KH. Salim sedang menjalankan peran kebangsaan menjadi diplomat Indonesia |
Saya
mencoba membayangkan, jika peran ulama pra kemerdekaan hanya berkutat masalah
pendidikan, berkecipung pada wacana akademik saja, berkiprah pada ranah
transfer ilmu semata, agaknya tidak mungkin kemerdekaan bisa terealisasi.
Dalam
sejarah Islam Indonesia, kita pernah mengenal nama-nama kawakan seperti KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Agus Salim, H.O.S Cokro Aminoto, A.
Hassan, M. Natsir, Buya Hamka dan lain sebagainya. Mereka dikenal memiliki
wawasan keilmuan agama yang mumpuni, tapi juga berkontribusi pada upaya melawan
penjajah (baik dengan badan, lisan, maupun tulisan) demi bangsa yang merdeka.
Samsul
Munir dalam bukunya yang berjudul Karomah Para Kiai menyebutkan di antara peran
ulama pra kemerdekaan, “Pada zaman penjajahan, para ulama bertindak sebagai
tokoh pejuang bangsa untuk melawan penjajahan Belanda. Di mana-mana
timbul pemberontakan kepada penjajah yang dipimpin oleh para ulama karena
mereka menegakkan jihad fi sabilillah." Jadi mereka tidak berpangku tangan di meja-meja
pengajaran; tidak hanya berjibaku dengan buku-buku. Justru mereka menjadi soko
guru perjuangan bangsa.
Ulama
semacam Imam Bonjol oleh Munir dijadikan teladan, "Karena niat dan
kesungguhnannya dalam membela
Negara dan agama, para ulama sebagaimana Tuanku Imam Bonjol telah menggerakkan
penduduk untuk mengangkat
senjata melawan penjajah. Musuh-musuh kafir pun kewalahan menghadapai strategi
perjuangan sang ulama. Dan ketika Tuanku Imam Bonjol berperang terhadap
penjajah, karimah dari ALlah pun muncul karena nilai spiritualitas Tuanku Imam
yang tinggi." (Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, 58). Di sini bisa diketahui bahwa di antara peran
penting mereka adalah menggerakkan umat untak melawan segala bentuk penjajahan.
Resolusi
jihad yang difatwakan KH. Hasyim Asy’ari pada puncaknya menjadi pemantik gelora
perjuangan Bung Tomo pada 10 November 1945. Mereka tidak takut dengan kekuatan
penjajah yang bersekutu. Bagi mereka, para penjajah, betapapun kuatnya, mereka
tak ubahnya bagaikan pasukan se-kutu jika bara api jihad telah menyala-nyala
dalam jiwa yang dilecut oleh ulama.
Peristiwa
itu menunjukkan begitu gigihnya para ulama dalam mengoptimalkan perannya hingga
sekala perjuangan kebangsaan. Bagaimana dengan ulama sekarang? Apa saat ini
sudah tidak ada lagi penjajahan? Peran ulama sekarang memang tidak boleh
dipandang sebelah mata. Tetapi, merasa krasan di zona nyaman, hanya akan
melemahkan perjuangan. Justru sekarang ini era penjajahan yang sangat halus,
lembut, dan canggih.
Orang
dijajah pemikiran, ekonomi, budaya, gaya hidup, dan padangan hidupnya oleh
penjajah-penjajah asing dan aseng tanpa sadar sedikit pun bahwa dirinya sedang
dijajah. Ini sangat rumit dan pelik. Justru pada era saat ini seyogyanya peran
kebangsaan ulama lebih digencarkan lagi di tengah ancaman penjajahan,
pendangkalan nilai, pemecah belahan anak bangsa, perapuhan moral dan ancaman
lainnya .
Karenanya
dalam satu kesempatan Sarikhuluk pernah berujar, “Ulama itu pejuang, bukan
penggila uang; penggerak, bukan pelawak; pemersatu, bukan tukang adu; pengarah,
bukan pemarah; perekat, bukan penyekat; soko guru, bukan asal laku; pemberdaya,
bukan tukang cari biaya.” Kalau ulama sudah pada level itu, maka kata
Sarikhuluk ulama itu bisa disebut sejati.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !