarik
setiap kali datang bulan Ramadhan yang menggambarkan betapa dermawannya orang
Arab Mesir. Menjelang berbuka, setiap masjid, bahkan tak jarang juga di
jalanan, mereka menyiapkan ta’jil (berupa air, kurma bahkan makanan
berat seperti nasi dengan aneka lauk ala Mesir) bagi orang yang berpuasa.
Kegiatan ini dilakukan secara massif dan kolektif. Budaya tahunan itu populer dengan
sebutan “Ma’idaturrahman” yang arti sederhananya “Hidangan dari Allah Yang Maha
Pengasih”.
Secara
normatif mungkin bisa digali alasannya. Pertama, orang yang menyiapkan ta’jil
bagi orang puasa, akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi
sedikit pun pahalanya. Sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ
الجُهَنِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ
فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ
الصَّائِمِ شَيْئًا»
Dari Zaid bin Khalid al-Juhani ia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa
menyiapkan buka untuk orang yang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala
sepertinya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala puasanya.” (HR. Tirmidzi).
Kedua, tradisi memberi atau mentraktir makan
adalah salah satu sunnah yang dianjurkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ سَلَامٍ، قَالَ: لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
المَدِينَةَ انْجَفَلَ النَّاسُ إِلَيْهِ، وَقِيلَ: قَدِمَ رَ سُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجِئْتُ فِي النَّاسِ لِأَنْظُرَ
إِلَيْهِ، فَلَمَّا اسْتَبَنْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ وَكَانَ أَوَّلُ شَيْءٍ تَكَلَّمَ
بِهِ أَنْ قَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ،
وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُونَ الجَنَّةَ بِسَلَامٍ»
Dari ‘Abdullah bin Salâm, ia berkata: “Ketika
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, orang-orang segera
pergi menuju beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena ingin melihatnya).
Ada yang mengatakan: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang,
lalu aku mendatanginya ditengah kerumunan banyak orang untuk melihatnya. Ketika
aku melihat wajah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , aku mengetahui
bahwa wajahnya bukanlah wajah pembohong. Dan yang pertama kali beliau ucapkan
adalah, ‘Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikan makan,
sambunglah silaturrahim, shalatlah di waktu malam ketika orang-orang tertidur,
niscaya kalian akan masuk Surga dengan selamat.” (HR. Tirmidzi).
Pada
kedua hadits tersebut, ada pelajaran berharga dari kebiasaan memberi makan ini:
Pertama, berpahala. Kedua, menjadi salah satu faktor yang bisa
mengantarkan seorang hamba menuju surga dengan selamat. Pada hadits kedua
obyeknya tidak disebut. Yang pasti adalah memberi makan, baik orang yang mampu
atau pun yang tidak punya. Dari dua alasan ini saja, bisa dilihat betapa
mulianya tradisi Ma’idaturrahman ini.
Ma`idarurrahman
ini, bila ditilik dengan baik, bukan sekadar urusan makan yang menggembirakan hati seseorang. Sebagai
suatu tradisi yang lahir dari sumber normatif umat Islam, budaya ini juga
mengandung nilai: solidaritas sosial yang dimanifestasikan melalui kegemaran
untuk berbagi baik yang punya maupun tidak.
Dengan
kata lain, kebiasaan ini hadir bukan saja untuk memberikan pesan kepada umat
Islam untuk menjadi konsumen, tapi juga memantik kesadaran mereka untuk menjadi
produsen kebaikan dengan memberikan infaq supaya kegiatan ini tetap berlanjut.
Ma’idaturrahman bisa dipakai sebagai sarana dakwah yang bisa membuka pintu hati
komunikan dakwah. Untuk urusan makan, siapa pun orangnya tidak akan berselisih
karena memang mereka sama-sama butuh makan.
Saya
membayangkan, jika kebiasaan ini bukan saja dilakukan pada bulan Ramadhan, dan
itu dibiasakan oleh orang-orang muslim di penjuru dunia pada bulan-bulan
lainnya, mungkin tidak akan tersisa lagi orang kelaparan. Jihad bil mal
pun akan terserap secara maksimal jika kebiasaan ini sudah menjalar ke setiap
masjid.
Setelah
saya masuk AQL Islamic Center, harapan itu rupanya bukanlah utopis. Lembaga
yang konsen pada tadabbur Al-Qur`an dan kegiatan sosial ini, ternyata juga
memiliki kegiatan Ma'idaturrahman. Bedanya, pada lembaga yang dipimpin oleh
Ustadz Bachtiar Nasir ini, Ma’idaturrahman bukan saja diberikan ketika bulan
Ramadhan, tapi juga pada hari Senin dan Kamis sepanjang tahun, bahkan setiap
selesai shalat Jum’at yang jama’ahnya ratusan orang.
Kebiasaan
ini rupanya –sebagaimana penuturan Jalal, pemuda keren yang aktif dalam DKM
AQL- telah berjalan hampir lima tahun, terhitung sejak berdirinya AQL tahun
2012. Artinya, AQL memberikan teladan yang baik dalam urusan Ma’idatur Rahman
yang bisa dicontoh oleh lembaga lainnya. Konsistensi Ma’idaturrahman ala AQL
ini semoga bisa menjadi pemicu kesadaran umat untuk meningkatkan kembali
kesadaran jihad bil mal. Wa akhiru da’wana anilhamdulillahi rabbil ‘alamin.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !