DI kalangan Partai Masyumi, beliau dikenal dengan
julukan “Singa Mimbar”. Gelar ini sangat beralasan karena ulama ini mempunyai
kecakapan yang baik dalam beretorika. Sangat
fasih dalam berkhutbah. Tak hanya itu, ayah dari Endang Syaifuddin Anshary ini
juga dikenal sebagai penulis produktif dan tajam. Hasil buah penanya sudah
tertuang di dalam 23 judul buku. Belum lagi tulisan-tulisan lain yang tersebar
di berbagai majalah dan surat kabar.
Beliau
adalah Muhammad Isa Anshary. Beliau lahir di Maninjau Sumatra Tengah pada 1
Juli 1916. Di usianya yang keenambelas, setelah menyelesaikan studi Islam di
Madrasah tempat kelahiran, beliau merantau ke Bandung. Saat di kota kembang
ini, beliau berguru kepada Ahmad Hassan dan bergabung secara resmi dengan Jam’iyyah
Persis (Persatuan Islam) Bandung. Di kemudian hari beliau diangkat menjadi
Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis (7/12/1949).
Sebagai seorang ulama, dia bergerak
bukan saja dalam bidang lisan dan tulisan. Beliau juga terjun langsung dalam
dunia perpolitikan. Melalui Jam’iyah Persis, beliau pernah mengeluarkan tulisan
Manifes Perjuangan Persatuan Islam. Perseteruan sengit dalam dunia
politik akibat menentang pandangan penguasa, membuatnya dipenjara oleh
pemerintah Soekarno di Madiun 1963.
Salah
satu kontribusi paling menonjol yang membesarkan namanya dalam catatan emas
sejarah Indonesia adalah kegigihannya dalam menentang komunisme. Pasca Pemilu
1955 umat Islam menghadap kekuatan komunisme yang bercokol di Indonesia dengan
nama PKI (Partai Komunis Indonesia). Ide NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis)
dan demokrasi terpimpin yang “dipaksakan” Presiden Soekarno kala itu ditentang
keras oleh Isa Anshary baik melalui lisan maupun tulisan.
Pada
tahun enam puluhan, pasca pembubaran Masyumi (17 Agustus 1960), kekuatan
politik Islam melemah sedangkan PKI semakin berkembang pengaruhnya. Kehadiran
PKI di gelanggang politik Indonesia memberi efek yang sangat signifikan baik
kecil maupun besar. Sebagai contoh, kebiasaan orang Indonesia memanggil
temannya dengan sebutan “Saudara” “Bung” atau “Bapak” diganti mereka dengan
panggilan “Kawan” yang terinspirasi dari bahasa Rusia yaitu “toarich”.
Alasannya sederhana, karena kata-kata tersebut dianggap warisan kaum borjuis.
Dengan
ketajaman analisisnya, persoalan itu tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh Isa Anshary.
Menurut beliau panggilan “Saudara” “Bung” atau “Bapak” merupakan panggilan yang
lahir dari sifat dasar dan asli yang mewarnai hidup bangsa Indonesia. Oleh
karenanya, panggilan tersebut merupakan kewajaran . Hal ini tentu jauh berbeda
dengan dengan dasar kolektivitas ala toarich yang tidak wajar, janggal
didengar, dan mengganggu perasaan Orang Indonesia.
Pada
sekup yang lebih besar, Isa Anshary juga mengkritisi virus yang disebarkan
komunis di Indonesia. Propaganda mengenai tidak ada pertentangan antara Islam
dengan komunisme sehingga muslim bisa bekerja sama dengan PKI. Mereka pun
menjastifikasi pandangan sesat itu dengan menyitir pernyataan Iqbal bahwa Islam
is Communism with God (Islam adalah komunisme yang bertuhan).
Pada
tanggal 4 Maret 1957 Manifesto Persis di bawah kepemimpinan beliau menyatakan
secara tegas bahwa teori dan praktik komunis bukan saja bertentangan dengan
semua agama, melainkan juga mengandung permusuhan dan pertentangan dengan
akidah yang diajarkan oleh semua agama. Manifesto ini merupakan penolakan
Persis terhadap konsepsi Bung Karno yang ingin memasukkan komunis dalam
mengendalikan pemerintahan di Indonesia.
Selain
itu Isa Anshary juga mengingatkan bahwa komunis sejatinya menolak Tuhan, wahyu,
dan nabi-nabi, bahkan memandang agama sebagai takhayul yang membelenggu otak
manusia. Bila komunis nanti memiliki kekuasaan, dikhawatirkan akan menggunakannya
sebagai teror kekuasaan terhadap yang tidak sejalan dengan pandangannya. Hal
lain yang disebut beliau, tujuan komunis yang jelas adalah memperkenalkan
kolonialisme baru, menggantikan imperialisme Barat; semua itu dilakukan dengan
berkedok nasionalisme tulen.
Pada
manifesto Persis 1954 sampai dinyatakan bahwa orang yang sudah mengetahui
kebatilan komunisme tetapi tetap mengikutinya maka ia telah murtad (keluar)
dari Islam dan tidak perlu dimakamkan secara Islam. Pada tahun 1955 sampai ada
fatwa khusus yang dikeluarkan A. Hassan di majalah Al-Muslimun bahwa perkawinan
antara seorang muslimah dengan seorang anggota komunis tidak sah. Bagi beliau,
kerjasama dengan komunis tidak diperbolehkan dalam Islam, karena hanya akan
membawa kerusakan terhadap agama.
Bukti
komitmennya dalam menentang komunisme di Indonesia sepanjang tahun 1953 sampai
1958. Di antara bukti riil usahanya adalah dengan menerbitkan majalah Anti
Komunis. Artikelnya yang berjudul “Bahaya Merah di Indonesia” adalah salah
satu bentuk penentangan beliau terhadap komunisme. Komunisme baginya
bertentangan dengan Islam dan nasionalisme Indonesia.
Jauh
sebelum adanya aktivitas Kesatuan Aksi Pelajar dan Mahasiswa (KAMI, KAPPI) yang
menuntut dibubarkan PKI pada tahun 1966, bersama Persis beliau telah menyadari
bahaya laten komunisme dan menuntut pembubaran PKI sejak tahun 1960. Perjuangan
gigih menentang komunisme ini terus dia perjuangakan hingga menghadap Sang
Pencipta pada 11 Desember 1969.
(Disarikan dari buku: Sejarah Perjuangan Persis
1923-1983 dan Yang Dai Yang Politikur; Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh
Persis karya Dadan Wildan)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !