Home » , » Peran Kebangsaan Ulama

Peran Kebangsaan Ulama

Written By Amoe Hirata on Sabtu, 04 Februari 2017 | 20.19

KH. Salim sedang menjalankan peran kebangsaan menjadi diplomat Indonesia
            Saya mencoba membayangkan, jika peran ulama pra kemerdekaan hanya berkutat masalah pendidikan, berkecipung pada wacana akademik saja, berkiprah pada ranah transfer ilmu semata, agaknya tidak mungkin kemerdekaan bisa terealisasi.
            Dalam sejarah Islam Indonesia, kita pernah mengenal nama-nama kawakan seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Agus Salim, H.O.S Cokro Aminoto, A. Hassan, M. Natsir, Buya Hamka dan lain sebagainya. Mereka dikenal memiliki wawasan keilmuan agama yang mumpuni, tapi juga berkontribusi pada upaya melawan penjajah (baik dengan badan, lisan, maupun tulisan) demi bangsa yang merdeka.
            Samsul Munir dalam bukunya yang berjudul Karomah Para Kiai menyebutkan di antara peran ulama pra kemerdekaan, “Pada zaman penjajahan, para ulama bertindak sebagai tokoh pejuang bangsa untuk melawan penjajahan Belanda. Di mana-mana timbul pemberontakan kepada penjajah yang dipimpin oleh para ulama karena mereka menegakkan jihad fi sabilillah." Jadi mereka tidak berpangku tangan di meja-meja pengajaran; tidak hanya berjibaku dengan buku-buku. Justru mereka menjadi soko guru perjuangan bangsa.
            Ulama semacam Imam Bonjol oleh Munir dijadikan teladan, "Karena niat dan kesungguhnannya dalam membela Negara dan agama, para ulama sebagaimana Tuanku Imam Bonjol telah menggerakkan penduduk untuk mengangkat senjata melawan penjajah. Musuh-musuh kafir pun kewalahan menghadapai strategi perjuangan sang ulama. Dan ketika Tuanku Imam Bonjol berperang terhadap penjajah, karimah dari ALlah pun muncul karena nilai spiritualitas Tuanku Imam yang tinggi." (Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, 58). Di sini bisa diketahui bahwa di antara peran penting mereka adalah menggerakkan umat untak melawan segala bentuk penjajahan.
            Resolusi jihad yang difatwakan KH. Hasyim Asy’ari pada puncaknya menjadi pemantik gelora perjuangan Bung Tomo pada 10 November 1945. Mereka tidak takut dengan kekuatan penjajah yang bersekutu. Bagi mereka, para penjajah, betapapun kuatnya, mereka tak ubahnya bagaikan pasukan se-kutu jika bara api jihad telah menyala-nyala dalam jiwa yang dilecut oleh ulama.
            Peristiwa itu menunjukkan begitu gigihnya para ulama dalam mengoptimalkan perannya hingga sekala perjuangan kebangsaan. Bagaimana dengan ulama sekarang? Apa saat ini sudah tidak ada lagi penjajahan? Peran ulama sekarang memang tidak boleh dipandang sebelah mata. Tetapi, merasa krasan di zona nyaman, hanya akan melemahkan perjuangan. Justru sekarang ini era penjajahan yang sangat halus, lembut, dan canggih.
            Orang dijajah pemikiran, ekonomi, budaya, gaya hidup, dan padangan hidupnya oleh penjajah-penjajah asing dan aseng tanpa sadar sedikit pun bahwa dirinya sedang dijajah. Ini sangat rumit dan pelik. Justru pada era saat ini seyogyanya peran kebangsaan ulama lebih digencarkan lagi di tengah ancaman penjajahan, pendangkalan nilai, pemecah belahan anak bangsa, perapuhan moral dan ancaman lainnya .

            Karenanya dalam satu kesempatan Sarikhuluk pernah berujar, “Ulama itu pejuang, bukan penggila uang; penggerak, bukan pelawak; pemersatu, bukan tukang adu; pengarah, bukan pemarah; perekat, bukan penyekat; soko guru, bukan asal laku; pemberdaya, bukan tukang cari biaya.” Kalau ulama sudah pada level itu, maka kata Sarikhuluk ulama itu bisa disebut sejati.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2011. Amoe Hirata - All Rights Reserved
Maskolis' Creation Published by Mahmud Budi Setiawan